Oleh: Taufik Setia Permana – (analis di Geopolitik Institute)
(Arrahmah.com) – Kenaikan tarif harga listrik dipastikan akan terus melambung tinggi. Melalui keputusan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2 tahun 2016 menetapkan penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment) akan diberlakukan mulai 1 Januari 2017 dan 1 Juli 2017, dengan ketentuan kenaikan listrik disesuaikan dengan kondisi biaya pokok penyediaan tenaga listrik.
Awal Januari hingga sekarang tercatat tiga kali pemerintah telah menaikan harga tarif listrik. Pada tahap pertama dilakukan pada periode Januari-Februari, tagihan pembayaran listrik naik menjadi Rp 98 ribu per bulan dari sebelumnya Rp 74.740 per bulan. Kemudian tahap kedua mulai Maret-April 2017 tarif listrik naik menjadi Rp 130 ribu per bulan. Pada pencabutan tahap III atau sudah tidak ada lagi subsidi listrik, yaitu pada Mei-Juni 2017, tagihan bayar listrik bertambah menjadi Rp 185.794 per bulan. dilansir liputan6.com (3/1)
Pada 1 Juli 2017 pemerintah telah memutuskan untuk mencabut subsidi listrik sehingga berakibat kenaikan tarif listrik sebesar Rp. 1500/kWh. Pencabutan subsidi di putuskan pemerintah merujuk pada Permen Energi dan Sumber Daya Mineral No 2 tahun 2016. Dalam pasal tersebut disebutkan kenaika harga listrik ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya; nilai tukar mata uang rupiah dengan dolar; Indonesia Crude Price (ICP); dan Inflasi.
Faktor Nilai Tukar Rupiah dengan Dolar
Mata uang rupiah merupakan mata uang yang tergolong bersifat soft currency, artinya mata uang ini mudah terfluktuatif ataupun terdepresiasi. Sedangkan dolar mata uang AS sebagaimana mata uang ini digunakan sebagai transaksi internasional tergolong mata uang hard currency, artinya mata uang ini memiliki kemampuan untuk melemahkan mata uang negara-negara yang tergolong menggunakan mata uang soft currency.
Inilah sebenarnya bentuk penjajahan AS terhadap negara-negara berkembang. Negara berkembang dipaksa untuk bersepakat menggunakan dolar sebagai mata uang transaksi internasional. Sehingga hal ini menjadikan Indonesia sebagai pelarian modal (capital flight). Artinya modal yang ada di Indonesia sebagian besar berasal modal Asing. Maka tidak heran jika PT PLN sebagai perusahaan negara menyerahkan beberapa asetnya kepada perusahaan asing
Indonesia Crude Price (ICP)
Tahun 2015 Presiden Jokowi melalui kebijakannya menyerahkan sektor komoditi minyak kepada pasar internasional, sekaligus menandakan bahwa harga minyak nasional akan tergerntung terhadap harga minyak internasional. Artinya harga minyak yang dikuasai negara tidak lain adalah BBM akan diserahkan dengan mekanisme harga internasional. Dengan diserahkan pada mekanisme pasar internasional naik maupun turunya minyak pemerintah hanya mampu menjadi penerima harga daripada pembuat harga.
Jika dikaji secara mendalam keputusan tersebut sangat tidak menguntungkan masyarakat. internasional akan sangat mudah memperamainkan harga sesuai dengan kehendaknya, jika harga minyak naik tajam jelas secara tidak
langsung rakyat yang akan terkena imbasnya. Begitu juga dengan PLN yang akan terpotong anggarannya dari penghasilan komiditi listrik.
Inflasi
Dalam sistem kapitalis Indonesia sebagai negara berembang sangat rentan terkena dampak inflasi. Potensi besar memicu terjadinya inflasi berada pada sektor komiditi minyak yang pasti akan diikuti kenaikan-kenaikan harga bahan pokok.
Dengan diserahkannya minyak kepada harga Internasional, maka harga minyak akan mengalami fluktuatif. Begitu juga dengan harga listrik yang bergantung terhadap minyak.
Sehingga dengan di kenaikannya harga dasar listrik menunjukan bahwa kondisi negara kita sedang kurang stabil. Jeretan sistem kapitalis telah nyata mengkerdilkan negara-negara berkembang untuk dijadikan lahan jajahan. Indonesia merupakan tempat subur untuk diterapkannya sistem yang kapitalis melalui demokrasi liberal. Disis lain, ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara imperealis menjadikan negara ini harus tunduk mengikuti kemauan para pemodal mereka.
(*/arrahmah.com)