RAMALLAH (Arrahmah.id) – Duta Besar Jerman untuk Otoritas Palestina pada Selasa (30/4/2024) terpaksa melarikan diri dari Museum Nasional Palestina setelah digeruduk sekelompok mahasiswa Universitas Birzeit, di utara Ramallah di Tepi Barat yang diduduki.
Dalam video yang dibagikan di media sosial, Owcza dan delegasinya bergegas meninggalkan tempat tersebut ketika sekelompok besar mahasiswa yang mencemooh berlari di belakangnya, berteriak padanya untuk “Pergi dari sini!”
Saat konvoinya mencoba untuk pergi, kendaraannya dikepung oleh para mahasiswa yang melemparkan benda ke arah mobil, dan kemudian melemparinya dengan batu saat mobil tersebut melaju.
Jerman tetap menjadi salah satu pendukung setia serangan militer ‘Israel’ di Jalur Gaza, serta salah satu pemasok senjata terbesar Tel Aviv.
Bulan lalu, Nikaragua mengajukan kasus terhadap Jerman di Mahkamah Internasional (ICJ) “atas pelanggaran terhadap Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,” mengenai bantuan keuangan dan militer Berlin kepada ‘Israel’.
Pada Selasa (30/4), ICJ memutuskan untuk tidak mengeluarkan perintah darurat. “Situasinya tidak mengharuskan pelaksanaan kekuasaannya berdasarkan Pasal 41 undang-undang untuk menunjukkan tindakan sementara,” kata Hakim Ketua Nawaf Salam.
Students at @BirzeitU in the occupied West Bank forcefully expelled the German ambassador Oliver Owcza from their university museum.
FOLLOW OUR LIVE BLOG https://t.co/iGzJHWerRA pic.twitter.com/GBQeOPiLyn
— The Palestine Chronicle (@PalestineChron) April 30, 2024
Intifada Global
Pada Senin (29/4), mahasiswa dan staf Universitas Birzeit (BZU) berunjuk rasa untuk mendukung “our families in Gaza” serta gerakan mahasiswa global “yang menyerukan diakhirinya genosida dan meminta pertanggungjawaban pendudukan ‘Israel’ atas kejahatannya,” menurut akun X BZU.
Dalam sebuah pernyataan, Persatuan Profesor dan para staf Universitas Birzeit mengatakan mereka membela “hak semua cendekiawan Palestina di seluruh dunia untuk hidup dan bekerja dalam kebebasan.”
“Di seluruh dunia, kita menyaksikan hasil dari kampanye fasis yang secara brutal berupaya membungkam dan menghapus semua suara yang membicarakan dan mendukung perjuangan kita yang adil,” tambah pernyataan itu. “Palestina merdeka kini menjadi intifada global yang berpusat di institusi akademis dan dipimpin oleh mahasiswa.”
#BZU students in solidarity to our families in #Gaza, and a salute to #the_global_student_movement that's calling for the end of the genocide and for holding the Israeli occupation accountable for its crimes.#FreePalestine#stopthegenocide pic.twitter.com/iUoae5M3HM
— Birzeit University (@BirzeitU) April 29, 2024
“Kami adalah bagian dari upaya untuk menjadikan kampus sebagai ruang pembelajaran, pengetahuan, dan politik keadilan dan kebebasan. Dari Pulau Penyu hingga Palestina, pelajar dan akademisi berjuang untuk hidup di Gaza dan di seluruh Palestina,” katanya lebih lanjut.
Tuntutan mahasiswa untuk ‘Divestasi dan Pengungkapan’ di kampus-kampus di banyak universitas di seluruh dunia “merupakan indikasi jelas bahwa perjuangan untuk kehidupan dan keadilan di Palestina adalah perjuangan universal.”
“Intifada global pasti akan terus berkembang dan kampus-kampus di seluruh dunia, termasuk di dunia Arab, akan berkumpul dan berteriak menghadapi fasisme.”
Pada Ahad (28/4), staf dan mahasiswa Universitas Nasional An-Najah di kota Nablus, Tepi Barat, juga mengadakan demonstrasi sebagai solidaritas terhadap warga Palestina di Jalur Gaza yang terkepung.
Juru bicara universitas, Riad al-Dabai, menggarisbawahi pentingnya “mendukung Gaza, yang mengalami genosida, dan kemenangan rakyat Palestina,” lansir Anadolu.
Ratusan Ditangkap
Sementara itu, gerakan mahasiswa di Jalur Gaza memberi penghargaan kepada mahasiswa di kampus-kampus Amerika karena telah mengubah universitas mereka menjadi “Universitas Populer di Gaza.”
Protes dimulai di Universitas Columbia pada 17 April dan sejak itu menyebar ke lebih dari 20 universitas dan perguruan tinggi di seluruh AS dan negara lain, dengan ratusan mahasiswa telah ditangkap.
Universitas Columbia pada Senin (29/4) mengumumkan skorsing sejumlah mahasiswa yang menolak mematuhi tenggat waktu untuk mengakhiri aksi duduk.
Rektor Universitas Nemat Minouche Shafik menyatakan bahwa negosiasi dengan para pengunjuk rasa telah menemui jalan buntu, dan bersikeras bahwa universitas tidak akan mempertimbangkan kembali kebijakan investasinya mengenai ‘Israel’. (zarahamala/arrahmah.id)