JAKARTA (Arrahmah.com) – Ekonom senior Indef Faisal Basri menguraikan tiga faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum memulai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pertama soal aksesibilitas masyarakat, jarak tempuh dan juga kemanfaatannya.
Faisal menyampaikan hal tersebut dalam acara diskusi virtual Indonesia Leaders Talk bertemakan Plin Plan Janji Pemimpin yang digagas PKS TV, Jumat (15/10/2021), lansir RMOl.
Menurut Faisal, kereta cepat seharusnya diterapkan untuk jalur Jakarta-Surabaya. Pasalnya, seluruh dunia penggunaan kereta cepat menggunakan jarak tempuh 500km, sedangkan untuk Jakarta-Bandung hanya 143,2 km dan dikatakan terpendek di dunia.
“Yang ideal itu sebetulnya Jakarta-Surabaya, jaraknya 800 kira-kira 700 km, kalau jarak lurusnya kan 663 km, dia singgah di Cirebon, Semarang, kemudian Surabaya. Jadi penumpangnya juga potensial, daerah bisnis. Kalau Bandung kan bukan daerah bisnis. Cirebon, Semarang dan Surabaya,” terang Faisal.
Faisal membandingkan antara kereta cepat dengan kereta penumpang biasa, contohnya Argo Bromo yang memiliki waktu tempuh 8,5 jam dari Gambir ke Pasar Turi.
Dalam pandangan Faisal, seharusnya kereta cepat bisa menggunakan jalur Jakarta Surabaya. Ia mengaku heran, pemerintah malah ingin membangun kereta semi cepat untuk jalur Bandung.
“Saya juga jadi bingung. Kecepatannya (kereta semi cepat) separoh, dari kereta cepat Jakarta-Bandung, 5,5 jam kalau mobil sekitar 10 jam. Jadi, kereta bener cepet yang Jakarta-Bandung itu cocok sekali di Surabaya bisa 2,5 jam,” ujar Faisal.
“Jadi, 2,5 jam dari Gambir misalnya ke Pasar Turi, 2,5 jam. Kalau naik pesawat kita bisa 5 jam itu, dari titik ke titik kan, itu superior sekali,” lanjutnya.
Faisal mengungkapkan, Singapura dan Malaysia sempat berencana membangun kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura namun dibatalkan. Sebab, Perdana Menteri Malaysia takut dililit utang, karena pengembalian utangnya akan lama.
Contoh lain disebutkan, negara Laos. Saat ini Laos terlilit utang oleh China karena proyek pembangunan kereta cepat.
“China bilang tidak apa, tapi saya minta kompensasi konsesi tambang. Itu yang saya takutkan terjadi di Indonesia,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)