(Arrahmah.com) – Ada ketidakadilan, ketidakseimbangan sikap. Perlakuan berbeda selalu terjadi, ketidaksinkronan antara lisan dan tindakan seolah sudah menjadi tabiat tersendiri. Entahlah, apa yang sebenarnya tengah dimainkan oleh mereka para pemuja kekuasaan. Semua serasa dihalalkan demi langgengnya suatu jabatan. Baik bisa jadi buruk, buruk bisa jadi baik. Jika halal haram adalah standar perbuatan manusia menurut kacamata Islam, maka entah standar mana yang tengah digunakan jika faktanya mereka juga mengaku sebagai muslim.
Kemaksiatan sudah beragam wujudnya, kedzaliman makin nyata didepan mata. Islam dipelintir, ulama dikriminalkan, Al Qur’an dianggap sebagai alat kebohongan. Sedang dilain kondisi, penista justru dimuliakan, koruptor dibiarkan berlaga memimpin persidangan. Jika dalam Islam sesama muslim adalah saudara, maka yang terjadi sekarang umat justru dibenturkan, dipaksa saling berhadapan.
Entah ironi macam apalagi yang akan terjadi. Drama apalagi yang mesti dilakoni.
Rasanya sudah sangat lelah. Jika ta’awudz mungkin cukup untuk menghalau hasutan syaitan, maka bacaan apa yang mesti dilafalkan untuk menghadapi syaitan dalam wujud manusia. Pemikir bahkan rela berbalik arah, menelan ucapannya sendiri ketika ditawarkan untuknya rupiah 1,5 T. Apa baginya harga Islam serendah itu? Semengerikan itu ia berjual beli dengan Tuhannya?
Dan, dari segala retorika yang terjadi, kepentingan rakyatlah yang paling banyak dikorbankan. Mereka menjerit. Tapi ketika diajak untuk berjuang, tak sedikit yang memilih berkelit.
Kalau sudah begini, maka siapa yang salah? Petinggi yang merasa benar? Atau umat yang enggan membenarkan?
Dalam perspektif Islam, menyeru pada kebenaran (ma’ruf) dan mencegah kemungkaran merupakan suatu kewajiban yang disebutkan di dalam Al-Qur’an secara berulang. Menunjukkan betapa pentingnya perkara ini mengingat pengaruhnya di kehidupan nyata (red: kemaslahatan). Aktivitas inilah yang menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahkan, disebutkan dalam hadist bahwa amar makruf nahi mungkar adalah jihad lain yang memiliki nilai tinggi disisi Allah.
Maka alibi apalagi yang berhak dilemparkan manusia demi menolak perintah ini ketika Pemilik Jagat Raya sendiri yang menegaskannya? Pantas pula kah jabatan duniawi dimanfaatkan untuk menghalang halangi perkara yang akan membawa pada kebaikan ini?
Sungguh, kalaupun kekuasaan mampu mengekang pergerakan suatu gerakan jamaah atau bahkan memblokade nya, tidak lantas menjadikan kewajiban amar makruf nahi mungkar ini selesai.
Ibarat kata hubungan sesama muslim adalah satu tubuh, maka tangan sekali kali tidak akan tinggal diam ketika kaki terluka. Demikian halnya seorang muslim yang tidak menghendaki kebaikan hanya terjadi pada dirinya, tapi juga memikirkan bagaimana agar kebaikan itu bisa sampai pada muslim lain. Hingga terwujudlah masyarakat yang mampu bersinergi, bersama sama meraih ridho Ilahi.
Maya A Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)