WASHINGTON (Arrahmah.com) – Harian kampus Universitas Portland (PSU) menuduh salah seorang editornya mengancam nyawa salah seorang mahasiswa karena ia men-tweet video seorang mahasiswa yang angkat bicara dalam sebuah panel antar-agama, The College Fix melansir pada Jum’at (12/5/2017).
Andy Ngo, kontributor College Fix, yang mengangkat kabar terkait PSU dan kadang-kadang meliput kerusuhan yang terjadi di Portland, menulis dalam National Revie bahwa ia dipecat sebagai editor multimedia karena liputan tak resmi pada panel 26 April lalu yang melibatkan mahasiswa Muslim, Hindu, Yahudi, Kristen dan atheis.
Ngo mengangkat “penganiayaan kaum atheis dan murtad di negara-negara Muslim” untuk The Vanguard, dan dia adalah anggota Freethinkers dari PSU, yang diwakili dalam panel oleh mahasiswa bernama Benjamin Ramey.
Setelah mahasiswa Muslim, yang mengorganisir panel tersebut, mengajukan pertanyaan apakah Al Quran benar-benar mengizinkan pembunuhan non-Muslim, Ngo mulai merekam video. Dia akhirnya memasang klip 40 detik, dan beberapa jam kemudian, klip kontekstual yang lebih panjang dengan respons penonton.
Sang mahasiswa Muslim mengatakan bahwa di negara-negara yang menerapkan “hukum Al Quran” menjadi orang yang tidak beriman adalah sebuah kejahatan, namun orang-orang yang tidak beriman “diberi kebebasan untuk meninggalkan negara-negara ini…”
“Dalam panel hari ini, pembicara mahasiswa Muslim menyatakan bahwa murtad akan dibunuh dan diasingkan di negara Islam,” Ngo menulis dalam Twitternya.
“Berikut adalah klip penuh yang berhasil saya rekam. Seorang peserta panel menanyakan tentang Quran 5:51 dan ‘murtad’. Ia mengutip Quran 5:32 sesaat sebelum video dimulai,” lanjut Ngo, masih lewat akun Twitternya.
Ngo menyatakan bahwa ia membagi tweet pertamanya dengan Editor-in-Chief Colleen Leary dan wartawan Vanguard Jake Johnson, yang meliput kegiatan tersebut, dan menurut Ngo tidak ada reaksi negatif terkait tweetnya.
Ngo menuturkan ia dipecat pada 30 April, empat hari pasca kegiatan. Vanguard hanya menulis diskusi panel 1 Mei.
Mahasiswa ateis yang juga menjadi pembicara dalam panel tersebut menyatakan bahwa penjelasan pembicara Muslim yang diangkat Ngo dalam tweetnya tidak keluar dari konteks.
“Kami semua berada di sana untuk mendemonstrasikan pandangan kami masing-masing. Saya pikir, ia pun hanya melakukannya,” tulis Benjamin Ramey dalam tweetnya pada 28 April 2017.
Menurut Ramey, mahasiswa Muslim yang menjadi pembicara dalam panel itu tidak secara eksplisit menyatakan bahwa hukuman untuk murtad di negeri-negeri yang menerapkan hukum Al Qur’an, namun hanya memberi bukti kontekstual dari ayat yang dipertanyakan dan jelas dari konteks tersebut sanksi yang diberikan adalah hukuman mati. (althaf/arrahmah.com)