(Arrahmah.com) – Setiap tahunnya, syiah selalu mengadakan upacara tepuk ddada, karena sedih akibat dibunuhnya Imam Husein. Anehnya, mereka hanya mengadakan upacara tepuk dada ini untuk Imam Husein, dan mereka tidak mengadakan tepuk dada untuk mengenang ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib, yang juga mati dibunuh. Mengapa? Apakah Imam Husein lebih baik daripada Ali bin Abi Thalib?
Dikutip dari hakekat.com, hal ini terkait dengan misi Syiah untuk tetap mengikat pengikut Syiah secara emosional, hingga mereka tetap “kerasan” di dalam buaian tipu daya para ulama dan ustadz. Emosi kesedihan mereka dibangkitkan sedemikian rupa, hingga logika pun tumpul dan akhirnya hilang. Ketika logika tidak lagi bekerja, maka ulama dan ustadz syiah bebas untuk mensabdakan apa saja, dan penganut syiah awam dan dungu akan ikut, karena logika mereka sudah tidak lagi bekerja.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa sebenarnya yang membantai imam Husein, yaitu para syiah itu sendiri. Mereka menulis puluhan ribu surat untuk Imam Husein, memanggilnya ke Kufah untuk berjihad melawan apa yang mereka sebut sebagai “tirani”. Tapi yang terjadi di lapangan sungguh berbeda, karena syiah yang menulis surat pada Imam Husein, mereka malah memerangi Imam Husein hingga terbunuh. Ini sesuai dengan kesaksian Imam Ali Zainal Abidin, penerus Imam Husein.
Nah, jika yang membunuh Imam Husein adalah Syiah sendiri, mengapa Syiah malah berduka cita dan mengutuk para pembunuhnya? Jika memang syiah konsisten dengan pembelaan mereka terhadap imam Husein, dan konsisten terhadap kebencian pada para pembunuhnya, mestinya mereka meninggalkan agama Syiah.
Selain memperingati duka cita, upacara tepuk dada ini juga diisi dengan pengobaran dendam dan kebencian pada ahlussunnah, yang dituduh sebagai pengikut Yazid bin Muawiyah, dan dituduh menyetujui pembunuhan terhadap Imam Husein. Dengan berkobarnya kebencian yang dipupuk dalam upacara peringatan syahidnya Imam Husein, maka jarak antara syiah dan ahlussunnah semakin bertambah jauh. Persatuan antara Syiah dan ahlussunnah, yang selama ini dikampanyekan oleh kang Jalal, Haidar Bagir, Umar Shahab dan kawan-kawannya, semakin jauh bak panggang jauh dari api.
Sementara itu ketika merujuk kepada kitab-kitab Syiah, perayaan tepuk dada yang duyakini dan dilakukan manusia syiah ternyata membuat pahala pelakunya jadi gugur. Tapi mengapa mereka masih melakukannya?
Terkait dengan upacara tepuk dada ini, ada sebuah hadits dari Rasulullah dan Imam Ja’far As Shadiq, yang tentunya diriwayatkan oleh kitab-kitab syiah sendiri. Kami di sini tidak menggunakan dalil dari kitab Ahlussunnah.:
Dari Muhammad bin Ali bn Husein, dengan sanadnya dari Shafwan bin Yahya dan Muhammad bin Abi Umair, dari Musa bin Bakr, dari Zurarah, dari Ja’far As Shadiq: Siapa yang memukulkan tangannya ke paha ketika ditimpa musibah, maka pahalanya akan gugur.
Dari Muhammad bin Ya’qub, dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An Naufali, dari As Sukuni, dari Abu Abdillah berkata: Rasulullah SAWW bersabda: orang muslim yang memukulkan tangannya ke paha saat musibah, maka itu menggugurkan pahalanya. Wasa’il Syiah jilid 3 Bab 81 hal 270.
Jelas sekali, menepuk paha ketika musibah, sesuatu yang ringan, bisa menggugurkan pahala orang yang terkena musibah. Jika menepuk paha bisa menggugurkan pahala, apalagi dengan menepuk dada? Atau yang lebih ekstrem lagi menyayat tubuh dengan benda tajam hingga mengalirkan darah. Mengapa ulama dan ustadz syiah menyembunyikan riwayat ini dari umatnya?
Mengapa mereka menjauhkan pengikut syiah dari sabda-sabda para imam syiah sendiri? Jika penganut syiah sengaja dijauhkan dari mazhab asli keluarga Nabi, lalu siapa yang diikuti oleh para ustadz syiah?
(azm/arrahmah.com)