SANA’A (Arrahmah.id) – Dua warga Yaman yang diculik oleh kelompok teroris Syiah Houtsi meninggal dunia setelah disiksa secara brutal di dalam penjara, demikian ungkap para pegiat hak asasi manusia Yaman dan media lokal pada Sabtu (21/1/2023).
Kematian tersebut telah memicu kemarahan, dengan tuntutan untuk melakukan penyelidikan untuk membawa para pembunuh ke pengadilan, dan mempercepat negosiasi pertukaran tahanan.
Salah satu korban, Munaser Al-Rasas, seorang ekspatriat Yaman yang bekerja di Arab Saudi, diyakini diculik ketika kembali ke rumah keluarganya di provinsi pusat Al-Bayda untuk merayakan Idul Adha pada Juli lalu, menurut laporan Arab News.
Seorang perwakilan Houtsi pada Jumat memberitahukan kematiannya kepada keluarga, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Para aktivis Yaman dan teman-temannya mengatakan bahwa Al-Rasas disiksa oleh Houtsi di Sana’a, dan para penculiknya mengabaikan berbagai permintaan dari keluarga untuk membebaskannya atau setidaknya memberi tahu mereka tentang lokasinya.
Para aktivis juga mengatakan bahwa Hadi Hussein Salem Al-Shani, seorang tentara Yaman, telah meninggal di sebuah penjara Houtsi di ibu kota. Houtsi dilaporkan telah mengembalikan jenazahnya kepada keluarganya untuk dimakamkan pada akhir pekan lalu tanpa memberikan rincian tentang kematiannya.
Al-Shani, seorang tentara dari Brigade Infanteri 153 di Al-Bayda, ditangkap di medan perang di wilayah Al-Bayda Al-Malajem tiga tahun yang lalu dan dibawa ke Sana’a, di mana ia disiksa.
Keduanya merupakan korban terbaru dari teknik interogasi brutal Houtsi di wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali mereka, termasuk Sana’a.
Pada November, Jaringan Yaman untuk Hak Asasi dan Kebebasan mengatakan dalam sebuah laporan bahwa setidaknya 4.200 orang ditahan di fasilitas penahanan Houtsi.
Milisi telah mengeksekusi 147 tawanan sejak akhir 2014, sementara 282 lainnya meninggal akibat kelalaian, kata kelompok hak asasi tersebut. Sebanyak 98 tahanan lainnya dilaporkan meninggal dalam beberapa hari setelah dibebaskan.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia dan para aktivis Yaman menuntut dunia untuk memberikan tekanan yang lebih besar kepada Houtsi untuk menghentikan praktik-praktik kejam ini.
“Penyiksaan di dalam penjara resmi dan tidak resmi milisi Houtsi selama delapan tahun terakhir merupakan salah satu pelanggaran terberat terhadap hukum humaniter internasional,” kata Mutahar Al-Badhiji, direktur eksekutif Koalisi Yaman untuk Memantau Pelanggaran Hak Asasi Manusia (YAMAN), kepada Arab News pada Sabtu (21/1).
Ia menyerukan aktivasi perjanjian pertukaran tawanan dan diskusi untuk pembebasan ribuan tawanan perang.
“Pertukaran tawanan adalah salah satu hasil Perjanjian Stockholm yang belum terselesaikan. Ini adalah masalah kemanusiaan yang mempengaruhi banyak orang, baik yang berada di dalam wilayah Houthi maupun di wilayah (pemerintah) yang sah, dan ini harus ditangani dari perspektif kemanusiaan, tanpa motivasi politik atau militer,” ujar Al-Badhiji, merujuk pada perjanjian yang ditengahi PBB yang ditandatangani oleh pemerintah Yaman dan Houtsi di ibu kota Swedia pada 2018.
Aktivis Yaman lainnya, termasuk Amat Al-Salam Al-Hajj, ketua Asosiasi Ibu-Ibu Korban Penculikan, sebuah kelompok payung yang mewakili ribuan anggota keluarga perempuan dari tawanan perang sipil, mengatakan bahwa berita kematian para tahanan sangat mengkhawatirkan bagi para keluarga yang khawatir orang yang mereka cintai akan mengalami nasib serupa.
“Berita ini sangat mengejutkan bagi para ibu dari para tawanan, yang sedang menanti kematian putra-putra mereka. Para ibu, pasangan, dan anak laki-laki semuanya mengalami tekanan psikologis,” katanya. (haninmazaya/arrahmah.id)