JAKARTA (Arrahmah.com) – Memperingati ulang tahunnya yang ke-12, The Habibie Center (THC) mengadakan seminar dengan tema “Constitutional Reform and Civic Education: Comparative Perspectives and Shared Experiences of Germany and Indonesia”. Acara yang digelar di Istana Ballroom, Hotel Sari Pan Pacific Jl. M.H. Thamrin, Jakarta pada hari Kamis (10/11/2011) menghadirkan sejumlah pakar politik-kenegaraan, diantaranya Prof. Dr. Hasjim Djalal, mantan Komisi Konstitusi MPR-RI dan Prof. Dr. Siegfried Bross, mantan Hakim Konstitusi Jerman.
Pada satu sesi dalam seminar tersebut, dibahas mengenai tidak efektifnya sistem demokrasi yang dianut pemerintahan sekarang. Sebab, menurut salah satu pembicara, Dr. Harjono yang mewakili Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah mengalami suatu perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah berkali-kalinya dilakukan amandemen konstitusional.
Prof. Maruarar Siahaan setali tiga uang dengan Harjono. Mantan Hakim Konstitusi Indonesia itu berpendapat bahwa pemegang keputusan di negara ini tidak terlalu fokus dengan mandat UUD ’45. Misalnya pengaturan kebijakan penanaman modal yang seharusnya, kata dia, diatur dengan UUD.
“Tapi kenyataannya banyak diatur dengan Peraturan Presiden,” sindirnya.
Bahkan dengan sistem kepemimpinan seperti sekarang ini, Maruarar meragukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mampu bertahan ke depannya.
Adanya pergeseran undang-undang negara juga diakui oleh Prof. Dr. Sofian Effendi yang turut berpartisipasi dalam acara yang digelar bekerjasama dengan Hanns Seidel Foundation tersebut. Bagi dia, sudah susah mengetahui UU saat ini merupakan UUD ’45. Yang masih asli dari UUD tersebut hanyalah atribut-atribut kenegaraan.
Dampak Buruk Demokrasi
Pergeseran terhadap nilai-nilai UUD ini memiliki dampak yang tidak baik, terutama bagi perjalanan bangsa. Sebagai contoh apa yang dikatakan Harjono bahwa, “Simpang-siurnya persoalan (bangsa) datangnya bukan dari rakyat, tapi dari penyelenggara negara (pemerintah, red).”
Kasus penyalahgunaan uang negara yang semakin parah juga mengindikasikan hal tersebut. Sofian menjelaskan, sebagian besar anggaran pemerintah digunakan untuk kepentingan perangkat negara. Angkanya berkisar 82 persen, sisanya baru yang dimanfaatkan untuk pemulihan sarana publik. Ini yang menyebabkan fasilitas umum banyak terbengkalai. Dia memberi contoh lalu lintas Jakarta yang semakin macet.
Padahal, “Pemerintah harus memenuhi tugas-tugas dan tanggung jawab untuk kepentingan umum,” demikian menurut Profesor Bross dalam pidatonya di awal seminar memberi gambaran tentang sistem demokrasi di Jerman.
Sofian juga menyatakan bahwa masyarakat hanya memperoleh manfaat kecil dari demokrasi. Demokrasi, menurutnya, tidak memiliki dampak positif langsung bagi rakyat Indonesia. Yang lebih menikmati hasil dari demokrasi, lanjut Dewan Pakar dari THC ini, adalah institusi demokrasi seperti partai politik, pejabat dan lain-lain.
Meski Harjono tetap memandang positif demokrasi sebagai tantangan besar sekaligus nilai yang bisa dijadikan acuan dalam berbangsa dan bernegara, tapi timbul pertanyaan olehnya, “Masih perlukah masyarakat yang demokratis?”. (hid/arrahmah.com)