DUBAI (Arrahmah.id) – Harga emas melonjak drastis menembus $3.500 (Rp58 Juta) per ons, memicu efek domino di pasar dan souk Timur Tengah serta menarik para investor dan pembeli untuk ikut serta dalam “demam emas” ini.
Kenaikan tajam logam mulia ini terjadi di tengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh manuver tarif agresif Presiden AS Donald Trump dan serangan verbalnya terhadap Ketua Federal Reserve, Jerome Powell.
Pekan lalu, Trump menyerang Powell atas peringatannya bahwa tarif besar-besaran bisa memicu inflasi kembali. “Saya tidak senang dengannya. Saya sudah memberitahunya, dan kalau saya ingin dia pergi, dia akan keluar dengan cepat, percayalah,” kata Trump, bahkan menyebut pemecatan Powell “tidak bisa datang cukup cepat.”
Ketidakpastian yang ditimbulkan dari situasi ini membuat permintaan terhadap emas, aset yang dikenal sebagai pelindung nilai di masa-masa penuh gejolak, melonjak tajam. Harga spot emas sempat menyentuh $3.500,05 pada Selasa pagi (22/4/2025), sementara kontrak berjangka AS naik 1,2% ke $3.464,50. Ini menandai kenaikan 20% hanya dalam tahun 2025 saja.
Demam Emas di Dubai
Di Dubai, yang dijuluki “Kota Emas”, lonjakan harga ini terasa luar biasa. Harga emas naik menjadi Dh420 per gram dari Dh405,25 sebelumnya.
Andrew Naylor dari World Gold Council menyebut fenomena ini berdampak ganda: di satu sisi, investor tertarik pada emas sebagai aset stabil di tengah ketegangan geopolitik, namun di sisi lain, lonjakan harga membuat masyarakat enggan membeli emas untuk keperluan budaya dan seremonial.
Dubai selama ini menjadi pusat perdagangan emas dunia, terutama bagi para pedagang dari Iran dan India, negara yang memiliki tradisi kuat terhadap emas 22 karat. Namun, dengan harga emas naik 27% tahun lalu, permintaan perhiasan emas di UEA turun 13%, melebihi penurunan global sebesar 11%.
Perubahan ini menunjukkan bahwa konsumen, terutama dari India, lebih sensitif terhadap volatilitas harga dibanding sekadar tingkat harga itu sendiri. Tren ini mulai berdampak di pasar Teluk, di mana pembeli asal India memainkan peran penting.
Para pengecer emas di UEA pun beradaptasi dengan berbagai strategi, seperti menurunkan ongkos pembuatan, menawarkan skema pembayaran fleksibel, serta meluncurkan koleksi perhiasan ringan untuk menarik pembeli.
Efek “Sneeze” Amerika
Bukan berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintahan Trump tengah mengguncang fondasi ekonomi dunia.
Efek “sneeze” dari AS begitu besar hingga Goldman Sachs memperbarui prediksi harga emas akhir 2025 menjadi $3.700 per ons, dengan potensi mencapai $4.500. Russ Mould dari AJ Bell memperingatkan bahwa “kenaikan harga emas bisa mengurangi permintaan perhiasan.”
Kepala investasi Century Financial yang berbasis di Dubai, Vijay Valecha, mengatakan kepada Reuters bahwa kondisi pasar saat ini merupakan “wilayah tak bertuan bagi seluruh industri.” Konsumen kini terpecah antara yang menunggu harga turun dan yang buru-buru membeli sebelum harga naik lebih tinggi.
Bank sentral di berbagai negara juga meningkatkan pembelian emas sebagai perlindungan terhadap pelemahan dolar dan ketegangan geopolitik. Menurut ADM Investor Services, aksi borong ini mencerminkan kekhawatiran yang meningkat terhadap perang dagang Trump, ketidakstabilan fiskal AS, serta kemungkinan politisasi Federal Reserve.
Tak hanya emas, logam mulia lain seperti perak, platinum, dan paladium juga mencatat kenaikan. Harga spot perak, misalnya, naik 0,7% ke $32,36 per ons, mengikuti tren emas. Permintaan terhadap batu mulia alternatif juga meningkat: India mengekspor berlian buatan laboratorium senilai $171 juta ke UEA tahun lalu, naik 57% dibanding dua tahun sebelumnya.
Kondisi ini menandakan perubahan lanskap yang signifikan di pasar logam mulia, di mana ketegangan global dan kebijakan domestik AS menjadi penggerak utama. (zarahamala/arrahmah.id)