(Arrahmah.com) – Judul “Perang Dunia III” adalah salah satu yang muncul di pikiran masyarakat internasional sejak awal maraknya nuklir. Saat ini, konflik di Timur Tengah terus meningkat dan baik tokoh agama maupun politik mulai bertanya apakah kita menuju suatu perang baru yang mencakup seluruh dunia. Ketika Perang Dunia I pecah, ia disebut sebagai “perang untuk mengakhiri semua perang” dan banyak orang percaya bahwa konflik seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Namun, Perang Dunia II membuktikan bahwa konflik seperti itu bukan tidak mungkin untuk terjadi lagi, tetapi juga bisa lebih buruk daripada yang sebelumnya. Perang Dingin 1947-1991 dan ancaman senjata nuklir membuat orang waspada terhadap perang dunia ketiga.
Apakah hari ini kita memang menuju suatu perang dunia lagi? Tidak ada yang bisa memastikan, tetapi ada beberapa pendapat dari beberapa tokoh politik dan agama, dan bagaimana konflik di beberapa tempat menjadi potensi untuk menjadi “Perang Dunia III”.
Pasca serangan di Paris, Perancis, November 2015, Paus Fransiskus berkata, “Bahkan saat ini, setelah kegagalan kedua dari perang dunia, mungkin seseorang dapat berbicara tentang perang ketiga, satu tahap sedikit demi sedikit, dengan kejahatan, pembantaian, kehancuran.” (http://www.huffingtonpost.com/entry/pope-francis-worldwar-3_5648ab7de4b06037734973e6)
Kalimat yang senada pernah Ia katakan di Memorial Park pada tahun 2014 di Italia, saat seremonial penghormatan bagi tentara Italia yang tewas pada Perang Dunia I.
Ucapan Paus Fransiskus ini perlu diberi perhatian khusus. Terlebih, Paus adalah seorang tokoh agama yang diikuti kata-katanya. Pada zaman Perang Salib, Paus adalah penggerak dan pendeklarasi Perang. Paus Urbanus II pada perang salib 1, memobilisasi massa Kristiani untuk berperang, merebut dan mempertahankan tanah suci Yerusalem. Pada masa perang salib 2, Paus Eugenius III juga menjadi penggerak massa Kristen untuk berperang melawan Muslim di Palestina, yang saat itu dipimpin oleh Sholahuddin Al Ayyubi. (https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib)
Ada juga beberapa konflik yang hari ini berpotensi menjadi faktor pemicu yang mengarah ke Perang Dunia III:
1. Invasi Rusia di Ukraina
Pada bulan Februari 2014, 6.000 tentara Rusia bergerak ke semenanjung Krimea dan mengambil alih beberapa bandara. Ini hanya awal, pasukan Rusia lalu mengambil alih pangkalan militer, gedung-gedung pemerintah, dan banyak lagi. Sebagian pribumi Ukraina menyebut ini tindakan perang, tetapi banyak pula pendukung Rusia di negara itu yang senang melihat langkah yang dilakukan oleh Rusia. Kerusuhan mengisi jalan-jalan sebagai kekuatan politik bentrokan. Pemimpin melarikan diri, meninggalkan sejumlah besar pendukung yang berjuang melawan kehadiran Rusia.
PBB, NATO, dan AS semuanya telah siaga satu sejak invasi. Rusia, dan pemimpinnya, Putin menegaskan bahwa invasi tersebut bukanlah sebuah tindakan agresi, tetapi hanya bergerak untuk membuat Ukraina lebih “terasa” Rusia di aspek budaya dan politik.
Presiden Amerika Serikat, Obama memperingatkan Putin bahwa invasi ini akan memiliki konsekuensi, tapi Putin yakin bahwa baik PBB maupun AS ingin memulai konflik nuklir, sehingga ia mengabaikan peringatan.
Setelah setahun, konflik ini mereda dengan Rusia saat ini berada di atas angin. Fokus pun beralih ke konflik lainnya yang telah berlangsung lebih lama, dan menimbulkan korban jiwa lebih besar, dan lebih banyak jumlah negara yang terlibat konflik, yaitu konflik di Suriah.
2. Konflik Suriah
Konflik di Suriah berawal dari keinginan rakyat Suriah agar Presiden Suriah, Bashar Assad turun. Unjuk rasa dan demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat, berbalas tembakan peluru dari tentara Suriah. Perlawanan damai pun berubah menjadi perlawanan bersenjata.
Banyak muncul faksi pejuang yang didirikan oleh rakyat Suriah sebagai wadah dalam menghadapi serangan tentara rezim. Banyak pula datang foreign fighter (pejuang asing) yang datang ke Suriah, baik membantu mujahidin ataupun membantu Bashar Assad.
Kebiadaban Bashar Assad dalam konflik Suriah banyak disorot oleh lembaga pemerhati HAM dan juga PBB. Misalnya, penggunaan senjata kimia. Bashar Assad telah dituduh menggunakan senjata kimia berupa gas beracun untuk membunuh rakyatnya.
PBB telah menginvestigasi, dan telah mengeluarkan resolusi untuk Suriah. Resolusi DK PBB pun selalu mental karena Rusia dan Cina, sekutu utama Bashar Assad, selalu memveto setiap resolusi DK PBB untuk memberi sanksi atau melakukan penyelidikan atas kejahatan Assad terhadap rakyatnya.
Konflik menjadi semakin berkepanjangan ketika tema utama konflik Suriah bergeser menjadi perang melawan terorisme.
Tercatat hari ini semua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB telah terlibat dalam konflik Suriah. Hal yang menjadikan konflik ini semakin rumit adalah ketiadaan konsensus atas definisi terorisme. Definisi terorisme tidak pernah disepakati oleh semua negara.
Melihat kerumitan masalah yang terjadi, dengan banyaknya negara yang terlibat dan misinya masing-masing, Konflik Suriah inilah yang berpotensi besar menjadi pemicu munculnya Perang Dunia, dan Suriah sebagai episentrumnya.
Negara-Negara pemain konflik Suriah
Hari ini banyak negara telah ikut bermain dalam konflik Suriah. Mereka memiliki tujuan masingmasing. Dalam medan perang di Suriah, foreign fighter terbagi menjadi dua jenis, yaitu state actor atau tentara yang ditugaskan negaranya, dan non-state actor, seperti milisi syiah asal Irak dan Hizbullah dari Lebanon. Berikut ini adalah Negara yang terlibat dan misinya masing-masing. (http://www.theguardian.com/world/2015/sep/29/syriacrisis-where-do-the-major-countries-stand)
1. Amerika Serikat
Obama telah berada pada misi yang jelas di Suriah: perang melawan jihadis, dan bahwa harus ada transisi pemerintahan di Damaskus, yang berarti melengserkan Assad. Namun, John Kerry telah mengisyaratkan bahwa Bashar al-Assad bisa menjadi bagian dari proses transisi itu, yang berarti bahwa sikap AS melunak daripada sebelumnya saat AS bersikap bahwa Assad turun. Upaya AS untuk mempersenjatai pemberontak Suriah yang moderat telah gagal total. Sikap lebih tegas Moskow membuat kondisi AS lebih sulit dari sebelumnya.
2. Rusia
Putin telah meningkatkan dukungan militer bagi Assad dan mengisyaratkan bahwa ia mungkin bisa melakukan lebih banyak hal lagi. Ia mengatakan bahwa akan menjadi “kesalahan besar” untuk tidak bekerja sama dengan Assad untuk melawan kelompok jihadis di Suriah. Namun sembari membuat perencanaan untuk menghadapi kelompok jihadis, Rusia sedang meningkatkan dukungannya untuk Presiden Suriah. Putin mendasarkan pada kebutuhan untuk menjaga struktur negara Suriah, dan oposisi moderat, yang tidak termasuk kelompok pemberontak bersenjata. Rusia bergerak pertama dan terutama untuk menyelamatkan pasukan Assad, mendukung serangan dengan tentara yang tersisa, dan mengamankan kekuasaan, menentukan masa depan Suriah dan nasib pribadi Assad. Serangan ke Islamic State adalah misi resmi yang digunakan untuk membingkai kampanye ini. Salah satu poin dari solusi yang ditawarkan Rusia adalah pembagian dua kategori untuk oposisi bersenjata Suriah; yaitu mereka yang bersedia untuk masuk ke dalam negosiasi dengan Bashar Assad dan mereka yang akan melanjutkan perlawanan bersenjata. (http://www.kiblat.net/2015/11/07/rusia-usulkan-basharassad-menyingkir-tapi/)
3. Inggris
Inggris mengisyaratkan bahwa Assad tidak harus mundur dalam waktu dekat, tetapi dalam jangka waktu enam bulan. David Cameron bersikeras Assad harus diadili atas kejahatan perang—posisi yang tampaknya mencerminkan kebingungan di Whitehall, atau transisi antara perubahan sikap. Inggris adalah bagian dari koalisi AS anti-ISIS di Irak dan dapat memperpanjang serangan udara ke Suriah. Inggris juga menjadi pendukung oposisi Suriah yang moderat.
4. Prancis & Uni Eropa
Prancis lebih garang di Suriah dari negara Uni Eropa lainnya dengan menentang peran Assad dalam masa transisi. “Assad adalah sumber masalah,” kata François Hollande, Presiden Perancis, mengatakan. “Dia tidak bisa menjadi bagian dari solusi.” Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, mempunyai pandangan yang sama. Kanselir Jerman, Angela Merkel telah mengatakan pembicaraan tentang masa depan Suriah harus menyertakan Assad. Negara anggota Uni Eropa lainnya, Austria dan Spanyol, secara lebih eksplisit mengatakan tentang perlunya kerjasama keamanan dan dialog dengan Presiden Suriah, yang menurut mereka merupakan partner terbaik untuk memerangi IS.
5. Iran
Iran selalu solid dalam memberi dukungan untuk rezim Suriah. Seperti Rusia, Iran menolak solusi bahwa Assad harus mundur. Pengaruh militer dan politiknya di Damaskus lebih kuat dari negara lain, dikombinasikan dengan milisi yang dimainkan oleh sekutunya, kelompok Hizbullah dari Lebanon. Presiden Iran, Hassan Rouhani, mengatakan Teheran bersedia untuk bekerja dengan pihak lain di Suriah, tetapi hanya jika prioritas mereka adalah untuk memerangi terorisme, bukan melengserkan rezim.
6. Arab Saudi & Koalisi Negara Islam
Riyadh tetap berkomitmen untuk mendukung pemberontak yang berjuang untuk menggulingkan Assad, dan menegaskan Assad harus mundur. Setelah sebelumnya koalisi dengan AS dalam menyokong pemberontak, barubaru ini Arab Saudi mengadakan konferensi di Riyadh yang mengundang perwakilan oposisi Suriah dan komandan kelompok-kelompok pejuang di Suriah, minus Jabhat al-Nusrah dan IS. Ahrar Syam juga diundang, tetapi mundur pada hari kedua konferensi.
7. Turki
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berpendapat bahwa Assad bisa berperan dalam transisi politik, dengan formulasi mirip dengan AS. Namun dia juga mengatakan bahwa tidak mungkin untuk Suriah untuk “menerima seorang diktator yang telah menyebabkan kematian hingga 350.000 orang”. Erdogan sebelumnya bersikeras bahwa Assad harus menyerahkan kekuasaan. Terkait Suriah, Turki juga memiliki prioritas lain, yaitu memerangi Kurdi.
8. Israel
Pemerintah Binyamin Netanyahu memiliki kepentingan dalam perang Suriah dalam aspek keamanan nasional Israel, dengan fokus pada Hizbullah di Libanon. Netanyahu dan pemimpin militer Israel sempat mengadakan pembicaraan dengan Putin untuk memastikan pesawat Rusia tidak bertentangan dengan Israel ketika mengambil tindakan di wilayah udara Suriah. Israel juga menyumbang informasi intelijen untuk memfasilitasi operasi militer Rusia.
Konflik Suriah, ambang pintu Perang Dunia ?
Melihat banyaknya pihak yang mengambil peran di Suriah, maka patut kita amati apakah konflik di Suriah ini merupakan ambang dari perang dunia. Lima Negara anggota tetap dewan keamanan PBB telah terlibat dalam konflik Suriah; AS, Rusia, Prancis, Inggris dan China. Mereka terbagi menjadi dua blok, AS-PrancisInggris dan Rusia- Cina. Pihak yang mereka lawan adalah musuh yang sama, mujahidin Suriah, yang digeneralisasi oleh mereka sebagai “Islamic State”. Richard Spencer, seorang jurnalis di situs telegraph.co.uk, menulis dalam artikelnya bahwa Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian internasional justru membuat konflik Suriah tambah berdarah-darah.5 Berikut ini adalah konflik antar lima Negara anggota DK PBB dan sekutunya:
AS v Rusia
Amerika Serikat pada tahun 2011 sudah menyerukan rezim Assad untuk menyingkir, sebagai respon terhadap protes rakyatnya dan semakin represifnya rezim Assad. Rusia, pendukung setia rezim Assad berusaha mengulang masa lalu, di masa ayah Bashar alAssad, Hafez Assad, saat Rusia memveto setiap resolusi DK tersebut di PBB. Sejak itu, semuanya memburuk.
AS telah mendukung dan melatih pemberontak “moderat”, dalam aliansi dengan sekutu negara Teluk, tetapi AS juga terlibat dalam perang dengan kelompok jihadis seperti Jabhat al-Nusra, cabang lokal al-Qaeda di Suriah. Kehadiran Jabhat al-Nusra dan Islamic State telah membawa dua negara adidaya tersebut ke dalam satu posisi bersama dengan menganggap mereka sebagai musuh. (http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/s yria/11915649/How-Syria-and-the-bloody-conflict-has-tornthe-UN-Security-Council-apart.html)
Namun AS percaya bahwa Islamic State hanya dapat dikalahkan dengan faktor lain dari penyelesaian masalah yang lebih besar di Suriah, yaitu mundurnya Presiden Suriah yang beberapa analis memandang bahwa ia memainkan peran dalam pembentukan Islamic State ini.
Rusia ingin mengalahkan kelompok jihadis terlebih dahulu, yang berarti menjaga Assad tetap berkuasa. Kedua negara adidaya tersebut sekarang sama-sama menyerang kelompok jihadis, tetapi bekerja sama dengan pemain yang berbeda di medan Suriah.
Tujuan politik yang lebih luas dari intervensi sekarang terlihat lebih jelas. Pertama, Rusia berusaha untuk menghancurkan pasukan antiAssad, meninggalkan dua kubu saja, Tentara Suriah dan jihadis. Bagi Amerika Serikat, hal ini akan membuat gagasan yang mendukung pasukan moderat di Suriah menjadi mental. Hal ini, pada gilirannya, berarti Arab Saudi dan negara-negara Sunni lainnya mungkin harus berjalan sendiri dalam perang proxy ini, masalah yang lebih mudah dikelola untuk Rusia dan Iran. Akibatnya, Rusia akan mencapai tujuannya: memastikan bahwa rezim Suriah adalah satusatunya aktor yang sah dan layak di Suriah. Dalam proses pembentukan koalisi anti-IS dengan Irak dan Iran, Moskow berusaha untuk menjadi pasukan “sah” Assad. Assad mungkin di luar batas untuk Presiden Obama, tapi presiden AS berikutnya mungkin lebih suka formulasi seperti di atas sebagai alternatif intervensi di Suriah.
Rusia mencoba untuk menormalkan citra Assad. Moskow kemudian akan berusaha untuk menyusun proses politik baru, kemungkinan bekerja dengan negara-negara Eropa, tetapi dengan tujuan akhir dari memaksa Amerika Serikat untuk menerima kenyataan bahwa Assad akan tetap berkuasa untuk saat ini. Jika Rusia bisa membuat Amerika Serikat untuk setuju, dan menerima Assad, hal ini merupakan prestasi untuk Moskow, dan membuat Turki dan Arab Saudi terisolasi.
AS v Cina
Rusia mungkin tidak merasa cukup percaya diri untuk bertindak sendiri untuk menghentikan rencana Barat bagi Suriah jika tidak memiliki dukungan veto dari Cina. Cina telah memainkan sedikit peran militer atau diplomatik dalam krisis Suriah sehingga Amerika merasa bahwa Cina sedang memainkan peran spoiler—menghentikan satu solusi tanpa memberikan alternatif. Hal ini juga menunjukkan bahwa China memainkan permainan jangka panjang- memberi jalan Rusia untuk menyabotase kredibilitas Amerika di seluruh dunia, dengan harapan bahwa suatu hari China akan mengambil peran sebagai pemimpin dunia, karena pengaruh kekuatan ekonominya.
Rusia v Inggris dan Prancis
Rusia memiliki konflik dengan Inggris saat ini, dimulai atas pembunuhan pembangkang Alexander Litvinenko di London pada tahun 2006 dan seterusnya. Inggris, bersama dengan Perancis, menjadi salah satu pionir dalam menjatuhkan sanksi atas keterlibatan Rusia dalam konflik di Ukraina, dan Perdana Menteri David Cameron juga mengecam Rusia atas dukungan mereka pada Assad. Setelah memberi dukungan serangan udara untuk pemberontak dalam perang yang menggulingkan Muammar Gaddafi di Libya, kedua negara Eropa Barat tersebut mendirikan kelompok “Friends of Syria” untuk menyalurkan dukungan diplomatik dan uang tunai kepada oposisi Suriah.
Rusia menganggap intervensi di Libya sebagai sebuah kegagalan, dan saat ini Rusia menyerukan pertemuan bagi negara-negara yang berkepentingan di Suriah. Namun, mereka tidak mengundang Inggris dan Prancis.
AS v Inggris dan Prancis
Meskipun ketiga Negara ini adalah sekutu sejak lama, ada rasa kecewa di kalangan tiga negara-negara Barat di DK PBB pada perilaku satu sama lain atas Suriah. Prancis adalah negara paling bersemangat dari semua negara untuk melakukan intervensi militer di Suriah, dan Presiden Barack Obama akhirnya dibujuk untuk memulai serangan udara pada tahun 2013 atas alasan penggunaan senjata kimia oleh rezim. Prancis kemudian merasa dilemahkan oleh penolakan Inggris untuk bergabung dalam aliansi militer di Suriah, disebabkan oleh kegagalan PM Inggris, David Cameron untuk memenangkan voting di House of Commons, Parlemen Inggris.
Telah dilaporkan bahwa Washington juga pernah tidak mengundang Inggris dan Prancis dalam beberapa KTT, sebagaimana yang dilakukan oleh Moskow. Namun, Inggris dan Prancis percaya bahwa meyakinkan rakyat mereka tentang perlunya tindakan lebih di Suriah akan lebih mudah diterima bila dilakukan dengan Amerika Serikat, sebagaimana yang telah mereka lakukan selama beberapa dekade terakhir.
Cina v Inggris dan Prancis
David Cameron pernah menyinggung Cina dalam pertemuannya dengan Dalai Lama pada tahun 2012, dan selama tiga tahun terakhir mencoba untuk kembali memuluskan hubungan. Baik Prancis maupun Inggris menganggap hubungan dagang dengan China sebagai sesuatu yang sangat vital. Prancis terkait dengan industri pesawat terbangnya, di mana mereka menjual Airbus ke China, sedang Inggris terkait dengan peran sektor finansial yang berhubungan dengan saham dan mata uang China.
Rusia VS Turki
Memburuknya hubungan Rusia dan Turki dipicu oleh perbedaan kepentingan di Suriah. Rusia adalah sekutu utama Bashar Assad, sedangkan Turki adalah negara tetangga Suriah yang ingin Assad segera turun. Namun puncak ketegangan kedua Negara dimulai saat Turki menembak jatuh sebuah pesawat perang Rusia di perbatasan Suriah karena telah melanggar wilayah udara Turki.
Setelah jatuhnya jet Rusia, Pemerintah Kremlin sendiri telah memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Turki dan meningkatkan kekuatan tempurnya di pangkalan udara di Suriah. Selain itu, Rusia sering menuduh Turki banyak melakukan jual beli minyak illegal dengan Islamic States.
Perang melawan terorisme dengan definisi masing-masing
Akhir Desember 2015 lalu diadakan konferensi internasional untuk mengklasifikasikan kelayakan kelompokkelompok militan di Suriah untuk berpartisipasi dalam pembicaraan damai yang disponsori PBB. Konferensi tersebut adalah usaha dari 17 negara yang tergabung dalam International Syria Support Group (ISSG) untuk memilih kelompok mana di antara 167 kelompok yang bisa dikategorikan sebagai kelompok teroris. (http://foreignpolicy.com/2015/12/23/in-syria-moscowsterrorist-is-washingtons-freedom-fighter/)
Pada bulan November 2015, ISSG menugaskan menteri luar negeri Yordania, Nasser Judeh, untuk mencari tahu kelompok mana yang harus diberi label teroris dalam konflik di Suriah. Inisiatif ini digagas oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Lavrov mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers bersama dengan Kerry, bahwa hanya yang disebut “oposisi patriotik” yang harus diundang untuk berpartisipasi dalam pembicaraan damai. Pembicaraan damai tersebut juga tidak boleh mengikutsertakan “orang-orang yang menyebarkan ide ekstrimis dan teroris.”
Pada akhirnya, menteri luar negeri Yordania gagal mendapatkan dukungan yang luas untuk daftar kelompok yang dibuatnya, selain dua kelompok yaitu Islamic States (IS, yang juga disebut ISIS) dan Jabhat al-Nusra, yang memang sudah dimasukkan sebagai organisasi teroris oleh Dewan Keamanan PBB. Pada pertemuan tersebut, Judeh memberikan salinan daftar awal yang membentuk dasar untuk diskusi antara negara anggota ISSG.
Uniknya, daftar tersebut juga mencantumkan kelompok sekutu pemerintah Suriah seperti Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) atau Garda Revolusi Iran, dan milisi Kurdi yang didukung AS,YPG, serta bermacam-macam kelompok-kelompok Islam, termasuk Ahrar Syam dan Jaisyul Islam, yang bertempur melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, marah dan memperingatkan bahwa jika dia siap untuk datang dengan daftar sendiri dan Central Intelligence Agency (CIA) akan menempati peringkat pertama, katanya. Tapi Javad Zarif bukan satu-satunya yang mengeluh. Beberapa diplomat dari Lebanon dan Irak yang hadir juga memprotes dicantumkannya partai politik Lebanon yang terkait dengan Nabih Berri, serta milisi Asaib Ahl al-Haq, yang memiliki hubungan dengan Pasukan Quds Iran dan pemerintah Irak. Lavrov bersikeras bahwa kelompok yang memerangi pasukan Rusia di Suriah, termasuk Jaish al-Islam, harus ditambahkan ke daftar teroris.
Pada akhirnya, Judeh berusaha memulihkan suasana pertemuan, menyisihkan perdebatan tentang daftar teroris yang kontroversial. “Yang jelas adalah bahwa hanya ada sangat sedikit konsensus tentang siapa yang merupakan organisasi teroris,” menurut seorang diplomat yang hadir pada pertemuan tersebut. “Semua orang setuju untuk Jabhat al-Nusra dan IS. Tapi setelah itu, sangat sedikit konsensus,” tambah seorang diplomat senior PBB.
Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya, kemungkinan akan menghadapi sedikit resistensi untuk berpartisipasi dalam pembicaraan damai. “Lalu ada sekelompok kelompok abu-abu,” kata seorang pejabat AS, menyindir Ahrar Syam dan Jaisyul Islam, dua faksi Islam bersenjata yang yang paling efektif melawan pasukan Assad di Suriah. Namun mereka juga telah bekerja sama dengan beberapa kelompok yang paling terkenal, termasuk Jabhat al-Nusra, yang membentuk koalisi anti-pemerintah bersama Ahrar Syam dan faksi-faksi Islam lainnya.
Iran dan Rusia bersikeras bahwa Ahrar Syam dan Jaisyul Islam adalah kelompok teroris. Namun Arab Saudi, Turki, dan Qatar mengatakan bahwa kedua kelompok Islam adalah salah satu pejuang paling efektif menghadapi rezim Suriah. Dalam pertemuan tersebut, Arab Saudi, Turki dan Qatar mendesak negara-negara lain untuk tidak melupakan peran Assad dalam mengobarkan kekerasan.
Turki telah mengancam untuk keluar dari proses perdamaian jika kelompok Kurdi YPG berpartisipasi dalam pembicaraan. Rusia melarang Ahrar Syam dan Jaisyul Islam, yang dituduh menyerang Kedutaan Besar Rusia di Damaskus, untuk ikut dalam pembicaraan damai. Rusia juga telah menegaskan bahwa Turki, yang bertanggung jawab atas pembunuhan dua pilot Rusia yang pesawatnya ditembak jatuh oleh Turki juga dilarang ikut dalam pembicaraan damai. Sementara itu, Suriah menolak untuk menyetujui berbicara dengan kelompok-kelompok bersenjata yang paling kuat, termasuk Ahrar Syam dan Jaisyul Islam.
Staffan De Mistura, utusan khusus PBB untuk melakukan pembicaraan politik Suriah, mencoba meyakinkan Presiden Suriah, yang sebelumnya telah menyatakan minat dalam melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok bersenjata, bahwa perlu berbicara dengan musuh yang memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa setiap kesepakatan gencatan senjata akan dipatuhi di masa depan. Sejauh ini, pemerintah Suriah telah bersedia hanya untuk bernegosiasi dengan kelompok-kelompok seperti di daerah gencatan senjata, dan tidak melibatkannya dalam pembicaraan yang lebih luas pada transisi politik.
Utusan Amerika Serikat, John Kerry berkata,”Kami telah menyia-nyiakan banyak diskusi tentang sesuatu yang kita tahu tidak akan memiliki konsensus.”
Ya, terorisme memang tidak pernah memiliki definisi yang jelas. Setiap negara dapat mendefinisikan terorisme sesuai kepentingannya masing-masing. Milisi bentukan AS di Suriah, hari ini merupakan teroris versi Rusia, karena melawan Assad. Begitu pula Milisi Garda Revolusi Iran mungkin merupakan teroris versi AS, karena menjadi pembela Assad, dan melawan kepentingan AS di Suriah. Oleh sebab itu, akan sulit mencapai titik temu.
Kegagalan Dewan Keamanan PBB dan pelanggaran terhadap fungsinya
Terjebaknya Negara-negara anggota tetap Dewan Kemanan PBB dalam konflik Suriah ini mengundang reaksi Ban Ki-Moon, Sekretaris Jenderal PBB. (http://www.theguardian.com/world/2015/sep/07/unsecurity-council-is-failing-syria-ban-ki-moon) Ban Ki-moon, telah mengakui bahwa dewan keamanan PBB telah gagal Suriah karena terbelahnya kekuatan besar yang seharusnya mampu melakukan tindakan pencegahan untuk mengakhiri konflik yang telah menelan korban ratusan ribu nyawa dan mendorong eksodus pengungsi terbesar dalam satu kurun generasi.
Berdasarkan halaman resmi DK PBB, fungsi utama DK PBB adalah untuk menjaga perdamaian dunia (http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/rolesc.sht ml). Hal ini sangat berkebalikan dengan apa yang terjadi di Suriah. Kelima negara anggota tetap DK PBB justru terlibat dalam konflik di Suriah dengan membawa misinya masing-masing. Beberapa resolusi yang dikeluarkan DK PBB terkait konflik Suriah pun diveto oleh Rusia.
Kewajiban DK PBB pula adalah menempatkan pasukan perdamaian di negara yang terjadi konflik. Namun, di Suriah, negara anggota tetap DK PBB seperti AS dan Rusia justru aktif bertempur. AS dan Rusia dengan serangan udaranya masing-masing, telah menimbulkan korban tak hanya dari pihak pejuang, tetapi juga dari masyarakat sipil.
Selama 20 tahun sejak berakhirnya perang dingin, konflik yang mematikan cenderung mengalami penurunan. Namun, sejak lima tahun terakhir, tren tersebut berbalik, dan setiap tahun setelah itu, ada lebih banyak konflik, ada lebih banyak korban, dan lebih banyak orang yang mengungsi. Tahun 2016 mungkin belum bisa membawa perbaikan dari huru-hara konflik di tahun 2015. Saat ini, perang lah yang memiliki momentum, bukan perdamaian. (Nugroho)
Laporan Reguler Syamina 1 Januari 2016
(*/arrahmah.com)