BANGLADESH (Arrahmah.id) — Otoritas melaporkan, sedikitnya 12 pengungsi etnis Rohingya hilang usai kapal mereka tenggelam akibat cuaca buruk di lepas pantai Bangladesh pada Selasa (4/10).
Kapal penangkap ikan tersebut membawa sekitar 50 pengungsi dari sejumlah kota pesisir di Bangladesh. Saat fajar, mereka bergegas berangkat menuju Malaysia. Namun, para pengungsi itu mengalami masalah ketika melintasi Teluk Benggala.
“Sekitar selusin orang masih hilang. Operasi penyelamatan masih berlangsung,” jelas komandan stasiun penjaga pantai, Ashiq Ahmed, dikutip dari AFP (4/10/2022).
Kapal mereka tenggelam di dekat selatan di kota pelabuhan Cox’s Bazar. Wilayah tersebut menaungi jutaan pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Hingga kini, dua kapal petugas setempat masih berusaha untuk mencari para korban yang selamat.
“Kami telah menyelamatkan 39 orang, termasuk 35 pengungsi Rohingya dan empat warga Bangladesh,” terang juru bicara penjaga pantai Bangladesh, Letnan Al Amin.
Mayoritas pengungsi Rohingya tiba di Bangladesh lima tahun lalu usai tindakan keras militer di Myanmar.
Pemerintah Myanmar memberantas Pasukan Arakan yang memperjuangkan penentuan nasib sendiri bagi etnis minoritas di Rakhine pada 2017.
Kelompok etnis Rohingya terperangkap dalam baku tembak tersebut. Akibatnya, lebih dari 740.000 orang Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar. Pembantaian itu kini menjadi subyek penyelidikan dugaan genosida di pengadilan tinggi PBB.
Lebih dari satu juta pengungsi akhirnya menetap di Bangladesh. Kendati demikian, mereka tidak kunjung menemukan kehidupan yang layak. Para pengungsi bahkan tidak bisa mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan, serta hak asasi manusia lainnya.
Otoritas lokal mulai mendirikan pagar kawat berduri di sekitar kamp untuk membatasi pergerakan pengungsi.
Warga setempat juga memberikan kesaksian bahwa pelecehan, pemerasan, dan ancaman penahanan oleh otoritas sudah menjadi hal biasa di kamp pengungsi.
Kondisi mengerikan semacam itu mendesak ratusan pengungsi beralih pada pedagang orang untuk pindah ke negara lain di Asia Tenggara.
Mereka umumnya mengarungi perjalanan selama berbulan-bulan di sepanjang rute laut berbahaya pada November-Maret.
Periode itu dipilih karena laut sedang berada dalam kondisi paling aman bagi kapal pukat yang biasa digunakan para penyelundup manusia.
Sebagian besar pengungsi memilih untuk pergi ke Malaysia.
Sebagai rumah bagi populasi besar Rohingya, Malaysia menjadi tujuan favorit para pengungsi.
Bangladesh dan Myanmar juga telah meluncurkan skema repatriasi tiga bulan usai kampanye militer. Tetapi, banyak pengungsi memutuskan untuk tidak kembali ke tanah air. Pasalnya, mereka tetap tidak menerima jaminan terkait keselamatan maupun mata pencaharian setibanya di Myanmar.
Etnis Rohingya masih dipandang sebagai penyelundup dari Bangladesh. Sekitar 600.000 pengungsi lantas tetap ditempatkan di kamp-kamp di Myanmar.
Pemerintah menolak permintaan mayoritas pengungsi untuk mendapatkan hak seperti kewarganegaraan.
Sebagian lainnya bahkan harus bertahan hidup dalam keadaan mengenaskan di desa asal mereka dengan meminta belas kasihan dari anggota militer dan penjaga perbatasan.
Iklim keamanan kemudian memburuk akibat kudeta militer di Myanmar pada 2021. Junta melancarkan penggulingan pemerintah sipil dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
Sejak kudeta tersebut, pasukan keamanan telah menangkap sekitar 2.000 orang Rohingya.
Kembalinya pemerintahan militer lantas meredupkan harapan bagi pengungsi yang ingin pulang. Mereka yang bertahan di kamp-kamp pun mengadang serangan dari Myanmar.
Terbaru, ledakan mortir yang ditembakkan dari Myanmar ke kamp pengungsi di Bangladesh menewaskan seorang remaja berusia 15 tahun pada pertengahan September.
Serangan itu turut mencederai sedikitnya enam orang di tanah tak bertuan di sepanjang perbatasan.
“Kami hidup di sini dalam ketakutan terus-menerus. Kapan saja bencana apa pun bisa terjadi,” ungkap pemimpin kamp Rohingya di perbatasan Bangladesh-Myanmar, Dil Mohammed, dikutip dari Reuters. (hanoum/arrahmah.id)