JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengadilan Negeri Jakarta barat kembali menggelar sidang lanjutan dengan perkara terorisme yang mendakwa akhina Umar Patek, dengan dakwaan peledakan Bom Bali.
Kali ini, akhina Umar patek diperkenankan menghadirkan Saksi yang meringankannya. Ia menghadirkan Iqbal Husaini alias Sihabuddin yang pernah menjadi gerilyawan muslim di Moro, Filipina.
Iqbal mengaku mengenal Umar sekitar Maret 2003 di Pulau Mindanau, Filipina. Namun Umar dikenal bernama Mike atau Mikail.
“Saya baru tahu dia adalah Umar Patek setelah melihat fotonya di pemberitaan Internet,” kata Iqbal di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis,( 3/5)
Iqbal menjelaskan, akhi Umar datang ke Filipina bersama rombongan Dulmatin alias Said Akil. Akhi Umar tinggal bersama istrinya tidak jauh dari barak persembunyian dan akhi Umar selalu berkunjung ke barak tersebut di pedalaman Pulau Mindanau.
Ia mengatakan Umar adalah sosok yang baik di mata koleganya. “Hormat kepada orang tua dan menyayangi yang lebih muda,” ucapnya.
Menurut Iqbal, Umar adalah salah satu anggota gerilyawan yang ikut berperang melawan militer Filipina. Umar kerap menyusun strategi untuk melawan militer yang berusaha menyusup ke wilayah muslim Moro.
“Posisi kami bertahan,” kata pria yang tinggal di Cipayung ini.
Ia mengaku pernah melihat Umar terlibat peperangan dengan militer Filipina pada 2004. Ia menggunakan senjata berjenis M16.
“Tapi setiap senjata dikembalikan setelah dipakai,” ujar Iqbal.
Menurut Iqbal pula, Umar lebih senang perang di luar negeri. Dia tidak setuju program jihad di Indonesia.
“Dia tidak setuju dengan program jihad di Indonesia karena merusak putra muslim dan korbannya sipil belum tentu non-muslim. Dia lebih suka perang di negara-negara yang sudah ada peperangan,” terang Iqbal
Menurut Iqbal, di Filipina, akhi Umar dan dirinya tidak diajari membuat bom, akan tetapi peralatan untuk perang sudah tersedia dan disiapkan.
“Di sana tidak diajari membuat bom. Ketika perang peralatannya sudah disiapkan dan tidak ada yang rebutan,” jelas Iqbal.
Akhi Umar sendiri, menurut Iqbal pernah menolak rencana Dulmatin, yang merupakan pemimpin mereka di Pulau Mindanao, untuk membom tempat umum di Filipina. Hingga 2004 saat pulang ke Indonesia, Iqbal tidak mendengar gagasan itu terealisasi.
“Dulmatin di Filipina pernah mengatakan ingin melakukan serangan balas dendam kepada pemerintah Filipina yang menyerang Moro dan menimbulkan banyak korban dengan menegakkan tempat-tempat publik di Filipina seperti kantor dan terminal yang di situ mayoritas non-Muslim. Tapi Umar Patek adalah orang yang pertama menolak gagasan tersebut. Sampai tahun 2004 saya pulang ke Indonesia gagasan itu tidak pernah direalisasikan,” kata Iqbal.
Iqbal mengaku pulang ke Indonesia sekitar September 2004. Namun, sejak saat itu, ia tak pernah lagi berhubungan dengan akhi Umar. “Tapi saya yakin, saat peperangan hingga 2006, terdakwa masih di sana,” katanya.
Akhi Umar didakwa dengan enam pasal berlapis. Ia diduga melakukan uji coba terhadap tiga pucuk senjata M16. Senjata itu digunakan pada pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh, bersama tiga terdakwa kasus terorisme lainnya, yakni Dulmatin, Warsito, dan Sibgoh. Dalam kasus itu, Umar juga didakwa memberi bantuan kepada ketiganya.
Akhi Umar juga diduga sebagai salah satu pelaku peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, yang mengakibatkan 192 orang tewas. Dakwaan lainnya, Umar diduga membuat paspor palsu atas nama Anis Alawi Jafar. Paspor itu digunakan Umar untuk berangkat ke Lahore, Pakistan, bersama istrinya, Fatimah Zahra. Adapun dakwaan yang keenam, Umar didakwa sebagai aktor peledakan enam gereja pada 24 Desember 2000. (bilal/arrahmah.com)