DHAKA (Arrahmah.com) – Ledakan bom, serangan pembakaran dan bentrokan dengan polisi pecah di Bangladesh pada hari Jumat menyusul eksekusi seorang petinggi Jamaah e-Islami Bangladesh, Abdul Qadir Mullah. Gelombang kekerasan lebih lanjut dikhawatirkan oleh sejumlah pengamat akan menimbulkan kekacauan di negara Asia Selatan yang tidak stabil menjelang pemilihan umum pada awal Januari, sebagaimana dirilis oleh Guardian, Sabtu (14/12/2013).
Seorang utusan khusus PBB baru-baru ini mengunjungi Dhaka, ibukota, dalam upaya untuk membawa kebuntuan partai politik untuk lebih memahami dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan.
Tapi kerusuhan yang terjadi seakan meredam setiap harapan solusi yang cepat atas kebuntuan politik di negara mayoritas Muslim terpadat dan miskin.
Lima orang dilaporkan tewas dalam bentrokan antara pasukan keamanan dan pendukung Abdul Qadir Mullah, seorang pejabat senior di partai Islam Jamaah-e-Islami (JI), yang digantung pada Kamis malam.
Mullah (65), adalah orang pertama yang akan dihukum mati oleh pengadilan Tindak Pidana Internasional, pengadilan yang dibentuk tiga tahun lalu oleh pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang memimpin Liga Awami. Semua terdakwa dituduh terlibat dalam pembunuhan kaum intelektual, lawan-lawan politik dan kaum sekuler dalam perang kemerdekaan pada tahun 1971, dimana negara itu memisahkan diri dari Pakistan.
Pengadilan tersebut telah dikritik oleh aktivis HAM dan ahli hukum sebagai pengadilan yang sangat cacat. Sebagian besar terdakwa adalah anggota oposisi, yang kemudian mengarah kepada tuduhan bahwa proses ini bermotif politik.
Mullah dimakamkan pada hari Jumat dini hari di kampung halamannya di distrik selatan Faridpur. Hasan Jamil, putra sulung Mollah, mengatakan kepada Guardian bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap ayahnya merupakan “pembunuhan politik”.
Kenangan konflik-di mana hingga 3 juta orang mungkin telah meninggal- masih sangat hidup di negara berpenduduk 160 juta, negara Muslim terbesar ketiga di dunia, meskipun budaya politik sekuler meluas di negara itu.
“(Eksekusi) ini juga merupakan kehormatan simbolis bagi 3 juta jiwa para syuhada,” kata Hossain.
Sebelum eksekusi, keluarganya diizinkan untuk melangsungkan pertemuan terakhir dengan tokoh berusia 65 tahun dan keluarga melihatnya dalam keadaan tenang.
“Dia mengatakan kepada kami bahwa dia bangga menjadi seorang martir yang memunculkan gerakan Islam di negara ini,” putranya, Hasan Jamil, mengatakan kepada AFP setelah pertemuan itu.
Pakistan Timur yang kemudian berganti nama menjadi Bangladesh, menyatakan kemerdekaan dari Islamabad pada bulan Desember 1971 pada akhir perang saudara yang berlangsung selama sembilan bulan di mana pemerintah mengatakan tiga juta orang telah tewas dalam perang tersebut.
Puluhan terdakwa diadili oleh Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk pemerintah Dhaka pada bulan Maret 2010, atas dugaan peran mereka dalam perang.
Tapi semua terdakwa yang baik dari anggota partai Jamaat-e-Islami atau dari oposisi utama Partai Nasional Bangladesh (BNP), menduga bahwa proses ini bermuatan politis.
Pihak berwenang terus bertekad untuk melakukan eksekusi meskipun mendapat kecaman yang luas dari dunia internasional terhadap langkah tersebut.
Pemerintah, yang juga telah menolak tekanan internasional untuk menunda pemilihan yang dijadwalkan bulan depan, tidak pernah bergeming tentang keputusan untuk melaksanakan eksekusi Mollah.
Jamaat menyebut eksekusi ini adalah suatu pembunuhan politik dan memperingatkan akan menuntut balas atas setiap tetes darah Mollah yang ditumpahkan rezim pemerintah.
“Orang-orang akan membalas atas pembunuhan ini dengan menegakkan Islam di Bangladesh, yang diwarnai dengan darah Abdul Quader Mollah,” pemimpin Jamaah e-Islami, Makbul Ahmed, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Tak hanya pendukung partai Jamaat-e-Islami yang melakukan aksi protes. Ribuan demonstran sekuler merayakan proses eksekusi terhadap Mollah. Mereka bahkan telah berkemah di alun-alun Shahbagh di Dhaka sejak Selasa malam.
Eksekusi Mollah adalah adalah pertaruhan politik bagi pemerintah, yang bermodalkan keyakinan bahwa aparat keamanan akan dapat mengahalau kerusuhan apapun. Bentrokan sekitar pemilu tahun 2007 akhirnya menyebabkan intervensi militer.
Kerusuhan yang mengancam Bangladesh dikhawatirkan untuk melumpuhkan perekonomian Bangladesh, terutama yang industri garmen £ 14 miliar, yang mempekerjakan lebih dari 4 juta orang.
Pejabat senior di Liga Awami mengatakan bahwa partainya bertekad untuk terus maju pada pemilihan umum, yang ditetapkan akan dilaksanakan pada tanggal 5 bulan Januari, meskipun partai oposisi, yang dipimpin oleh Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), mengatakan tidak akan berpartisipasi kecuali dibentuk pemerintah sementara dan Hasina mundur.
Para pemimpin dari kedua belah pihak diharapkan untuk bertemu pada Jumat untuk putaran ketiga pembicaraan untuk memecahkan kebuntuan politik.
Ada kekhawatiran yang luas bahwa pemerintah akan menyatakan keadaan darurat jika terjadi kerusuhan yang meluas.
Mohammed Shahiduzzaman, seorang analis keamanan dan seorang profesor hubungan internasional di Universitas Dhaka, mengatakan: “eksekusi ini akan menciptakan banyak ledakan emosional antara orang-orang yang mungkin berpikir bahwa Liga Awami yang benar-benar menggunakan situasi untuk menciptakan anarki untuk memaksakan pemilu satu sisi atau membuat situsai negara dalam keadaan darurat.”
Shafiqur Rahman, yang bertindak sebagai sekjen JI, dalam sebuah video pernyataannya, menyerukan kepada masyarakat untuk tetap tenang setelah pelaksanaan eksekusi terhadap Mullah: “Pemimpin syuhada kami Abdul Qadir Mullah melalui keluarganya telah menyampaikan pesan kepada semuanya bahwa beliau tidak ingin ada orang yang dibunuh sebagai pembalasan atas kematiannya itu. Sebaliknya beliau mendesak rekan-rekan dan sebangsanya untuk memastikan jatuhnya pemerintah penindas ini melalui protes terorganisir dan damai.”
Pernyataan Rahman ini disampaikan secara “underground” dan tidak berbicara kepada media karena “ancaman keamanan”, menurut Tajul Islam, seorang pengacara yang mewakili JI. (ameera/arrahmah.com)