SIDON (Arrahmah.id) – Tiga anggota faksi dan seorang warga sipil tewas pada Sabtu (9/9/2023) dalam bentrokan di kamp pengungsi Palestina di Libabon selatan, media resmi melaporkan, ketika Perdana Menteri Najib Mikati menegur Presiden Palestina Mahmoud Abbas atas meningkatnya kekerasan.
Pertempuran baru kembali terjadi pada Kamis malam (7/9) di kamp Ain al-Hilweh di pinggiran kota pesisir Sidon, hanya beberapa pekan setelah kekerasan mematikan antara anggota gerakan Fatah pimpinan Abbas melawan faksi Islam lainnya.
Bentrokan yang sedang berlangsung di dalam kamp pada Sabtu (9/9) menewaskan “dua orang dari Fatah” dan seorang Islamis, sementara “seorang warga sipil terbunuh oleh peluru nyasar” di luar kamp, kata Kantor Berita Nasional resmi Libanon, melaporkan puluhan lainnya terluka.
“Apa yang terjadi sama sekali tidak menguntungkan kepentingan Palestina dan merupakan pelanggaran serius terhadap negara Libanon dan kota Sidon”, kata Mikati kepada Abbas melalui panggilan telepon pada Sabtu (9/9), kata kantornya dalam sebuah pernyataan.
Mikati menekankan “prioritas untuk mengakhiri operasi militer dan bekerja sama dengan pasukan keamanan Libanon untuk mengatasi ketegangan”, menurut pernyataan di X, yang sebelumnya bernama Twitter.
Bentrokan hebat terjadi pada Sabtu pagi (9/9) setelah suasana tenang pada malam itu, kata seorang koresponden AFP di Sidon, melaporkan suara senjata otomatis dan berat.
Pertempuran itu terfokus di kompleks sekolah milik badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, kata seorang sumber di pimpinan kamp Palestina kepada AFP tanpa menyebut nama.
UNRWA sebelumnya telah memperingatkan bahwa milisi menduduki sekolah-sekolahnya di kamp tersebut.
Ain Al-Hilweh adalah rumah bagi lebih dari 54.000 pengungsi terdaftar dan ribuan warga Palestina yang bergabung dengan mereka dalam beberapa tahun terakhir dari Suriah, yang melarikan diri dari perang di negara tetangga.
Kamp tersebut, yang terbesar di Libanon, diciptakan untuk warga Palestina yang dibersihkan secara etnis di Nakba (bahasa Arab untuk “bencana”) bersamaan dengan pembentukan negara “Israel” pada 1948.
Tentara Libanon, yang berdasarkan konvensi lama tidak boleh memasuki kamp-kamp tersebut dan meninggalkan faksi-faksi Palestina untuk menangani keamanan di sana, meminta “semua pihak terkait di kamp tersebut untuk menghentikan pertempuran”.
Dikatakan bahwa pihaknya mengambil “langkah-langkah yang diperlukan dan melakukan kontak yang diperlukan untuk menghentikan bentrokan, yang membahayakan nyawa orang-orang yang tidak bersalah”.
Sejumlah keluarga melarikan diri ketika pertempuran semakin intensif, membawa tas berisi kebutuhan pokok seperti roti, air dan obat-obatan, kata koresponden AFP.
Warga kamp, Mohammed Badran (32) mengatakan dia akan “tidur di jalanan” bersama istri dan dua anaknya yang ketakutan daripada kembali sebelum pertempuran berakhir.
“Kami sedang melewati neraka,” katanya dari masjid Sidon tempat dia dan keluarga lainnya mengungsi.
Seorang koresponden AFP melihat pekerja bantuan mendirikan tenda di luar stadion kota di Sidon untuk melindungi penghuni kamp yang kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran.
“Pemerintah kota berkoordinasi dengan Palang Merah untuk mendirikan 16 tenda sebagai langkah pertama,” kata Mustafa Hijazi, pejabat yang bertanggung jawab atas penanggulangan bencana di kota Sidon, kepada AFP.
“Kami perkirakan akan didirikan lebih banyak (tenda), untuk menampung sekitar 250 orang,” imbuhnya.
Sebuah rumah sakit umum yang berbatasan langsung dengan kamp tersebut memindahkan semua pasiennya ke fasilitas lain karena bahayanya, kata direktur rumah sakit tersebut, Ahmad Al-Samadi kepada AFP.
Bentrokan selama lima hari yang dimulai pada akhir Juli menyebabkan 13 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, yang merupakan pecahnya kekerasan terburuk di kamp tersebut selama bertahun-tahun.
Pertempuran itu meletus setelah kematian seorang anggota faksi Islam, diikuti dengan penyergapan yang menewaskan lima anggota Fatah termasuk seorang pemimpin militer.
Koordinator residen PBB di Libanon, Imran Riza, pada Jumat (8/9) mendesak “kelompok bersenjata untuk menghentikan pertempuran di kamp” dan “segera” mengosongkan sekolah-sekolah milik UNRWA.
“Penggunaan sekolah oleh kelompok bersenjata merupakan pelanggaran berat” terhadap hukum internasional, kata Riza dalam sebuah pernyataan.
Libanon menampung sekitar 250.000 pengungsi Palestina, menurut badan PBB tersebut.
Kebanyakan dari mereka tinggal di 12 kamp resmi di Libanon, dan menghadapi berbagai pembatasan hukum termasuk dalam hal pekerjaan. (zarahamala/arrahmah.id)