JAKARTA (Arrahmah.com) – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan penetapan tersangka oleh kepolisian terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas ditembak bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Abdul Fickar mengungkapkan, dalam pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan kewenangan menuntut pidana gugur jika tertuduh meninggal dunia.
“Bertentangan dengan KUHP, karena kematian atau meninggalnya seseorang menjadi alasan gugurnya atau menutup hak untuk menetapkan orang sebagai pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum. Salah satunya meninggalnya si tersangka atau seseorang yang akan ditersangkakan,” kata Abdul Fickar, Kamis (4/3), lansir CNN Indonesia.
Menurut Abdul Fickar, polisi sangat berlebihan saat menetapkan orang yang sudah meninggal sebagai tersangka.
Ia menjelaskan, penetapan tersangka terhadap seseorang itu apabila yang bersangkutan masih hidup.
“Intinya penuntutannya harus ada orangnya. Kalau enggak ada dan menetapkan mayat itu artinya apa? Lucu itu, berlebihan dan ngelak,” tuturnya.
Menurut Abdul Fickar, seharusnya pihak kepolisian menghentikan semua proses penyidikan terhadap 6 laskar FPI yang sudah meninggal. Sebab, hal itu tak ada dasar hukumnya dalam ranah hukum pidana.
Ia pun menyarankan pihak kepolisian agar melanjutkan hasil rekomendasi Komnas HAM untuk mengusut anggotanya yang menyebabkan kematian enam laskar tersebut.
“Kalau yang sudah meninggal enggak ada manfaatnya ditetapkan sebagai tersangka dan ngaco dasar hukumnya. Berlebihan,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)