(Arrahmah.com) – Kata “akal sehat” belakangan ini sering muncul ke ruang publik. Istilah tersebut dibawa oleh mantan dosen program studi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung. Mantera sakti itu pula yang kerap dibawa Rocky ketika diundang debat di layar televisi. Kubu oposisi tentu girang bukan kepalang. Bak kejatuhan durian runtuh, narasi itu terus diulang-ulang hingga lekat dalam ingatan masyarakat.
Tapi, akal sehat seperti apa yang sebenarnya dimaksud oleh Rocky Gerung? Kenapa masyarakat mudah terbuai dengan mantera yang dibawa Rocky?
Jauh sebelum hiruk pikuk Pilpres 2019, Rocky Gerung sudah sering membawa jargon akal sehat. Dalam sebuah Pidato Kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta pada 10 Nopember 2010 misalnya, Rocky pernah mengangkat tema “Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”.
Menurutnya, “Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan “akhlak” ketimbang “akal”. Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita “melihat dunia” melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung.”
Di sini kita bisa melihat bahwa Rocky Gerung tengah membenturkan pendidikan akhlak dan pendidikan akal dalam tujuan pendidikan nasional. Menurutnya, kedua hal tersebut sangatlah bertentangan, bahkan berbahaya bagi kehidupan Republik.
Ia melanjutkan, “Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep publik pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang ‘ragu-ragu’ inilah sesungguhnya yang dapat ‘membiarkan’ demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan ‘ragu-ragu’ ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu ‘keuntungan moral’ di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.”
Di kalimat berikutnya, Rocky dengan tegas bahwa ide bernegara dalam kondisi normal harus berada pada tatanan sekuler. Sehingga pihak-pihak yang merasa cemas untuk membayangkan berdirinya Negara sekuler ialah kelompok yang mengalami gangguan akal sehat.
Rocky menambahkan, “Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya.”
Secara terbuka, Rocky menegaskan bahwa masalah agama ialah masalah privat. Sehingga tak perlu diurusi oleh Negara. Bahkan, ia menyebut bahwa Republik ini meninggalkan jati dirinya dengan menghidupkan kembali pikiran atheisme.
Sebenarnya kita tak perlu heran melihat pikiran Rocky Gerung yang rajin mengangkat isu sekulerisme dan atheisme. Dalam sebuah tayangan video di Youtube, Rocky dengan terang-terangan mengaku sebagai seorang Kantian. Pengikut pikiran Imanuel Kant. Kant ialah filsuf Barat yang pertama kali di Eropa menelusuri akal manusia dan sejauh mana batasannya.
Pemikiran Kant seluruhnya dibangun dari prinsip-prinsip yang didasarkan pada akal budi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Oleh karena itu, ide besar Kant tidak memberikan tempat bagi ilmu-ilmu yang ditudingnya kurang rasional seperti ilmu psikologi, kosmologi dan teologi. Selanjutnya, radikalisasi pemikiran Kant ini berkembang menjadi aliran positivisme yang menihilkan hal-hal gaib termasuk agama.
Jadi, identitas sekulerisme dan anti pandangan agama yang dibawa Rocky Gerung sebenarnya adalah gambaran bahwa ia adalah Kantian sejati. Maka tak heran jika ia berpendapat bahwa kitab suci itu fiksi dan menyuruh orang yang ingin agar Indonesia lebih liberal harus menziarahi kuburan Immanuel Kant terlebih dahulu.
Ironisnya memang, Rocky muncul dan dibesarkan oleh media social di tengah hiruk pikuk Pilpres 2019. Tatkala polaritas kedua kubu pendukung Antara Jokowi dan Prabowo sedang menguat. Dalam keadaan tersebut, kontestasi sudah diibaratkan sebagai Total War. Maka, penguatan identitas siapa kawan dan siapa lawan seolah hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Perspektif politik. Padahal sebagai Muslim, jati diri kita sebagai orang Islam tak pernah akan hilang apapun keadaannya. (red/arrahmah.com)