(Arrahmah.com) – Mengenal nasab dalam hukum Islam merupakan hal yang sangat primer. Sebagai nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, perihal nasab bahkan diabadikan dalam firman Allah subhanahu wata’ala, sebagai berikut.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗوَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa.” (QS. Al-Furqan [25] : 54)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan suatu nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz “fa ja’alahu nasabaa.” Dan perlu diketahui bahwasanya nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.
Dengan mengetahui keabsahan nasab seseorang, kita dapat mengetahui legalitas hubungan kekeluargaan seseorang apakah itu berdasarkan pertalian darah, apakah itu buah dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau akibat senggama syubhat (zina).
Maka nasab menjadi sebuah bukti pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu. Dengan demikian, anak tersebut berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat keterikatan hubungan nasab, seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.
Apalagi jika seseorang mengakui bahwa ia keturunan baginda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam (ahlul bait), tentu garis nasabnya amat penting untuk diketahui keabsahannya. Berikut Tim Arrahmah kutip dari publikasi Muqawamah Media pada Jum’at (17/10/2014), terkait pembongkaran kebohongan status ahlul bait Abu Bakar Al Baghdadi.
Bagian Satu:
PEMBUKTIAN BAHWA JAMAAH DAULAH MENYEMBUNYIKAN DAFTAR NAMA 12 ORANG YANG MEMISAHKAN ANTARA AL BAGHDADI DENGAN ‘URMUSY BIN ALI
Judul:
MENGANGKAT KEDUA TANGAN UNTUK MENAMPAR AL BAGHDADI
Banyak orang yang tak dikenal (majhul) di dalam nasab palsu Al Baghdadi
Ditulis oleh:
Ir. IBRAHIM AMIR
Turki Al Bin’ali – pakar syariat Tanzhim Daulah (ISIS) – menyebarkan sebuah risalah yang berjudul: “Angkatlah Kedua Tangan Kalian untuk Membaiat Al Baghdadi”. Di dalam risalah tersebut ia memuji-muji Al Baghdadi dengan berkata:
“Dia adalah seorang Syaikh Al Mujahid, seorang ahli ibadah yang zuhud; seorang Amirul Mukminin, seorang komandan pasukan agama, dialah Abu Bakar Al Qurasyi Al Husaini Al Baghdadi semoga Allah menjaga dan melindungi beliau, menjadikan beliau senantiasa di atas kebaikan dan membenarkan perilakunya. Beliau berasal dari keturunan ‘Urmusy Ibnu Ali Ibnu ‘Aid Ibnu Badriy Ibnu Badruddien Ibnu Khalil Ibnu Husen Ibnu Abdillah Ibnu Ibrahim Al Awwaah Ibnu Asy Syarif Yahya ‘Izzuddien Ibnu Asy Syarif Basyir Ibnu Majid Ibnu ‘Athiyyah Ibnu Ya’la Ibnu Duwaid Ibnu Majid Ibnu Abdirrahman Ibnu Qasim Ibnu Asy Syarif Idris Ibnu Ja’far Azzakiy Ibnu ‘Ali Al Hadiy Ibnu Muhammad Al Jawwad Ibnu Ali Ar Ridla Ibnu Musa Al Kadhim Ibnu Ja’far Ash Shadiq Ibnu Muhammad Al Baqir Ibnu Ali Zainal ‘Abidien Ibnu Al Husen putra Ali Ibnu Abi Thalib dan Fathimah Binti Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian garis keturunan beliau”.
Maka saya katakan : Mengapa ia tidak memulai menyebutkan nasabnya dengan namanya, nama ayahnya, nama kakeknya, sampai akhir nasab? Sedangkan nasabnya adalah nasab mu’allaq, yaitu awal dari nasabnya hilang. Namun katakanlah nasabnya ini benar, maka apakah ‘Urmusy ini kakeknya, atau ayah dari kakeknya, atau bahkan kakek dari kakeknya? Ada berapa orang tua yang memisahkan antara Ibrahim Awwad dengan ‘Urmusy?
Fakta mengejutkannya ialah; katakanlah bahwa nasabnya ini benar, maka ada 12 orang yang memisahkan antara dirinya dengan ‘Urmusy. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah nasab ini merupakan hasil duplikat dari nasab yang telah diumumkan bahwa itu milik Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Iraqi Shubhi As Samarra’i yang wafat pada tahun 1434 H dalam usia 80 tahun, di mana antara Syaikh Shubhi dengan ‘Urmusy terdapat sepuluh orang tua. Karena Syaikh Shubhi sudah lanjut usia, sementara Ibrahim Awwad masih muda, maka seharusnya antara Ibrahim dengan ‘Urmusy terdapat 12 orang tua.
Bagaimana membuktikan secara spontan bahwa sebuah nasab jaraknya adalah 12 orang dan waktunya adalah kurang lebih 360 tahun hingga 400 tahun?
Maka ini jawabannya; berikut ini adalah nasabnya Syaikh Shubhi As Samarra’i:
As Sayyid Shubhi (1354-1434)
Bin As Sayyid Jasim
Bin Humaid
Bin Hamd
Bin Shalih
Bin Mushthafa
Bin Hassan
Bin Utsman
Bin Daulah
Bin Muhammad
Bin Badri
Bin ‘Urmusy
Bin Ali
Bin ‘Aid
Bin Badri
Bin Badaruddin
Bin Khalil
Bin Husain
Bin Abdullah
Bin Ibrahim Al Awwah
Bin Asy Syarif Yahya Izzuddin
Bin Syarif
Bin Basyir
Bin Majid
Bin Athiyyah
Bin Ya’la
Bin Duwaid
Bin Majid
Bin Abdurrahman
Bin Qasim
Bin Asy Syarif Idris
Bin Ja’far Az Zaki
Bin Ali Al Hadi
Bin Muhammad Al Jawwad
Bin Ali Ar Ridha
Bin Musa Al Kazhim
Bin Ja’far Ash Shadiq
Bin Muhammad Al Baqir
Bin Ali Zain Al Abidin
Bin Husain
Bin Ali bin Abi Thalib
Di atas disebutkan bahwa ‘Urmusy ada di urutan 12. Apabila kita menuliskan nasab palsu Al Baghdadi dengan menempatkan ‘Urmusy di urutan 14 secara berurutan, maka:
Abu Bakar Al Qurasyi Al Husaini Al Baghdadi
Bin Majhul 1
Bin Majhul 2
Bin Majhul 3
Bin Majhul 4
Bin Majhul 5
Bin Majhul 6
Bin Majhul 7
Bin Majhul 8
Bin Majhul 9
Bin Majhul 10
Bin Majhul 11
Bin Majhul 12
Dari anak keturunan ‘Urmusy
Bin Ali
Bin Aid
Bin Badri
Bin Badaruddin
Bin Khalil
Bin Husain
Bin Abdullah
Bin Ibrahim Al Awwah
Bin Asy Syarif Yahya Izzuddin
???
Bin Asy Syarif Basyir
Bin Majid
Bin Athiyyah
Bin Ya’la
Bin Duwaid
Bin Majid
Bin Abdurrahman
Bin Qasim
Bin Asy Syarif Idris
Bin Ja’far Az Zaki
Bin Ali Al Hadi
Bin Muhammad Al Jawwad
Bin Ali Ar Ridha
Bin Musa Al Kazhim
Bin Ja’far Ash Shadiq
Bin Muhammad Al Baqir
Bin Ali Zain Al Abidin
Bin Husain
Bin Ali bin Abi Thalib
Pada nomor 24 mereka salah dalam proses pencatuman, yang aslinya Asy Syarif Yahya Izzuddin bin Syarif bin Basyir, mereka mengubahnya menjadi: Asy Syarif Yahya Izzuddin bin Asy Syarif Basyir.
Namun bagaimana saya tahu bahwa mereka telah menduplikat nasab? Jawabannya adalah karena mereka telah melakukan kesalahan, yaitu pada nama kakeknya ‘Urmusy.
Terdapat kesepakatan dari setiap orang yang menasabkan diri mereka kepada ‘Urmusy, bahwa nama ‘Urmusy adalah “‘Urmusy bin Ali bin Sa’id” “عرموش بن علي بن سعيد”, akan tetapi pada nasab Syaikh Shubhi tertulis “‘Urmusy bin Ali bin ‘Aid” “عرموش بن علي بن عيد” tanpa adanya huruf “س”, dan celakanya mereka menjiplak mentah-mentah kesalahan tersebut.
Benar bahwa ada larangan untuk mencemarkan kehormatan nasab tanpa bukti, akan tetapi yang kita saksikan ini bukanlah nasab yang sebenarnya (alias nasab palsu) karena ketidakhadiran nama 12 orang tua di dalam daftar nasabnya. Bahkan ketika disebutkan namanya dengan “Ibrahim bin Awwad bin Ibrahim” mereka mengingkarinya, katanya demi alasan keamanan. Apakah alasan keamanan menjadi alasan untuk mengingkari 13 nama – termasuk nama depannya – yang dimulai dari seseorang yang hidup 4 abad silam?
13 Dzul Hijjah 1435
6 Oktober 2014
========================================
Bagian Kedua:
PEMBUKTIAN BAHWA NASAB AL BAGHDADI
ADALAH HASIL DUPLIKAT DARI NASAB SYAIKH SHUBHI AS SAMARRA’I
Judul:
GUNTUR YANG MENGGELEGAR DI ATAS
UBUN-UBUN KELOMPOK PENUMPAH DARAH
Ditulis oleh:
Ir. IBRAHIM AMIR
بسم الله الرحمن الرحيم
Pada pembahasan sebelumnya saya telah menyebutkan tentang makalah Turki Al Bin’ali yang berjudul: “Angkatlah Kedua Tangan Kalian untuk Membai’at Al Baghdadi”, saya juga membahas mengenai bagaimana makalah tersebut mengklaim bahwa Al Baghdadi merupakan seorang ahli bait, namun ia tidak bisa menyebutkan nama ayah dan kakeknya hingga kira-kira pada urutan yang ketiga belas, dan bagaimana Al Bin’ali telah memulai menuliskan nasab dengan perkataan: “Beliau adalah cucu ‘Urmusy bin Ali bin ‘Aid…”
Saya juga telah menjelaskan bahwa di antara ‘Urmusy dengan Syaikh Shubhi terdapat 10 orang tua yang memisahkan keduanya, karena Syaikh Shubhi Rahimahullah wafat pada tahun 1434 H dengan usia 80 tahun dan beliau sudah lanjut usia sementara Ibrahim Awwad masih muda, maka seharusnya antara Al Baghdadi dengan Armush terdapat 12 orang tua yang memisahkan keduanya.
Mengklaim keanggotaan ahli bait adalah suatu hal yang berbahaya, apalagi itu sudah diumumkan, maka wajib dilakukan pembuktian dengan cara yang sudah terverifikasi, jika tidak, maka pelakunya telah mengklaim nasab kepada ahli bait tanpa bukti.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya mengenai tata cara penetapan nasab Asy Syarif (keturunan Rasulullah SAW), maka beliau menjawab:
“Mengenai cara menetapkan nasab Asy Syarif; maka itu dapat ditempuh dengan berbagai cara:
Pertama: Berdasarkan catatan para sejarawan yang terpercaya bahwa rumah si fulan atau keluarga si fulan adalah bagian dari ahli bait, dan dapat diketahui bahwa sosok yang dikenal sebagai penghuni rumah tersebut terdaftar oleh para sejarawan yang terpercaya.
Selanjutnya: Orang yang mengaku sebagai ahli bait harus memiliki sebuah sertifikat resmi dari para qadhi yang kapasitasnya diakui, atau dari para ulama yang terpercaya; bahwa ia adalah termasuk ahli bait.
Selanjutnya: Kabar bahwa keluarga si fulan adalah ahli bait sudah tersiar luas di seantero negeri.
Selanjutnya: Terdapat penjelasan yang adil, yaitu terdapat tidak kurang dari dua orang yang bersaksi mengenai hal itu, yang mana kesaksiannya tersebut didasari dengan dasar yang kredibel, apakah dari sejarah yang terpercaya, atau dari dokumen-dokumen yang mu’tabar, atau dari perkataan orang-orang yang terpercaya.
Sedangkan apabila itu hanya sekedar klaim yang tidak memiliki dasar yang benar, maka hal tersebut jangan dipercaya, baik klaimnya yang ini, ataupun klaim-klaimnya yang lain.” [Fatawa Islamiyyah: 4/531]
Al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahihnya sebuah hadits dengan nomor 3508, dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنْ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka”.
Masih dari Al Bukhari di dalam hadits nomor 6767: dari Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu Anhu ia berkata: saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya, padahal ia tahu dia bukan bapaknya, maka surga haram untuk ia masuki.”
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadist dengan nomor 2658 di dalam Sunannya dengan sanad yang shahih, Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Barangsiapa yang menghubungkan nasabnya kepada selain ayahnya atau seorang budak mengaku sebagai budak kepada selain majikannya, maka laknat dari Alloh, para malaikat dan manusia secara keseluruhan ditimpakan kepadanya.”
Ahmad berkata di dalam Musnadnya (2/326):
كُفْرٌ تَبَرُّؤٌ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ وَادِّعَاءٌ إِلَى نَسَبٍ لَا يُعْرَفُ
“Termasuk perbuatan kufur kepada Allah apabila seseorang berlepas diri dari nasabnya, sekali pun itu hal yang sepele, dan orang yg mengakui keturunan orang lain yang tak dikenal”.
Di dalam buku Mishbah Az Zujajah Fie Zawaid Ibnu Majah, karangan Al Bushiri (2/326) disebutkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhuma ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ
“Barangsiapa yang mengaku-aku memiliki hubungan nasab kepada selain ayahnya, maka surga menjadi haram baginya, padahal bau surga dapat dicium sepanjang jarak perjalanan lima ratus tahun.” Hadits ini adalah hadits shahih.
Kesalahan fatal:
Namun pembahasan saya pada hari ini adalah mengenai sebuah point yang sangat urgen, karena apabila ia sudah terbukti kebenarannya, maka hilanglah kredibilitas Al Baghdadi yang itu tidak lain adalah sumber nasab yang ditulis oleh Al Bin’ali. Tentu saja ia sudah membacanya, mengevaluasinya, dan memastikannya, baru kemudian makalah tersebut tersebar di internet, dan ia tidak melakukan koreksi sedikitpun.
Pembahasan saya pada hari ini adalah seputar nama dari kakeknya ‘Urmusy, apakah namanya ‘Aid atau Sa’id?
Di dalam makalahnya, Al Bin’ali menyebutkan bahwa ‘Urmusy adalah bin Ali bin ‘Aid bin Badri.
Kutipan dari makalah “angkatlah kedua tangan kalian untuk membaiat Al Baghdadi” karangan Turki Al Bin’ali, di sini tertulis “‘Urmusy bin Ali bin ‘Aid”.
Namun ternyata seluruh sumber-sumber nasab yang khusus membahas daerah Samarra’ dan Iraq menyebutkan bahwa ia adalah “‘Urmusy bin Ali bin Sa’id bin Badri”, berikut ini adalah sebagian sumber tersebut:
Tertulis : ‘Urmusy bin Ali bin Sa’id
Tertulis : ‘Urmusy bin Ali bin Sa’id
Tertulis : ‘Urmusy bin Ali bin Sa’id
Maka mengapa nasab Al Baghdadi menyimpang dari semua orang sehingga pada nasabnya tertulis, “‘Urmusy bin Ali bin ‘Aid bin Badri”? Apakah mungkin Badri memiliki dua orang putra yang satu bernama ‘Aid dan satunya lagi bernama Sa’id? Kemudian ‘Aid memiliki anak dengan nama Ali dan Ali memiliki anak dengan ‘Urmusy, dan ternyata secara kebetulan Sa’id juga memiliki anak dengan nama Ali dan Ali juga memiliki anak dengan nama ‘Urmusy?
Meskipun kenyataannya seperti itu dan terdapat keanehan, akan tetapi secara teoritis hal tersebut masih diperbolehkan. Namun diperbolehkannya hal tersebut secara teoritis itu tidaklah cukup, ia harus didukung dengan pengakuan dari ahli nasab, dan itu belum ada, dan tidak ada seorangpun yang pernah menyebutkan bahwa Badri memiliki seorang anak bernama ‘Aid!!
Jadi dari mana asalnya nama ‘Aid ini? Dari mana? Sesuatu yang benar-benar membingungkan! Namun untungnya ada sebuah informasi penting: Setelah Al Allamah Al Muhaddits Shubhi bin Jasim As Samarra’i wafat, beberapa situs menyatakan bahwa nasabnya berakhir hingga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu. Sebagian situs salah dalam menuliskan kata Said “سعيد”, mereka luput dalam menuliskan huruf “Sin” sehingga mereka menuliskannya dengan kata Aid “عيد”.
Berikut ini adalah nasab Syaikh Shubhi yang tercantum di berbagai situs dan di dalamnya tertulis kesalahan yang sama, saya akan memilihkan 3 contoh saja:
http://assalamu-alayka.tv/ar/detail/425
http://www.alukah.net/culture/11659/56786/#ixzz2XyfCvwcn
Apakah terdapat hubungan antara ‘Aid-nya Al Baghdadi dengan ‘Aid-nya Shubhi? Saya akan membiarkan orang yang cerdas menyimpulkan sendiri, Maha Suci Engkau wahai Rabbku, tidak ada Ilah kecuali Engkau.
Kami tidak ingin menzhalimi, kami hanya ingin membuat bantahan terhadap Al Baghdadi. Apakah mungkin bisa terjadi kesalahan yang disebabkan murni karena ketidaksengajaan, yaitu luput dalam menuliskan huruf “Sin” pada nama Sa’id di dalam nasab Al Baghdadi dan itu adalah kesalahan yang sama yang juga terjadi dalam penulisan nasab Syaikh Shubhi bin Jasim?
Kami ingin agar seseorang yang ahli dalam matematika dan menghitung peluang (ilmu kemungkinan/probabilitas) memberikan sugesti seberapa mungkin terjadinya kesalahan pada penulisan dua nasab yang satu panjang nasabnya 42 nama, dan satunya lagi 30 nama, dan kemudian keduanya mengalami kesalahan penulisan pada nama dan huruf yang sama.
Kembali lagi kepada kemungkinan yang kami anggap mustahil karena tidak ada pengakuan dari para ahli nasab, yaitu Sa’id seharusnya memiliki saudara yang bernama ‘Aid, dan keduanya memiliki anak yang masing-masing sama-sama bernama Ali, dan kedua Ali tersebut memiliki anak yang masing-masing sama-sama bernama ‘Urmusy.
Syaikh Shubhi serta Al Baghdadi ada di satu cabang, sedangkan seluruh anak cucu Alu Badri yang tersisa ada di cabang yang lainnya. Dan itu menjadi bukti bahwa nasabnya terpercaya, seiring dengan Al Bin’ali menyebutkan nasab Al Baghdadi seperti nasab Syaikh Shubhi, sebenarnya tidak ada kesalahan di dalamnya.
Namun di sinilah guntur yang menggelegar itu datang:
Syaikh Shubhi Jasim As Samarra’i menasabkan dirinya kepada ‘Urmusy bin Ali bin Sa’id sebelum beliau wafat. Dan ini tertulis di dalam buku “Inseklopedi Suku-suku Iraq” juz kelima, karangan Tsamir Abdul Hassan Al Amiri:
Dahi engkau layak untuk dicium wahai Syaikh Shubhi bin Jasim, sehingga orang-orang yang salah dalam menuliskan nasab engkau pun layak untuk dicium.
Kami menunggu jawaban dari para pendukung Jamaah Daulah, dan mereka tidak perlu kejang-kejang dan marah-marah dalam menyikapinya.
Rabu pagi 14 Dzul Hijjah 1435
8 Oktober 2014
(adibahasan/muqawamahmedia/arrahmah.com)