Oleh : Abu Rasyidah (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
(Arrahmah.com) – Selalu banyak cara untuk membuat rekayasa demi sebuah proyek. Dan lazimnya sebuah proyek maka cara apapun ditempuh. Jika proyek itu adalah properti maka target finisnya pasti terealisasinya rumah-rumah kediaman atau perkantoran. Namun jika proyeknya adalah war on terrorism (perang melawan terorisme) maka targetnya adalah menghilangkan semua potensi paham maupun orang yang meyakini paham serta melakukan paham itu untuk aksi teror.
Pahamnya disebut dengan terorisme. Terorisme dalam konteks war on terrorism sebagaimana dokumen National Inteligent Council AS, adalah paham yang berkeinginan untuk menjadikan islam sebagai ideologi negara baik melalui jalan parlemen maupun non parlemen.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa peta dukungan terhadap ISIS (Iraq Suriah Islamic State-Daulah Islam Irak Suriah) di negeri ini hari demi hari sedemikian luas. Pernyataan itu juga tidak luput disampaikan secara resmi oleh BNPT. BNPT mensinyalir sejak awal muncul isu ini mengatakan bahwa ada dukungan untuk ISIS dari Indonesia (Palingaktual.com, 17 Juni 2014). Dan kelihatannya BNPT menaruh konsen terhadap fenomena ini mulai dari kemunculannya pertama kali. Walaupun disisi lain BNPT juga menyebut hanya sebagai wacana saja. Dan Jendral Sutarman Kapolri melihat perlunya memantau gerak-gerik dukungan atas ISIS tersebut.
Akan tetapi bukan BNPT namanya jika tidak ada maksud terselubung bagaimana mengelola fenomena maraknya dukungan terhadap ISIS. Bahkan yang terbaru di Metro TV, Primetime News, Kamis (31/7/2014), Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengatakan jika seseorang masuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) maka sama halnya orang itu bergabung dengan teroris. Selain itu, orang tersebut bisa dikenai Undang-Undang. Jerat aturan menurut Ansyaad Mbai itu adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lebih jauh dari yang disampaikan oleh Ansyaad Mbai, Deputi bidang Kerjasama Internasional Harry Purwanto memandang bahwa tidak cukup hanya implementasi undang-undang nomer 12 tahun 2012 yang dianggap tidak efektif.
Bahkan perlunya revisi atas Undang-undang Terorisme, UU 15/2003, agar mencakup secara menyeluruh mengenai aktivitas terorisme. “Perlu ada upaya untuk mengamandeman itu (UU Terorisme), sejak 2011 sudah kita namun belum maju ke legislasi,” kata Harry saat dihubungi detikcom, Sabtu (2/8/2014). Bahkan menurut Harry Amandemen UU Terorisme nantinya akan mencakup hal-hal yang spesifik mengenai aksi terorisme, seperti menyebar kebencian (hate speech). “Termasuk mengikuti pelatihan militer di Indonesia atau pun luar negeri.
Atau menjadikam digital evidence sebagai barang bukti, karena selama ini baru menjadi petunjuk untuk pembuktian,” jelasnya. Muncul juga beberapa statement dari beberapa tokoh masyarakat yang melihat dukungan terhadap ISIS adalah sesuatu yang berbahaya dan menjadi ancaman nasional di antaranya mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Menag RI, politisi PPP Lukman Hakim Saifuddin.
Statement Ansyaad Mbai maupun Harry Purwanto jelas mengisyaratkan indikator yang kuat bakal adanya treatment atas nama war on terrorism untuk menyikat siapapun secara individual maupun kelompok yang menjadi bagian dari ISIS. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah kenapa tidak dilakukan upaya edukasi atau dialog kepada kelompok-kelompok yang diduga mendukung atau berbait pada ISIS.
Padahal pemberitaan tentang dukungan ISIS dari Indonesia begitu masif terutama melalui dunia maya. Apakah karena alasan belum kuat dan efektifnya payung hukum untuk menjeratnya atau ini menjadi semacam proses pembiaran sebagai jebakan menghabisi kelompok-kelompok mujahidin. Yang berujung kepada aborsi terhadap semua komunitas islam apapun yang memperjuangkan penegakkan islam secara kaffah.
Demi sebuah eksistensi jangka panjang perburuan atas nama war on terrorism. Yang sejatinya war on Islam. Karena hampir tidak satupun gejala politik di negeri ini yang tidak dimainkan terkait dengan isu global internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Haidar Bagir dosen pemikiran islam ICAS Paramadina yang menyebut “Dibalik ISIS ada Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Qatar,” kata Direktur Penerbit Mizan itu ketika dihubungi Tempo, Jumat, 1 Agustus 2014.
Dan rencana treatment terhadap para pendukung ISIS ini mendapatkan momentumnya saat baiat oleh Ustadz Abu Bakar Baasyir pentolan JAT (Jamaah Anshorut Tauhid) bersama Ustadz Aman Abdurrahman (tahanan “teroris” di Nusa Kambangan) dengan para kadernya di dalam tahanan atau diluar tahanan yang terhimpun dalam FAKSI (Forum Aktifis Syariat Islam), dibawah “kendali” seorang yang bernama M. Fachry (Pimred media online al-mustaqbal.net), dan Bahrum (sosok orang yang ada dalam pemberitaan terkait sebuah video) serta forum-forum kecil di Solo, Makassar, NTB dan beberapa tempat lainnya.
Fenomena dukungan ISIS di Indonesia, secara politis tidak bisa dipungkiri menjadi titik pertemuan antara kepentingan pemilik proyek war on terrorism dengan euforia kelompok yang semangat akan datangnya janji Allah Subhanahu Wa Ta’alla tentang tegaknya khilafah islamiyah. Yakni kelompok dengan ruhul jihad tinggi dan mukhlis tetapi minim pemahaman fakta konstelasi operasi intelijen jebakan atau di bawah tekanan. Kurang open mind untuk mendialogkan konstruksi perjuangan islam dengan beragam gerakan islam dari berbagai latar belakang manhaj.
Bagi pemilik proyek war on terrorism sendiri, kondisi seperti ini sangat menguntungkan karena hakekat proyek sebenarnya dari sononya adalah untuk menciptakan perpecahan internal kelompok islam, islamophobia dan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok islam yang sungguh-sungguh memperjuangkan islam. Dan secara khusus, menghadang laju perjuangan penegakkan syariah dan khilafah di Indonesia karena dianggap bertolak belakang dengan tujuan NKRI.
Jika dicermati secara jeli dengan melihat fenomena ISIS ini maka ada 2 pendekatan yang digunakan untuk mengaborsi gerakan islam.
Pertama, mengkriminalisasi gerakan islam yang memiliki ruhul jihad tinggi tetapi minim peta konstelasi operasi intelijen. Serta minim fakta bagaimana konstruksi khilafah islamiyah harus direalisasikan sesuai dengan syara’.
Kedua, mengeleminasi atau bahkan menghilangkan ruhul jihad pada gerakan-gerakan islam pejuang syariah khilafah. Dengan menjadikan pemahaman jihad sebatas retorika dan wacana saja.
Tidak mewujud menjadi seruan oleh kelompok/gerakan islam sebagai bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan terutama di medan jihad. Menjadikan dasar “zona aman” atau “amniah” sebagai dasar penetapan penting atau tidaknya kewajiban jihad diserukan. Namun di sisi lain menjelaskan bahwa individu wajib jihad terutama di medan jihad. Baik sebelum maupun setelah tegaknya khilafah. Karena dengan hilangnya ruhul jihad maka tidak ada lagi ancaman ideologi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan barat.
Akhirnya secara faktual, masa depan perjuangan islam nampaknya masih menghadapi kendala perjuangan internal dan eksternal yang membutuhkan kreatifitas dan sinergi. Memformulasikan secara benar menurut syara’ bagaimana konstruksi perjuangan dakwah dan jihad untuk tegaknya syariah dan khilafah sesuai dengan janji Allah Subhanahu Wa Ta’alla. Fenomena kaitan antara dukungan terhadap ISIS dengan kepentingan proyek War On Terrorism hendaknya menjadi pelajaran berharga.
Wallahu a’lam bis showab.
(arrahmah.com)