MYANMAR (Arrahmah.com) – Myanmar harus melakukan “penyelidikan yang tepat” terhadap dugaan kejahatan yang telah dilakukan kepada minoritas Muslim Rohingya, kata duta besar Inggris untuk PBB.
Karen Pierce menyerukan pada Selasa (1/5/2018) agar akar penyebab krisis – yang telah membuat ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh karena meletusnya krisis yang disebut PBB sebagai “pembersihan etnis” oleh pasukan keamanan pemerintah – bisa segera ditangani.
“Untuk memiliki akuntabilitas, harus ada penyelidikan yang tepat,” ungkap Pierce, yang menjadi salah satu delegasi Dewan Keamanan PBB yang dikirim untuk meninjau kondisi pengungsi Rohingya di Myanmar dan Bangladesh selama empat hari, sebagaimana yang dilansir Al Jazeera.
“Tidak masalah apakah penyelidikan itu dilakukan secara internasional atau domestik, asalkan penyelidikan tersebut kredibel,” imbuhnya.
Menurut Pierce, penyelidikan bisa dilakukan oleh Pengadilan Kriminal Internasional atau pemerintah Myanmar sendiri.
Tetapi beberapa orang menyangsikan komitmen para delegasi tersebut terhadap keadilan.
“Akuntabilitas para pelaku adalah langkah yang paling penting, tetapi sayangnya Dewan Keamanan PBB tampaknya tidak mau menerapkan ini kepada petinggi militer Burma,” kata Kyaw win, pendiri Jaringan Hak Asasi Manusia Burma, kepada Al Jazeera.
“Kegagalan pertanggung jawaban, yang seharusnya di pikul oleh para pelaku, membawa angin segar bagi mereka, dan sekarang mereka tahu bahwa mereka bisa lolos dari tindakan yang telah mereka lakukan. Ketidakmampuan atau kurang efektifnya tindakan yang diambil oleh komunitas internasional berisiko membahayakan banyak nyawa di Burma,” katanya, dengan menggunakan nama lain untuk menyebut Myanmar.
Berdasarkan data PBB, sekitar 670.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pasukan keamanan menyerang mereka di negara bagian Rakhine, yang terletak di sebelah barat, pada Agustus lalu.
Sejak kejadian tersebut, pasukan keamanan Myanmar dituduh melakukan pemerkosaan, pembunuhan, penyiksaan, dan membakar rumah-rumah Muslim Rohingya.
Pejabat pemerintah Myanmar telah membantah keterlibatan militer dalam menghasut tindak kekerasan terhadap Muslim Rohingya dan berjanji pada Selasa (1/5) untuk mengambil tindakan “keras” terhadap setiap pelaku kekerasan seksual.
Ming Aung Hlaing, panglima angkatan bersenjata Myanmar, mengatakan kepada surat kabar Globel New Light pada Selasa (1/5) bahwa militer akan “memberikan tindakan yang lebih keras terhadap para pelaku tindak kekerasan seksual.”
“Kekerasan seksual dianggap sebagai tindak tercela, menurut tradisi, budaya, dan agama negara itu,” kata Hlaing. Dia juga menambahkan bahwa pemerintah siap menerima pengungsi yang ingin kembali ke Myanmar.
Pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, dalam pertemuan dengan para delegasi PBB yang digelar hampir satu jam, berjanji untuk menyelidiki tuduhan yang ditujukan kepada angkatan militernya secara kredibel, ungkap salah seorang diplomat yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Suu Kyi mencatat bahwa Myanmar kesulitan dalam transisi aturan hukum setelah beberapa dekade berada di bawah kediktatoran militer, kata para diplomat, yang tidak menyebutkan namanya.
“Dia mengatakan apa yang telah terjadi atau yang telah dituduhkan kepada angkatan militernya atas apa yang terjadi pada penduduk Rohingya tidak dapat diterima, kecuali jika ada bukti yang dilaporkan kepada pihak berwenang Burma, maka mereka akan menyelidikinya,” kata Pierce.
Pemerintahan sipil Suu Kyi tidak memiliki kendali atas kekuatan militer.
Pada bulan Februari, Bangladesh merilis daftar lebih dari 8.000 Muslim Rohingya untuk repatriasi. Pada 1 April, tidak ada seorang pun yang dikembalikan, mekipun pihak Myanmar telah memverifikasi identitas sekitar 600 orang, menurut kelompok HAM, Human Rights Watch.
Badan pengungsi PBB mengatakan bahwa kondisi di Myanmar “belum kondusif untuk kembali dalam kondisi aman dan bermartabat.”
Myanmar dan Bangladesh telah mengumumkan kesepakatan repatriasi pada Januari, namun kelompok-kelompok HAM dan warga Rohingya telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang perjanjian tersebut. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak menjamin kewarganegaraan penuh atau keselamatan bagi mereka yang kembali. (Rafa/arrahmah.com)