RIYADH (Arrahmah.id) — Pihak berwenang Arab Saudi telah mengizinkan penggunaan kekuatan mematikan untuk membuka lahan bagi sebuah kota gurun futuristik yang sedang dibangun oleh puluhan perusahaan Barat, kata seorang mantan perwira intelijen kepada BBC (10/5/2024).
Kolonel Rabih Alenezi, mantan pejabat intelejen Arab Saudi, mengatakan ia diperintahkan mengusir penduduk desa dari satu etnis di negara bagian Teluk itu, untuk memberi jalan bagi “The Line” bagian dari mega proyek kota ramah lingkungan NEOM.
Salah seorang warga lokal ditembak dan meninggal dunia karena memprotes penggusuran.
Pemerintah Arab Saudi dan manajemen NEOM menolak berkomentar atas isu ini.
NEOM sendiri adalah kawasan ramah lingkungan Arab Saudi senilai US$500 miliar (Rp8 kuadriliun) yang merupakan bagian dari Visi Saudi 2030 yang bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi kerajaan dari minyak.
Proyek andalannya, The Line, telah digadang-gadang sebagai kota bebas kendaraan, dengan lebar hanya 200 meter (656 kaki) dan panjang 170km (106 mil) target dari proyek ini dilaporkan akan selesai sekitar 2,4 km pertama, pada tahun 2030.
Puluhan perusahaan global beberapa dari Inggris terlibat dalam pembangunan NEOM.
Area yang akan menjadi tempat NEOM berdiri, digambarkan sebagai “kanvas kosong” yang sempurna oleh pemimpin Saudi, Putra Mahkota Mohamed bin Salman.
Namun, menurut pemerintah Arab Saudi, lebih dari 6.000 orang telah dipindahkan demi proyek ini dan kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris, ALQST, memperkirakan angkanya lebih tinggi.
Sebagai gambaran ‘The Line’ dengan Peta Indonesia. Panjang kota ramah lingkungan di Arab ini setara jarak Jakarta – Garut, Jawa Barat. Ketinggiannya bisa hampir empat kali dari monas.
BBC telah menganalisis citra satelit dari tiga desa yang dihancurkan al-Khuraybah, Sharma dan Gayal. Rumah-rumah, sekolah, dan rumah sakit telah dihapuskan dari peta.
Kolonel Alenezi, yang mengasingkan diri ke Inggris tahun lalu, mengatakan bahwa perintah pembersihan yang ia minta adalah untuk al-Khuraybah, 4,5 km sebelah selatan The Line.
Desa-desa tersebut sebagian besar dihuni oleh masyarakat adat Huwaitat, yang telah mendiami wilayah Tabuk di barat laut negara itu selama beberapa generasi.
Dia mengatakan mendapat perintah pada April 2020. Perintah itu menyatakan bahwa suku Huwaitat terdiri dari “banyak pemberontak” dan “siapa pun yang terus melawan [penggusuran] harus dibunuh, jadi perintah itu mengizinkan penggunaan kekuatan mematikan terhadap siapa pun yang tetap tinggal di rumah mereka”.
Alenezi mengaku menghindari misi tersebut dengan alasan kesehatan yang dibuat-buat. Akan tetapi misi tetap berjalan, katanya.
Perintah menggunakan kekuatan yang mematikan ini menyasar kepada penduduk bernama Abdul Rahim al-Huwaiti.
Ia menolak memberi izin kepada komite pendaftaran tanah untuk menilai propertinya, dan ditembak mati oleh pihak berwenang Arab Saudi sehari kemudian, selama misi pembersihan.
Dia sebelumnya telah mengunggah beberapa video di media sosial untuk memprotes penggusuran tersebut.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak keamanan negara Saudi pada saat itu menuduh al-Huwaiti telah menembaki pasukan keamanan, dan mereka terpaksa melakukan pembalasan. Organisasi-organisasi hak asasi manusia dan PBB mengatakan bahwa dia dibunuh hanya karena menolak penggusuran.
BBC tidak dapat memverifikasi secara independen komentar Kolonel Alenezi tentang kekerasan yang mematikan.
Namun sebuah sumber yang mengetahui cara kerja direktorat intelijen Saudi mengatakan kepada kami bahwa kesaksian kolonel tersebut mengenai bagaimana perintah pembersihan dikomunikasikan dan apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang mereka ketahui tentang misi semacam itu secara umum.
Mereka juga mengatakan bahwa tingkat senioritas sang kolonel sudah sesuai untuk memimpin penugasan tersebut.
Sedikitnya 47 penduduk desa lainnya ditahan setelah menolak penggusuran, banyak di antaranya dituntut dengan tuduhan terkait teror, menurut PBB dan ALQST.
Dari jumlah tersebut, 40 orang masih ditahan, lima di antaranya terancam hukuman mati, kata ALQST.
Beberapa orang ditangkap hanya karena secara terbuka berduka atas kematian al-Huwaiti di media sosial, kata kelompok tersebut.
Pihak berwenang Arab Saudi mengatakan bahwa penduduk yang kena gusuran proyek The Line telah ditawari kompensasi.
Namun, jumlah yang dibayarkan jauh lebih rendah dari jumlah yang dijanjikan, menurut AlQST.
Menurut Kolonel Alenezi, “[NEOM] adalah inti dari gagasan Mohamed Bin Salman. Itulah mengapa dia begitu brutal dalam menangani Huwaitat.”
Seorang mantan eksekutif senior proyek ski NEOM mengatakan kepada BBC bahwa ia telah mendengar tentang pembunuhan Abdul Rahim al-Huwaiti beberapa pekan sebelum meninggalkan rumahnya di Amerika Serikat untuk peran tersebut pada 2020.
Andy Wirth mengatakan bahwa ia berulang kali bertanya kepada bosnya tentang pengusiran tersebut, namun tidak puas dengan jawabannya.
“Ini aroma mengerikan [yang] telah ditimpakan kepada orang-orang ini… Anda tidak bisa menginjak leher mereka dengan sepatu bot agar bisa memuluskan jalan Anda,” katanya.
Dia meninggalkan proyek tersebut kurang dari setahun setelah bergabung, karena kecewa dengan manajemennya.
Seorang kepala eksekutif perusahaan desalinasi Inggris yang menarik diri dari proyek senilai US$100 juta (sekitar Rp1,6 triliun) untuk The Line pada tahun 2022 juga sangat kritis.
“Mungkin bagus untuk beberapa orang dengan teknologi canggih yang tinggal di daerah itu, tetapi bagaimana dengan yang lainnya?” kata Malcolm Aw, CEO Solar Water PLC.
Penduduk lokal harus dilihat sebagai aset berharga, tambahnya, mengingat seberapa baik mereka memahami daerah tersebut.
“Anda harus mencari saran tersebut untuk mengembangkan, menciptakan, menciptakan kembali, tanpa harus menyingkirkan mereka.”
Penduduk desa yang digusur sangat enggan berkomentar. Musababnya, berbicara kepada media asing dapat membahayakan kerabat mereka yang ditahan.
Lebih dari satu juta orang telah digusur untuk proyek Jeddah Central di kota Arab Saudi bagian barat yang rencananya akan dibangun gedung opera, distrik olahraga, serta unit-unit ritel dan perumahan kelas atas.
Nader Hijazi [bukan nama sebenarnya] dibesarkan di Aziziyah salah satu dari sekitar 63 kawasan yang terkena dampak penggusuran tersebut.
Rumah ayahnya dihancurkan pada 2021 silam, dan ia hanya mendapat peringatan kurang dari satu bulan.
Hijazi mengatakan bahwa foto-foto yang ia lihat dari bekas tempat tinggalnya sangat mengejutkan. Ia berkata foto-foto tersebut menggambarkan sebuah zona perang.
“Mereka mengobarkan perang terhadap orang-orang, perang terhadap jati diri kami.”
Para aktivis Arab Saudi mengatakan kepada BBC bahwa ada dua orang yang ditangkap tahun lalu sehubungan dengan pembongkaran di Jeddah satu orang karena menolak penggusuran secara fisik, dan satu orang lagi karena mengunggah foto-foto grafiti anti-pembongkaran di media sosialnya.
Sejumlah kerabat dari salah satu tahanan di Penjara Pusat Dhahban Jeddah mengatakan, bahwa mereka mendengar kabar bahwa ada 15 orang lagi yang ditahan di sana kabarnya karena mengadakan acara perpisahan di salah satu kawasan yang terkena gusur.
Kesulitan untuk menghubungi mereka yang berada di dalam penjara Saudi membuat kami belum dapat memverifikasi hal ini.
ALQST mensurvei 35 orang yang digusur dari lingkungan Jeddah. Dari jumlah tersebut, seluruhnya mengatakan tidak menerima kompensasi, atau peringatan yang cukup, sesuai dengan hukum setempat.
Lebih dari separuh orang yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah dipaksa keluar dari rumah mereka di bawah ancaman penangkapan.
Kolonel Alenezi sekarang tinggal di Inggris namun masih mengkhawatirkan keamanannya.
Dia mengatakan seorang perwira intelijen menawari uang sebesar US$5 juta (sekitar Rp80 miliar) agar mau menghadiri pertemuan di kedutaan Saudi di London dengan menteri dalam negeri Saudi. Kolonel Alenezi menolak.
Kami menyampaikan tuduhan ini kepada pemerintah Saudi namun tidak ada tanggapan.
Serangan terhadap para pengkritik pemerintah Saudi yang tinggal di luar negeri bukannya tidak pernah terjadi sebelumnya yang paling terkenal adalah kasus jurnalis asal Amerika Serikat, Jamal Khashoggi,
Dia dibunuh oleh agen-agen Saudi di dalam konsulat negara tersebut di Istanbul pada tahun 2018.
Sebuah laporan intelijen AS menyimpulkan bahwa Mohamed Bin Salman menyetujui operasi tersebut. Namun, putra mahkota telah membantah memiliki peran apa pun.
Bagaimanapun, Kolonel Alenezi tidak menyesali keputusannya untuk tidak mematuhi perintah terkait kota futuristik Saudi.
“Mohamed Bin Salman tidak akan membiarkan apa pun menghalangi pembangunan NEOM… Saya mulai khawatir tentang apa yang mungkin akan saya lakukan terhadap rakyat saya sendiri.” (hanoum/arrahmah.id)