JERUSALEM (Arrahmah.com) – Ada banyak hal yang menakutkan di Gaza: Serangan dari helikopter “Israel” Apache dan jet tempur F-16, terisolasi, pemadaman listrik, air minum yang semakin tercemar, sungai limbah membanjiri jalan-jalan.
Sementara itu, bagi sebagian besar warga Palestina di Gaza, mereka mengalami ketakutan yang lain – suara dengungan yang terus menerus dari pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh- yang biasa dikenal dengan “drone” – yang melayang-layang di langit Gaza.
Drones semakin sering digunakan untuk pengawasan dan eksekusi ekstra-yudisial di bagian Timur Tengah, terutama oleh AS. Bagi warga Gaza, drone tersebut seakan telah menjadi bagian dari hidup mereka. Lebih dari 1,7 juta warga Palestina, yang telah dipersempit oleh “Israel” menjadi wilayah kecil yang sekarang menjadi wilayah yang paling adat penduduknya di dunia, menjadi sasaran pengawasan yang terus-menerus, dan kematian selalu mengintai warga gaza dari serangan drone yang meluncur seperti air hujan dari langit.
Sangat sedikit harapan bagi warga Gaza untuk keluar dari kebisingan yang menakutkan tersebut. Menurut statistik yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia di Gaza, warga sipil adalah korban utama dari serangan drone – drone tersebut.
“Ketika Anda mendengar suara drone, Anda merasa lemas dan ketakutan,” kata Hamdi Shaqura, wakil direktur Pusat Palestina untuk Hak Asasi Manusia, yang berbasis di Kota Gaza.”Suara dengunan dari drone adalah suara kematian. Tidak ada tempat untuk melarikan diri. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Ini adalah pengingat bahwa, apa pun yang “Israel” dan masyarakat internasional tegaskan tentang perdamaian, kenyataannya pendudukan “Israel” atas Palestina belum berakhir. Warga Gaza sepenuhnya hidup di bawah kendali “Israel”. Mereka mengendalikan perbatasan dan laut dan mereka memutuskan nasib kami dari posisi mereka di langit,” kata Shaqura.
Militer “Israel” tidak menanggapi permintaan Al Jazeera untuk memberikan komentar terhadap drone-drone yang mengintai warga gaza.
Penderitaan anak-anak Gaza
Anak-anak dihantui oleh ketakutan dan kecemasan. Hal ini telah menimbulkan luka psikologis yang mendalam pada warga sipil, terutama anak-anak, menurut para ahli.
“Anak-anak disini merasakan ketakutan yang sangat. Tidak ada tempat yang aman untuk anak-anak, dan mereka merasa tidak ada yang dapat memberikan mereka perlindungan, bahkan orang tua mereka,” kata Ahmed Tawahina, seorang psikolog yang ikut serta dalam program klinik berjalan di Gaza sebagai bagian dari Program Kesehatan Mental Masyarakat. “Keadaan seperti ini menimbulkan trauma bagi anak-anak dan orang tua, dan mereka merasa gagal dalam tanggung jawab paling dasar mereka yaitu memberi perlidungan dan rasa aman untuk anak-anak mereka”
Dari perspektif politik, ada paradoks yang mendalam: “Israel” mengatakan mereka membutuhkan rasa aman, tapi menuntut “pembayaran” yang mahal dari ketakutan yang terus menerus dari warga Gaza.
Tidak ada statistik rinci yang menerangkan efek dari drone pada warga Palestina di Gaza. Akan tetapi dokter mengakui bahwa tidak mungkin untuk memisahkan aspek psikologis yang ditimbulkan oleh pesawat drone dari sumber-sumber lain yang menjadi penyebab kerusakan kesehatan mental, seperti serangan udara oleh F -16, pembatasan pada gerak dan ketidakstabilan ekonomi yang disebabkan oleh blokade “Israel”.
Namun para peneliti lapangan yang bekerja untuk kelompok-kelompok hak asasi Palestina menunjukkan bahwa penggunaan drone terkait erat dengan sumber-sumber lain yang menjadi penyebab ketakutan dan kecemasan. Rudal drone melepaskan tembakan sendiri, mereka memandu serangan oleh F -16 atau helikopter, dan mereka berpatroli dan mengawasi perbatasan.
Sebuah survei di jurnal medis The Lancet, selama sebulan serangan “Israel” di Gaza pada musim dingin 2008-2009, ditemukan persentase jumlah anak-anak yang menderita gejala trauma psikologis: 58 persen takut gelap, 43 persen melaporkan biasa mimpi buruk, 37 persen mengompol, dan 42 persen selalu menangis.
Tawahina mengatakan bahwa perasaan ketakutan yang terus menerus tersebut merupakan “bentuk penyiksaan psikologis, yang menguras sumber daya masyarakat mental dan emosional. Pada anak-anak usia sekolah, hal ini dapat dilihat pada konsentrasi mereka yang buruk dan berperilaku nakal. Trauma bagi anak-anak ini diperparah oleh kenyataan bahwa drone juga mengganggu apa yang seharusnya menjadi aktivitas paling aman mereka seperti bermain atau menonton TV di rumah. Ketika pesawat tak berawak yang beroperasi di dekatnya, itu selalu mengganggu penerimaan satelit.”
“Itu bukan masalah yang utama, tapi itu adalah contoh lain bagaimana mereka tidak memiliki tempat untuk melarikan diri dari drone. Orang tua ingin anak-anak mereka di dalam ruangan, di mana ia merasa aman dan di mana mereka tidak terlalu mendengar suara drone, tapi dengungan itu masuk kedalam rumah mereka. Bahkan anak-anak tidak bisa mengurangi sedikit trauma mereka dengan menonton TV, karena drone membuat penerimaan TV terganggu.”
Menurut kelompok HAM Al- Mezan Gaza, “Israel” mulai menggunakan drone di seluruh wilayah sejak awal intifada kedua pada tahun 2000, tetapi hanya untuk pengawasan.
Eksekusi pertama di luar hukum yang dilakukan “Israel” dengan menggunakan drone terjadi pada tahun 2004, ketika dua warga Palestina tewas. Namun operasi ini menjadi semakin berkembang setelah tahun 2006, setelah penarikan para pemukim dan tentara “Israel” dari Gaza dan timbulnya kekuatan gerakan Islam Palestina – Hamas.
Drones, yang merupakan senjata garis depan “Israel” dalam operasi pengintaian dan upaya untuk menggagalkan serangan roket, telah menewaskan lebih dari 180 warga Palestina pada tahun 2006 dan 2007, menurut Al-Mezan. Angka-angka tersebut melonjak selama Operasi Cast Lead dan setelahnya. Diperkirakan warga Palestina yang tewas berjumlah 461 orang pada tahun 2009. Jumlah tersebut memuncak lagi dengan 199 kematian pada tahun 2012, ketika “Israel” meluncurkan delapan hari Operasi Pilar Pertahanan terhadap Gaza.
Meskipun klaim tentara intelijen “Israel” mengatakan bahwa drone membuatnya lebih mudah untuk menargetkan orang-orang Palestina yang disebut sebagai “teroris”, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi korban utama dari serangan drone-drone tersebut adalah warga sipil. Pada operasi pertahanan tahun 2012, 36 dari 162 warga Palestina tewas adalah akibat serangan drones, dan 100 lainnya terluka. Dari 36 yang tewas, dua pertiganya adalah warga sipil.
Sebuah temuan yang lain mengungkapkan, meskipun drone yang digunakan hanya lima persen dari serangan udara, tapi mereka menyumbang 23 persen dari total kematian. Menurut majalah Economist, pembunuhan pemimpin Hamas, Ahmed Jabari, dilakukan dengan menggunakan drone Hermes 450.
Pejuang Palestina melaporkan bahwa dalam menanggapi pengintaian yang terus menerus dari drone, mereka mengunakan cara dengan hidup dalam persembunyian, jarang keluar rumah dan menghindari menggunakan ponsel atau mobil. Ini merupakan cara hidup yang tidak mungkin dilakukan bagi sebagian besar warga Gaza.
Kelompok-kelompok pejuang Islam bersenjata di Gaza dilaporkan akan mencoba untuk menemukan cara untuk merusak sistem navigasi dari drone. Sementara itu, Hamas mengklaim telah menembak jatuh tiga drone, yang baru saja terjadi pada bulan ini, meskipun “Israel” mengatakan ketiga drone tersebut jatuh karena malfungsi.
Pekan lalu, pada ulang tahun peluncuran Pillar of Defence, seorang komandan “Israel” yang tentaranya mengontrol drone atas Gaza dari basis selatan Tel Aviv mengatakan kepada surat kabar Haaretz bahwa “banyak” serangan udara selama operasi itu melibatkan drone. “Letnan Kolonel Shay” mengatakan : “Pada akhirnya kita berada dalam situasi perang. Serangan drone berusaha untuk melakukan serangan dengan sasaran yang sangat tepat, tapi kesalahan bisa saja terjadi di udara atau di darat”
Kematian yang mengintai
Hal ini menjadi alasan utama bahwa drone telah menjadi penyebab kematian acak dari langit, kata Samir Zaqout, seorang peneliti senior Al – Mezan.
“Kita tahu dari rekaman yang diambil oleh pesawat “Israel” yang dapat melihat apa yang terjadi di bawah dengan sangat detail. Namun perempuan dan anak-anak yang yang selalu menjadi korban dari serangan pesawat tak berawak tersebut. Mengapa kesalahan ini terus-menerus terjadi? Jawabannya, saya pikir, adalah bahwa “itu bukan kesalahan”, tapi itu adalah kesengajaan. “Israel” ingin menyampaikan pesan kepada kami bahwa tidak ada tempat berlindung bagi siapapun, apakah Anda seorang warga sipil atau pejuang. Mereka ingin kita semua takut dan untuk membuat kita bangkit untuk melakukan perlawanan.
Zaqout juga menunjukkan bukti penggunaan serangan dalam bentuk lain, yang baru-baru ini terjadi, lebih dari sekedar drone, yang kemudian dikenal sebagai ” roof-knocking“. “ketukan atap” ini adalah sebuah pesawat tak berawak yang menembakkan rudal-rudal kecil di atap gedung untuk memperingatkan penduduk untuk segera mengungsi. Hal ini dikembangkan “Israel” selama Operation Cast Lead sejak tiga tahun yang lalu untuk meredakan kekhawatiran internasional tentang kehancuran yang berulang-ulang terhadap bangunan dan warga sipil di dalamnya.
“Israel” mengatakan bahwa mereka telah memberikan peringatan 10 menit dengan menggunakan “roof-knock”, namun, dalam prakteknya, waktu yang diberikan lebih sedikit dari itu, sehingga warga tidak sempat untuk mengungsi.” Kata Zaqout.
Salah satu kasus yang paling lekat dari ingatan akibat serangan drone yang menewaskan warga sipil adalah kasus yang terjadi selama operasi Cast Lead, ketika enam anggota keluarga Salha, semua wanita dan anak-anak tewas ketika rumah mereka hancur beberapa saat setelah ada “roof-knock”. Sang ayah, Fayez Salha, yang selamat, membawa ksusnya ke Mahkamah Agung “Israel”. Tapi kasusnya menguap di Mahkamah Agung “Israel” Februari lalu, dan bahkan dia diperintahkan untuk membayar biaya setelah hakim memutuskan bahwa serangan itu sah karena terjadi sebagai bagian dari operasi militer.
Seorang warga negara AS yang sudah lama tinggal di Gaza, yang tidak ingin disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari “Israel”, mengatakan dia sering mendengar suara drone di malam hari ketika jalan-jalan mulai sepi. Saya juga melihat drone-drone yang melayang-layang di langit ketika saya keluar rumah. “Suaranya seperti dengungan nyamuk, meskipun ada satu jenis drone yang tidak mengeluarkan suara,” katanya.
Drone, adalah dengungan kematian yang melayang–layang di langit Gaza, menyebarkan aroma ketakutan, dan menyampaikan pesan kematian. Tidak ada tempat sembunyi, tidak ada tempat melarikan diri. Sepanjang waktu kematian mengintai mereka. Anak-anak, perempuan, warga sipil tak berdosa terenggut nyawanya. Drone, gambaran wajah “Israel” yang haus darah. Drone, simbol arogansi “Israel” atas Palestina khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya. (ameera/arrahmah.com)