Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
(Arrahmah.com) – Salah satu indikator komunitas/entitas/gerakan/organisasi/partai Islam yang mampu mewujudkan kepemimpinan di tengah masyarakat jika diantaranya memiliki sebuah kesadaran yang didasarkan pada penginderaan yang mendalam (manthiq ihsas). Apakah kesadaran yang tetap tajam, tidak pernah terpengaruh oleh berbagai guncangan yang ada di tengah-tengah masyarakat serta tidak pernah terpalingkan oleh berbagai perubahan pergantian yang terjadi di sekitarnya? Apakah tetap hidup bersama masyarakat, mengindera dengan penginderaan masyarakat serta merasa dengan perasaan masyarakat yang tertimpa berbagai penderitaan dan kezhaliman ? Ataukah berbagai macam musibah dan penderitaan masyarakat malah melemahkan kesadarannya sekaligus menjadikan dirinya hidup dengan berbagai pemikiran dan pemahaman yang justru menjadikan dirinya hidup mengasingkan diri dari masyarakat? Sejauh mana perhatian terhadap berbagai peristiwa yang ada di sekelilingnya dan sejauh mana keterlibatan dengan peristiwa-peristiwa tersebut ? Ataukah masyarakat justru telah berrgerak mendahului karena telah berhenti bergerak meskipun sejenak, kemudian berusaha mengejar dan berlari terengah-engah untuk menyusul masyarakat sampai akhirnya masyarakatlah yang memimpin bukan sebaliknya memimpin masyarakat sebagaimana seharusnya ? (Politik Partai, Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam, Muhammad Hawari, hal 152).
Titik paling krusial diantara berbagai persoalan krusial yang terjadi di negeri ini hendaknya menjadi pemahaman kunci bersama. Dan diperlukan pemahaman yang jeli dan cerdas untuk menentukan titik persoalan yang paling krusial. Yang diharapkan menjadi pemantik kesadaran masyarakat mendorong terjadinya perubahan. Ke arah perubahan mendasar dan komprehensif. Tentu muncul beragam strategi untuk menentukan momentum perubahan mendasar melalui “manthiq ihsas”. Paling tidak ada dua strategi. Pertama, melihat, membeberkan dan menjadikan beragam persoalan yang terjadi di masyarakat sebagai profilling bobroknya rezim dan sistem thogut negeri ini. Kedua, mengkaji kemudian menentukan pilihan persoalan yang paling sensitif untuk mengungkap bengis dan kejamnya rezim dan sistem yang berkuasa saat ini.
Pilihan strategi yang pertama secara faktual akan melahirkan sebuah peningkatan pengetahuan masyarakat akan beragam fakta kebobrokan. Dan akan melahirkan masyarakat ter-educated- saja. Karena sejatinya langkah pilihan ini lebih tepat disebut sebagai langkah edukasi an sich. Kalaupun muncul kemarahan masyarakat masih sebatas kemarahan yang bisa dialihkan. Yakni dialihkan dengan cara pemberian apresiasi intelektual. Sebagai sebuah entitas pemikir yang cerdas.
Pilihan yang kedua adalah pilihan menentukan sasaran bidik yang paling akurat untuk memantik kesadaran masyarakat terdorong ke arah perubahan mendasar dan komprehensif. Dengan sebuah asumsi bahwa masyarakat sebenarnya sudah banyak tertekan dengan kebijakan-kebijakan represif semua sektor. Realitas persoalan kompleks yang hadir di tengah masyarakat adalah sesuatu yang sangat nyata. Rendahnya partisipasi politik dalam pemilu menjadi salah satu indikator utama muaknya masyarakat terhadap rezim dan sistem thogut negeri ini. Wujudnya adalah dominannya sikap apatis dan pragmatis. Sebagai konsekuensi“edukasi teladhan negatif” yang ditampilkan oleh para elit-elit poitik negeri ini. Panggung kekuasaan dan politik sudah kering dan miskin kejujuran. Hampir semua penuh dengan kepura-puraan. Penuh rekayasa. Rekayasa pengambilan keputusan. Rekayasa peradilan dan penegakkan hukum. Hukum sebagai panglima penuh dengan jargon. Karena hanya sebagai legitimasi pembenaran hukum. Bukan benar-benar tulus untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum hakiki. Konstitusi diingkari dengan substansi yang direduksi. Atas nama amandemen, konstitusi UUD 1945 menjadi terliberalisasi.
Extra judicial killing oleh Densus 88 pemantik kesadaran perubahan masyarakat
Mencoba merumuskan pilihan strategi yang kedua, secara faktual dan obyektif maka tidak ada satupun persoalan masyarakat yang sangat sensitif dan sangat krusial selain persoalan pembunuhan terduga teroris oleh Densus 88. Bukan saja pada aspek pembunuhannya saja yang sangat krusial tetapi implikasi pembunuhan terduga teroris secara sistematis. Yakni upaya terorganisir untuk menciptakan islamophobia sekaligus perusakan secara masif terhadap para komunitas/entitas/gerakan/organisasi islam dengan dukungan alat negara dan dunia internasional. Yakni terhadap komunitas/entitas/gerakan/organisasi Islam pengusung perubahan secara mendasar dan komprehensif dengan Islam. Baik yang menggunakan jalan jihad maupun amar ma’ruf nahi mungkar (pemikiran dan politik). Dan pemerintah Indonesia telah memilih mengadopsi deskripsi terorisme yang dianut oleh National Inteligent Council AS sebagai sebuah ajaran yang berkeinginan untuk menjadikan islam sebagai aturan formal kehidupan bernegara dan bermasyarakat baik melalui jalan di dalam parlemen maupun di luar parlemen.
Pilihan persoalan ekstra judicial killing oleh Densus 88 menjadi persoalan paling krusial atas pertimbangan antara lain :
Pertama, banyak pembunuhan atas kaum muslimin terduga teroris termasuk yang salah sasaran tanpa melalui proses pengadilan adalah wujud bengis, arogansi dan kesewenang-wenangan penguasa.
Kedua, landasan filosofis pembunuhan terduga teroris di atas kerangka arahan propagandha internasional di bawah pimpinan kafir muharibban fi’lan Amerika Serikat (AS) atas nama war on terorism adalah sejatinya war on Islam. Ini artinya genderang perang internasional yang dikumandangkan oleh AS bersama sekutu-sekutunya dan antek-anteknya di negeri kaum Muslimin terhadap dunia Islam. Dan Indonesia memilih bersama pemerintah AS untuk memerangi Islam yang menjadi agama mayoritas di negeri sendiri. Dengan kata lain pemerintah Indonesia tengah memerangi mayoritas masyarakatnya sendiri.
Ketiga, yang dilakukan oleh Densus 88 tidak berdiri sendiri. Di back up secara sistematis oleh legal of frame yang kuat. Diantaranya UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme, RUU Kamnas, UU Ormas, UU Intelijen dan lain-lain. Mengkombinasikan pendekatan soft power dan hard power. Soft power oleh BNPT. Dan Hard Power oleh Densus 88. Dan semua itu diwujudkan untuk menghadang bahkan menghapuskan impian dan aspirasi kaum muslimin yang menjadi mayoritas masyarakat negeri ini untuk menjalankan agamanya sendiri islam secara kaffah dan syamilah.
Keempat, ada aktor-aktor palangis di belakang Densus 88 seperti Petrus Golosse yang bisa jadi terinspirasi dengan semangat perang salib menebarkan strategi adu domba di berbagai kelompok/kalangan di tengah kaum Muslimin. Aktor-aktor intelektual itu yang menggerakkan Densus 88 dengan menggunakan beberapa perwira di tubuh Mabes Polri yang bisa diperdaya dan dikendalikan demi pemusnahan sistemik para aktifis Islam. Genocide ala Densus 88. Dan pembunuhan terduga teroris menjadi batu loncatan untuk memusnahkan berbagai organisasi/gerakan islam mainstream yang menginginkan kejayaan islam kembali. Cepat atau lambat. Dilakukan secara rasional dan bertahap. Sekalipun kejayaan Islam itu mendatangkan rahmah bagi seluruh manusia. Baik Muslim maupun non Muslim. Islam yang diterapkan dalam bingkai negara telah terbukti secara konseptual, empirik dan historis. Tetapi itu tidak berlaku bagi musuh-musuh Islam yang senantiasa melakukan skenario dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan umat Islam.
Kelima, pembunuhan yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap terduga teroris yang selalu diidentifikasi kepada para aktifis Islam selalu membawa serta pembuktian buku-buku ajaran jihad. Jihad sebagai ajaran agung Islam diaborsi melalui stigma negatif. Al Jihad dalam pengertian perang perlawanan terhadap kafir muharibban fi’lan hendak dihapuskan. Semangat yang ada pada musuh-musuh islam dicangkokkan kepada para perwira-perwira polisi yang mau dijadikan antek-antek barat. Itu semua terjadi karena ketergantungan yang tinggi secara politik, ekonomi, sosial dan budaya termasuk di hampir semua aspek kehidupan. Tanpa menyadari bahwa saat ini barat di ambang kejatuhan dan bahkan kehancuran. Kacamata yang dipakai untuk melihat problem dunia islam adalah kacamata barat yang penuh keraguan dan kebencian terhadap Islam.
Akhirnya pilihan persoalan pembunuhan oleh Densus 88 terhadap terduga teroris sebagai persoalan paling krusial adalah pilihan menentukan sasaran serangan balik paling berbahaya di antara berbagai persoalan yang menyerang umat islam dan islam. Di antara bertebarannya serangan persoalan yang dihadapi kaum muslimin berbagai bidang yang multidimensional. Dibutuhkan momentum persoalan untuk melakukan serangan balik yang paling tidak melumpuhkan serangan paling berbahaya kaum kafir muharibban fi’lan melalui antek-anteknya di negeri ini. Karena ini sangat berkaitan dengan masa depan keberadaan perjuangan Islam di negeri ini. Ibarat sebuah pertempuran di medan jihad, di antara bom dan peluru yang mematikan maka serangan pembunuhan oleh Densus 88 yang menyasar para aktifis Islam adalah bom nuklir yang sangat berbahaya di antara persenjataan barat yang lain di belantara perang pemikiran dan politik negeri-negeri kaum Muslimin. Karena ujung dari bom nuklir itu adalah “Genocide komunitas Islam ala Densus 88″. Pemusnahan terhadap berbagai komunitas Islam yang berkeinginan kembalinya Islam secara kaffah dan syamil.
Maka penting menyadari bersama perlunya menyusun sebuah konstruksi perjuangan Islam berbagai gerakan/elemen umat Islam dari berbagai latar belakang manhaj, peran, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen. Sebuah konstruksi perjuangan yang bisa menghapuskan ancaman senjata paling berbahaya yang digunakan oleh kaum kafir muharibban fi’lan di bawah pimpinan AS laknatulloh. Melalui segera memperkarakan institusi antek-antek barat Densus 88. Dan membubarkannya. Termasuk melakukan judicial review dan menghapuskan legal of frame yang penuh dengan prejudice terhadap islam dan umat islam. Memformulasikan secara utuh bahwa biang persoalan global internasional adalah politik kesewenang-wenangan barat di bawah komando AS terhadap dunia Islam. Pembubaran Densus 88 hendaknya sebagai momentum ganti rezim dan sistem kufur yang berkuasa saat ini. Penguasa yang korup, represif dan menelantarkan rakyat. Ingatlah apa yang disampaikan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’alla di dalam Al Qur’an Surat Al-Anfal ayat 60 : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”. Wallahu a’lam bis showab. (arrahmah.com)