WASHINGTON (Arrahmah.id) — Senat Amerika Serikat (AS) telah menyetujui $527 juta sebagai bagian dari anggaran pertahanan 2025 untuk memperkuat upaya melawan kelompok militan Islamic State (ISIS) di Suriah dan Irak.
Dari jumlah tersebut, $147 juta akan mendukung Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di timur laut Suriah, sementara $380 juta dialokasikan untuk operasi anti-ISIS di Irak.
Dilansir North Press Agency (19/12/2024), keputusan tersebut menggarisbawahi komitmen berkelanjutan Washington untuk memerangi ISIS, bermitra dengan SDF di Suriah dan pasukan Irak di wilayah masing-masing.
Dana tersebut bertujuan untuk meningkatkan keamanan, menstabilkan wilayah yang dibebaskan, dan mencegah kebangkitan kelompok ekstremis yang telah mempertahankan sel-sel tersembunyi di kedua negara.
Anggaran yang disetujui mencakup proposal untuk mengurangi kehadiran militer AS di timur laut Suriah menjadi 400 tentara, sebuah langkah yang kemungkinan akan memicu perdebatan tentang kemanjuran jangka panjang operasi anti-ISIS.
Saat ini, sekitar 900 tentara AS ditempatkan di Suriah, terutama mendukung SDF dalam mengamankan wilayah yang pernah dikuasai ISIS.
Para kritikus berpendapat bahwa pengurangan jumlah pasukan dapat melemahkan upaya untuk memerangi sisa-sisa ISIS, sementara para pendukung menyoroti perlunya meminimalkan keterlibatan AS dalam pertempuran di luar negeri yang berkepanjangan.
Dalam keputusan terkait, Senat memberikan suara untuk memperpanjang sanksi Caesar Act terhadap Suriah hingga Agustus 2029. Sanksi tersebut, yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2020, menargetkan entitas dan individu yang terkait dengan pemerintah Suriah, yang bertujuan untuk menekan Damaskus agar terlibat dalam resolusi politik terhadap konflik yang sedang berlangsung di negara tersebut.
Caesar Act juga membatasi transaksi keuangan internasional dengan rezim Suriah, yang memperburuk tantangan ekonomi di wilayah yang dikuasai pemerintah. Sementara sanksi tersebut dimaksudkan untuk mendukung akuntabilitas, sanksi tersebut telah menghadapi kritik karena dampaknya yang lebih luas terhadap ekonomi dan penduduk sipil Suriah.
Meskipun melemah secara signifikan, ISIS tetap menjadi ancaman yang terus-menerus di Suriah dan Irak. Kelompok ini telah mengadaptasi taktiknya, beralih dari kendali teritorial ke operasi pemberontakan, termasuk pengeboman, penyergapan, dan pembunuhan. Di Irak, daerah pedesaan dan gurun, khususnya di sepanjang perbatasan dengan Suriah, terus menjadi tempat persembunyian bagi sel-sel ISIS.
SDF telah menjadi mitra utama dalam upaya koalisi 80 negara pimpinan AS melawan ISIS di Suriah. Namun, kelompok ini menghadapi tantangan yang berkelanjutan, termasuk operasi militer Turki secara berkala di timur laut Suriah dan pengakuan internasional yang terbatas.
Di Irak, dukungan AS sangat penting dalam membangun kembali kemampuan pasukan keamanan Irak. Namun, ketidakstabilan politik dan pengaruh milisi yang didukung Iran mempersulit upaya Baghdad untuk menjaga keamanan dan stabilitas.
Usulan untuk mengurangi pasukan AS di Suriah mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam kebijakan luar negeri AS, yang menekankan pengurangan komitmen militer jangka panjang. Namun, hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar kontraterorisme yang berpendapat bahwa berkurangnya kehadiran pasukan AS dapat menghambat upaya untuk melawan kebangkitan ISIS dan menstabilkan kawasan tersebut.
Kehadiran pasukan AS di Suriah juga berfungsi sebagai penyeimbang pengaruh Rusia dan Iran di kawasan tersebut. Pengurangan jumlah pasukan dapat membuat para aktor ini semakin berani, yang berpotensi mengganggu stabilitas Suriah timur laut dan melemahkan upaya melawan ISIS. (hanoum/arrahmah.id)