Puluhan keluarga Palestina di Gaza berduka setelah tentara “Israel” menewaskan 62 orang yang berpartisipasi dalam aksi damai menuntut hak pengungsi Palestina untuk kembali ke kampung halaman mereka.
Nisma Abdelqader masih tidak percaya putranya yang berusia 18 tahun telah meninggal.
Tentara “Israel” menembak Bilal Al-Ashram, yang sedang menyelesaikan tahun terakhir sekolah menengahnya, tepat di kepala saat dia berpartisipasi dalam demonstrasi damai di Jalur Gaza pada Selasa (15/5/2018), sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Dengan air mata yang terus mengalir, Nisma menggambarkan putra pertamanya tersebut sebagai ‘dunia’ nya.
“Dia adalah harapan saya,” ungkapnya. Bilal adalah anak sulung dari delapan bersaudara dan dia lah yang selama ini menjaga keluarganya setelah sang ayah pergi bekerja di Yordania selama enam tahun terakhir.
Nisma mengatakan bahwa dia telah berusaha untuk mencegah Bilal berpartisipasi dalam demonstrasi di perbatasan timur Gaza yang dijaga ketat oleh militer “Israel”.
Demonstrasi damai yang telah berlangsung sejak 30 Maret tersebut menyerukan agar pengungsi Palestina diberikan hak mereka untuk kembali ke rumah-rumah dan desa-desa mereka setelah 70 tahun yang lalu mereka telah diusir secara paksa oleh Zionis “Israel”.
Setidaknya sebanyak 750.000 orang diusir paksa dari Palestina. Mereka yang terusir kemudian mencari tempat tinggal di Gaza dan menetap di sana. Sekitar 70 persen dari dua juta penduduk Gaza adalah keturunan warga Palestina yang terusir dari tanah kelahirannya pada tahun 1948.
Mereka telah hidup di bawah blokade darat, laut, dan udara selama satu dekade terakhir dan tidak dapat meninggalkan Jalur Gaza tanpa izin, yang sulit didapatkan, dari militer “Israel”.
Sejak 30 Maret, tentara “Israel” telah menewaskan 111 warga sipil Palestina, termasuk seorang bayi perempuan berusia delapan bulan yang meninggal akibat menghirup gas air mata yang ditembakkan “Israel”. Sedangkan lebih dari 12.000 orang terluka sejak hari itu.
Sehari sebelum terbunuh, Bilal menulis di Facebook bahwa dia menuju ke Bir Seb’a, sebuah kota yang menjadi tempat tinggal keluarganya sebelum akhirnya diusir pada hari Nakba.
“Saya sangat takut. Dia sangat bersemangat untuk berpartisipasi dalam aksi tersebut. Ketika demonstrasi mereda pada 15 Mei, saya merasa lega. Saya pikir tidak terjadi apa-apa padanya,” kata ibu Bilal.
“Saya masih tidak percaya dia telah pergi.”
“Ancaman apa yang telah dia timbulkan?”
“Saya tidak menentang aksi The Great Return March, namun saya menentang perlakuan ‘Israel’ yang telah menghilangkan nyawa anak-anak kami. Kami memiliki hak untuk kembali, tapi pada akhirnya anak-anak kami lah yang menjadi korban. Mereka masih berada di puncak kehidupan mereka, dan pendudukan tidak akan menunjukkan belas kasihan kepada kita,” ungkapnya.
“Ancaman apa yang dia berikan terhadap pendudukan ‘Israel’?” Nisma bertanya-tanya selama proses pemakaman putranya di kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah.
Dilihat dari segi hukum humaniter internasional, adalah ilegal bagi tentara untuk menggunakan peluru tajam dalam situasi yang tidak menimbulkan ancaman bagi kehidupan dan keselamatan pasukan.
Omar Shakir, direktur “Israel” dan Palestina untuk Human Rights Watch, mengatakan “Israel” telah melanggar hukum internasional atas respon yang mereka berikan terhadap para demonstran tak bersenjata.
“Di Gaza, di mana Anda memiliki tentara yang menembakkan peluru tajam dengan jarak beberapa kaki dari orang-orang yang dipisahkan oleh zona penyangga yang sebagian besar paling hanya melemparkan batu, atau bom molotov sebagaimana klaim “Israel”, dari jarak yang sangat jauh, hal tersebut tidak akan memenuhi standar ancaman yang dapat mengancam kehidupan,” kata Shakir kepada Al Jazeera.
Pada pemakaman lain di kamp pengungsi Nuseirat, Jalilah Ghrab berduka atas meninggalnya sang suami, Nasser, akibat tembakan tentara “Israel”.
Ghrab mengatakan bahwa dia, suaminya, dan putranya yang berusia 31 tahun berada sekitar 800 meter dari pagar, di sebelah timur Bureij, ketika timah panas bersarang di dada Nasser.
Lima menit setelah sampai di rumah sakit, jantung Nasser berhenti berdetak.
“Dia benar-benar percaya pada hak untuk kembali. Dia akan berpartisipasi dalam setiap demonstrasi. Dia bahkan mendirikan tenda untuk keluarga kami,” kata Jalilah kepada Al Jazeera. Dia juga menambahkan bahwa keluarga mereka diusir pada 1948 dari Isdud, 35 km utara Gaza.
Jalilah mengatakan bahwa dia tidak percaya. “Kehilangannya begitu pahit dan menyiksa, membakar amarah atas pendudukan ‘Israel’.”
“Dia adalah ruh bagi kami. Dia menjaga semua orang di rumah dan dia adalah sosok ayah yang sangat baik dan penuh kasih sayang,” katanya, sambil menjelaskan bahwa Nasser sangat dekat dengan enam orang anaknya dan tujuh cucunya.
“Kematiannya adalah penguat tekad kami. Jika aksi ini masih ada, maka aku tidak akan ragu untuk pergi ke tenda dan membawa serta seluruh keluargaku bersamaku.”
Berdasarkan laporan yang dirilis Al Jazeera, hingga 14 Mei, sebanyak 111 orang Palestina meninggal dunia, dan sebanyak 12.844 lainnya luka-luka. (Rafa/arrahmah.com)