NEW DELHI (Arrahmah.com) – Pemerintah musyrik India telah melarang Jamaat-e-Islami (JeI) di Kashmir yang dikelola India selama lima tahun, menuduhnya mendukung pemberontakan bersenjata di wilayah yang disengketakan yang merupakan jantung dari meningkatnya konflik dengan saingan Pakistan.
Larangan terhadap organisasi politik-religius pada Kamis (28/2/2019) terjadi kurang dari seminggu setelah polisi India menangkap lebih dari 300 anggota JeI, termasuk pemimpinnya, Abdul Hamid Fayaz.
Penangkapan itu terjadi setelah pemboman bunuh diri terburuk di wilayah yang disengketakan tersebut, di mana 44 polisi paramiliter India tewas di kota Pulwama awal bulan ini.
Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (28/2), kementerian dalam negeri India mengatakan bahwa JeI telah dilarang karena merupakan “asosiasi yang melanggar hukum” dan melakukan kegiatan “merugikan keamanan internal dan ketertiban umum”.
Kementerian itu mengklaim kelompok itu berhubungan “dengan kelompok militan dan mendukung ekstremisme dan militansi di Jammu dan Kashmir serta di tempat lain” dan mendukung disintegrasi.”
“Jika kegiatan JeI tidak dicegah, kemungkinan akan meningkatkan kegiatan subversif termasuk upaya untuk memunculkan negara Islam dari wilayah Uni India”, kata kementerian itu.
Larangan ketiga
Ini adalah larangan ketiga yang dikenakan pada organisasi tersebut sejak dibentuk pada tahun 1942, lima tahun sebelum kemerdekaan India dan pembentukan Pakistan.
Bereaksi terhadap tindakan tersebut, seorang pemimpin senior JeI mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “kebijakan tangan besi” India tidak akan pernah berhasil.
“Sebelumnya juga telah dilarang, tetapi saya pikir dalam situasi saat ini larangan itu tidak akan membantu. Pemerintah telah menggunakan kekuatan militer dan kebijakan yang keras selama lima tahun terakhir, meski demikian hal itu tak menghasilkan apa-apa. Larangan itu juga tidak akan berhasil,” katanya dengan syarat anonimitas.
Pemimpin JeI mengatakan larangan itu kemungkinan akan membahayakan ribuan siswa yang belajar di sekolah yang dikelola oleh kelompoknya.
“Sekolah-sekolah ini adalah model dari pandangan progresif dan modern. Keputusan ini akan membahayakan masa depan para siswa,” tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan, JeI mengatakan pihaknya sedang ditargetkan untuk “alasan yang tidak mereka ketahui”.
“Penggunaan kebijakan berotot akan semakin mengguncang situasi di Asia Selatan. Sebaliknya, upaya tulus harus dilakukan untuk menyelesaikan sengketa Kashmir yang telah lama tertunda,” ungkap pernyataan itu.
Mehbooba Mufti, mantan kepala menteri wilayah itu, mengecam larangan tersebut dan menyebutnya sebagai “kesewenang-wenangan” pemerintah.
“Gagasan tidak bisa dilarang atau dipenjara, perlu ide yang lebih baik untuk menggantinya,” katanya di Twitter.
In the past 24 hours, Hurriyat leaders & workers of Jamaat organisation have been arrested. Fail to understand such an arbitrary move which will only precipitate matters in J&K. Under what legal grounds are their arrests justified? You can imprison a person but not his ideas.
— Mehbooba Mufti (@MehboobaMufti) February 23, 2019
“Langkah-langkah seperti ini mencekik ruang perbedaan pendapat dan membawa kita ke masa yang lebih keras.”
Saat melarang JeI dan penangkapan yang dilakukan sebelum itu, seorang pejabat senior di Kashmir yang dikelola India mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “akan ada tindakan berkelanjutan terhadap pasukan anti-nasional”.
“Para pemimpin telah ditangkap dan mereka serang dikategorikan sekarang. Polisi dan agen-agen lainnya sedang melaksanakan proses tersebut. Para pemimpin ini terlibat dalam penghasutan kekerasan,” kata petugas, yang tidak ingin mengungkapkan identitasnya kepada media.
Basis kader yang kuat
JeI memiliki basis kader yang kuat di seluruh wilayah Kashmir yang bergolak. Kelompok ini menganggap dirinya terpisah dari Jamaat-e-Islami Hind, mitranya dari India, dan mendukung Jamaat-e-Islami Pakistan.
JeI berpartisipasi dalam pemilihan umum India selama lebih dari dua dekade sebelum terlibat dengan politik separatis setelah awal pemberontakan bersenjata di Kashmir pada tahun 1989.
Kelompok ini menyatakan bahwa Jammu dan Kashmir adalah wilayah yang disengketakan, dan mencari penyelesaiannya melalui hak penentuan nasib sendiri rakyat Kashmir.
Pada tahun 1989, ketika pemberontakan bersenjata meletus di Kashmir, kelompok pemberontak terbesar di kawasan itu, Hizbul Mujahidin, menyatakan kelompoknya adalah sayap militer JeI.
Ketika kekerasan menyebar, JeI dilarang sementara ratusan anggotanya dibunuh oleh pasukan kontra-pemberontak lokal, yang dikenal sebagai Ikhwan pada 1990-an.
Awal pekan ini, otoritas India melancarkan tindakan keras terhadap para pemimpin JeI di wilayah Kashmir setelah serangan bunuh diri Pulwama pada 14 Februari, yang diklaim oleh kelompok Jaish-e-Mohammed yang bermarkas di Pakistan.
Sejak insiden itu, telah terjadi peningkatan ketegangan antara India dan Pakistan yang bersenjata nuklir, sementara wilayah Kashmir yang disengketakan tetap berada di ujung tanduk. (Althaf/arrahmah.com)