Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah…” (QS Muhammad, 47: 19)
Allah memerintahkan kepada kita untuk mengutamakan belajar tentang makna laa ilaaha illallah, dan meyakininya, tanpa ragu, bahwa iman adalah petunjuk dari Allah SWT. Siapa saja yang meragukan kitab Allah, petunjuk bagi Muslim kepada kebenaran (Al-Haq), dia menjadi kafir. Allah SWT. berfirman:
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS Al Baqarah, 2: 2)
Manusia tidak perlu seseorang untuk menuntunnya ataupun seorang ulama untuk menuntunnya – petunjuk adalah dari Allah SWT. Kita mungkin belajar dari seorang ulama, tetapi kita bisa menjadi kafir, jahil atau tersesat. Kita bisa menjadi orang terpelajar, tetapi juga bisa menjadi pembohong, fasiq. Selanjutnya ulama bukan hanya orang yang terpelajar, tetapi dia adalah orang yang telah ditunjuki oleh Allah SWT. kepada Al-Haq.
Kita mengetahui ada banyak orang yang terpelajar di dunia ini, bekerja untuk rezim kufur – kita melihat dan mendengar mereka. Ada banyak orang terpelajar di Barat tetapi mereka berbicara atas nama kuffar melawan kaum Muslimin dan Mujahidin. Ini semua terjadi akibat lemahnya dalam laa ilaaha illallah (tauhid), dan dalam memahaminya.
Aqidah mempunyai efek terhadap kepribadian seorang Muslim, apakah da’i, aktifis, dan termanifestasikan dalam beberapa cara di bawah ini:
Beriman kepada Allah memerlukan deklarasi ketaatan mutlak kepadaNya, dan lepas dari perbudakan siapa saja kecuali Allah. Inti dari ‘ubudiyyah adalah mencintaiNya dan Rasul SAW. dan makna Mu’min ini harus mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa saja yang dibenciNya.
Allah membenci orang yang bekerja untuk thoghut; selanjutnya, kita harus membenci mereka, walaupun mereka orang yang paling terpelajar di dunia. Jika mereka bekerja untuk Fir’aun, raja atau presiden, kita harus membenci mereka demi Allah SWT., dan jika kita tidak melakukannya, maka kita tidak membenci apa yang Allah benci. RasuluLlah SAW. bersabda:
“Sekuat-kuat simpul imaan adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”
Salah satu tanda-tanda bahwa kita mencintai Allah dan RasulNya adalah bahwa kita menaatinya. Bagaimana bisa seseorang berhukum dengan hukum kufur dan mengklaim mencintai Allah? Dan bagaimana bisa seseorang mengatakan Laa ilaaha illallah dan tidak menolak thoghut? Kebenaran (Al-Haq) telah dibedakan dari Baatil. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…” (QS Al Baqarah, 2: 256)
Maka tanda pertama dan bukti bahwa kita mencintai dan membenci karena Allah adalah bahwa kita taat kepadaNya dan mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda kedua adalah mendeklarasikan kebencian dan permusuhan kepada orang-orang yang tidak beriman kepadaNya, dan mereka yang ingin berhukum, memerintah selain dari apa yang Allah SWT turunkan.
Ibnu Baa’uuraa’ adalah seorang individu yang telah diberikan pengetahuan kepada Allah. Namun, sekalipun dia adalah orang yang terpelajar dan banyak pengetahuan, dia mati sebagai seorang Musyrik (Kafir). [Merujuk pada Qur’an, 7: 175]
Ibnu Baa’uuraa’ adalah seorang individu yang telah diberikan pengetahuan kepada Allah. Namun, sekalipun dia adalah orang yang terpelajar dan banyak pengetahuan, dia mati sebagai seorang Musyrik (Kafir). [Merujuk pada Qur’an, 7: 175]
Ibnu Baa’uuraa’ adalah seorang individu yang telah diberikan pengetahuan kepada Allah. Namun, sekalipun dia adalah orang yang terpelajar dan banyak pengetahuan, dia mati sebagai seorang Musyrik (Kafir). [Merujuk pada Qur’an, 7: 175]
Mereka yang mengklaim beriman adalah pembohong jika mereka tidak menunjukkan kebencian hanya karena Allah dan berperang karenaNya.
Faktanya kita tidak bisa hanya membenci orang-orang yang Allah benci – kita perlu memburu mereka sampai mereka menjadi beriman atau hidup dibawah Syari’ah. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS At Taubah, 9: 33)
Shahabat mana yang mempunyai ijazah atau sertifikat? Tabi’in mana yang mempunyai ijazah atau jabatan? Tidak ada satupun dari mereka. Mereka dahulu belajar langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan merujuk kepada pemahaman Salaf, dan jika ada seseorang belajar di antara mereka, dia akan membuktikan bahwa dia seorang ulama lewat perbuatannya dan mengikuti Nabi – memerintahkan kebaikan, mencegah kemunkaran, melawan dan mengekspos para thoghut dan berjuang untuk Dien Allah. Selanjutnya, mereka yang tidak melakukan tugas Nabi bukanlah ‘Ulama, mereka adalah hulamaa. Rasulullah SAW bersabda:
“Ulama adalah pewaris para Nabi.”
Tanda ketiga bahwa kita mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci adalah bawah kita lepas dari ketaatan kepada siapapun kecuali kepada Allah.
Mereka yang tidak total dalam ketaatan kepada Allah SWT. akan tertimpa cobaan, dan mereka akan menjadi sasaran empuk bagi musuh. Semua bencana yang kita lihat hari ini itu disebabkan hawa nafsu manusia – mereka menjadi budak dollar dan Bush. Ketika musuh mengetahui tentang mereka dan sadar bahwa mereka menyembah dunia, uang dan kekuasaan, mereka akan menawarkan semuanya kepadanya kemudian mereka kompromi dan menjual ummat. Akibatnya mereka akan menaati apa saja yang mereka katakan karena mereka menyembah uang dan kekuasaan juga kemudian takut kehilangan apa saja yang mereka miliki. Kondisi ini yang dihadapi penguasa hari ini, semua menteri-menteri mereka, dewan perwakilan dan mereka yang disebut terpelejar adalah bitaanah (kaki tangan dan sekutu) tawaghit.
Muslim sejati selanjutnya adalah orang-orang yang menolak untuk bersedia di bawah otoritas thoghut dan hukum buatan manusia; dan karena mereka mencari jannah (yang lebih besar dari pada 7 langit dan bumi), musuh tidak bisa menawarkan mereka sebanding dengan hal itu, dan selanjutnya mereka tidak bisa menjadikannya sekutu.
Sebelum berperang dengan orang-orang Roma, kaum Muslimin menginformasikan kepada Abu Bakar, bahwa musuh dalam jumlah yang besar, dan memintanya untuk mengirimkan pasukan lagi. Hisyam Bin Al ‘Aas berkata (kepada Muslim),”Jika kamu mengetahui kemenangan adalah dari Allah, maka berperanglah! Jika kamu berfikir kemenangan itu adalah dukungan dari Abu Bakar, aku akan pergi kepadanya. Katakan!” Diriwayatkan bahwa Muslim berkata,”Demi Allah, Hisyam meninggalkan kami tanpa bicara.” Kemudian Amir berdiri dan berkata,”Berperanglah karena Allah.” Ini adalah peperangan besar, dan walaupun Hisyam terbunuh tetapi Allah telah mengalahkan orang-orang Roma. Seseorang menemukan tubuh Hisyam dan berkata,”Semoga Allah ridho kepadamu. Itulah apa yang kita cari – mati dijalan Allah.”
Pada Perang Mu’tah, kaum Muslimin hanya terdiri dari 3.000 pasukan, melawan 200.000 lebih orang Roma dan Arab Musyrikun. Mereka menyarankan untuk mengabarkan kepada Nabi tentang situasi mereka. Namun, Abdullah Bin Rawaahah bangkit dan memberikan khutbah, dan berkata,”Wahai ummat manusia, apa yang kamu benci (kematian) adalah apa yang seharusnya kami cari (syahid)! Kita tidak berperang dengan banyaknya pasukan, kekuatan – kita berperang dengan Dien ini (Islam). Mari kita berperang karena Allah, kita akan meraih kemenangan atau syahid. Muslimin berkata,”Abdullah berbicara tentang kebenaran.”
Kepercayaan ini kepada Allah adalah buah dari beriman kepadaNya. Itulah yang dilindungi Ummat di masa lalu dan memberikan mereka kemuliaan dan kehormatan. Jika kaum Muslimin kembali kepada Aqidah dan Tauhid, mereka tidak akan pernah khawatir tentang kelemahan mereka, kurangnya teknologi atau jumlah.
Ketika memulai dakwah, kaum Muslimin diperangi di Mekkah; sebagian ada yang dipaksa untuk hijrah ke Abyssinia (Ethiopia), dan sebagian tinggal dan disiksa. Disamping itu, mereka tidak pernah mencari bantuan dari orang-orang Persia dan Roma, dua super power pada waktu itu, walaupun mereka membutuhkannya. Ini karena mereka tidak pernah mengandalkan orang kafir manapun.
Ketika memulai dakwah, kaum Muslimin diperangi di Mekkah; sebagian ada yang dipaksa untuk hijrah ke Abyssinia (Ethiopia), dan sebagian tinggal dan disiksa. Disamping itu, mereka tidak pernah mencari bantuan dari orang-orang Persia dan Roma, dua super power pada waktu itu, walaupun mereka membutuhkannya. Ini karena mereka tidak pernah mengandalkan orang kafir manapun.
Ketika memulai dakwah, kaum Muslimin diperangi di Mekkah; sebagian ada yang dipaksa untuk hijrah ke Abyssinia (Ethiopia), dan sebagian tinggal dan disiksa. Disamping itu, mereka tidak pernah mencari bantuan dari orang-orang Persia dan Roma, dua super power pada waktu itu, walaupun mereka membutuhkannya. Ini karena mereka tidak pernah mengandalkan orang kafir manapun.
Bahkan di Madinah, pada saat Perang Parit, Yahudi dan Munafik berkonspirasi dari dalam Madinah dan berkhianat kepada Nabi. Orang-orang beriman di bawah pengepungan dan orang-orang Banu Qaynuqaa’ datang dengan pasukan mereka, menawarkan bantuan dan berperang dengan Nabi melawan Musyrikun. Nabi bertanya kepada mereka,”Siapa yang memecah belah?” Mereka berkata,”Mereka adalah orang-orang Qaynuqaa’.” Akankah mereka memeluk Islam?” Nabi menjawab. “Tidak” jawab mereka. Rasulullah SAW. kemudian berkata,”pergilah! Aku tidak akan pernah mencari pertolongan dari seorang Musyrik.”
Meyakini bahwa Allah memberikan kemenangan, meyakini apa yang Dia punya adalah lebih baik daripada apapun untuk mengorbankan Aqidah Mu’min.
Meyakini bahwa Allah memberikan kemenangan, meyakini apa yang Dia punya adalah lebih baik daripada apapun untuk mengorbankan Aqidah Mu’min.
Meyakini bahwa Allah memberikan kemenangan, meyakini apa yang Dia punya adalah lebih baik daripada apapun untuk mengorbankan Aqidah Mu’min.
Allah SWT. memberkahi Ummat ini dengan banyak hal, dari ni’mah Tauhid dan kepribadian Rasul. Allah memeliharanya dengan karakter dan moral yang baik, Dia telah menjadikannya contoh untuk diikuti.
Wallahu’alam bis showab!