JAKARTA (Arrahmah.com) – Juru bicara Kepolisian Republik Indonesia Brigjen Boy Rafli Amar di Jakarta, Kamis (9/5) menjelaskan, sejak Rabu, tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan penggerebekan kelompok terduga teroris di Jakarta, Bandung, Kendal dan Kebumen.
Sebanyak 20 orang terduga teroris ditangkap dalam operasi tersebut, tujuh orang diantaranya tewas dalam kontak senjata, ujar Boy.
Menurut Boy, dalam penggerebekan di Jakarta seperti di Meruya, Serpong, Pondok Aren dan Ciputat, serta di Tangerang, ditangkap lima orang bernama Faisal alias Boim, Endang, Agung, Agus Widharto, dan Iman.
Di Kendal, Densus menangkap dua orang bernama Puryanto dan Iwan. Seorang lagi, Abu Roban, tewas tertembak. Adapun di Kebumen, empat orang ditangkap yaitu Farel, Wagiono, Slamet, dan Budi.
“Ada lagi tiga orang tewas tertembak bernama Bastari, Toni, dan Bayu alias ucup. Di Bandung, tertangkap dua orang bernama William Maksum alias Acum alias Dadan, dan Haris Fauzi alias Jablud. Tiga lagi tewas tertembak bernama Budi alias Angga, Junet alias Encek, dan Sarame,” ujarnya.
Boy menambahkan, dari lokasi penggerebekan di Jakarta, tim Densus 88 menemukan satu pistol jenis revolver dan 20 butir peluru, beberapa perhiasan, laptop, telepon genggam, uang hasil perampokan sekitar Rp 30 juta.
Sementara di Kendal, Jawa tengah, tambah Boy, tim Densus menemukan satu pistol jenis FN dan enam butir peluru, satu pistol jenis revolver dan tiga butir peluru, laptop, dan flash disk.
Lalu di Kebumen barang bukti yang ditemukan berupa tiga pistol jenis revolver serta 54 butir peluru, tiga bom pipa, satu granat manggis, empat sepeda motor, laptop, lima telepon genggam, dua handy talky, peta dan denah sketsa target.
Dan di Bandung lanjut Boy, ditemukan barang bukti berupa pistol jenis browning rakitan, satu buah magazin, amunisi kaliber 3.8 spc sebanyak 200 butir, amunisi 9 mm 80 butir, uang tunai Rp 6 juta, pisau, dua telepon genggam, satu unit kamera, modem dua unit, dan satu pistol jenis revolver.
Kelompok terduga teroris ini, menurut Boy, merupakan kelompok pimpinan Abu Roban yang merupakan bagian dari gerakan aksi teror di Poso, Sulawesi Tengah, pimpinan Santoso. Santoso dan beberapa lainnya hingga kini masih menjadi buron terduga teroris, ujarnya.
“Abu Roban yang kita duga adalah pimpinan kelompok ini, adalah bagian dari gerakan aksi teror yang berada di Poso pimpinan Santoso yang saat ini masih buron bersama dengan Autat Rawa. Jadi kalau kita liat mulai dari Abu Omar kemudian yang terkait dengan Tambora, Beji Depok, dan di desa Mustika Jaya Bekasi Timur, lalu yang terakhir ini. Jadi ini pengembangan dari sebelumnya. Sel-sel jaringan teroris ini terus berkembang. Kita liha banyak wajah-wajah baru,” ujar Boy.
Dalam aksinya, tambah Boy, kelompok ini lebih pada pencarian dana dengan melakukan perampokan di lebih dari tiga bank. Total hasil perampokan itu sekitar Rp 1,8 miliar untuk pembiayaan pelatihan kelompok teroris di Poso.
Abu Roban dan Sugiyanto dinilai terlibat dalam perampokan toko emas di Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat beberapa waktu lalu dan perampokan di Bank DKI. Abu Roban juga terkait kelompok Abu Omar, pemasok senjata dari Filipina.
Sementara itu pengamat Kontraterorisme, Harits Abu Ulya menyesalkan langkah-langkah Densus 88 yang masih melakukan tindak kekerasan dalam penanganan terorisme. Dengan tewasnya tujuh orang ini, Densus 88 dinilai telah melakukan Extrajudicial Killing (pembunuhan di luar jalur pengadilan).
Penuh Tanda Tanya
Sementara itu Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, menilai penyergapan selama enam jam ini patut menjadi tanda tanya. Setidaknya ada lima poin yang patut menjadi pertanyaan dalam penyergapan tersebut.
Pertama, benarkah orang-orang yang disebut sebagai teroris itu begitu kuat dan profesional sehingga butuh waktu enam jam untuk menyergapnya.
“Padahal polisi mengatakan mereka adalah kelompok baru. Kedua, apakah mereka lebih kuat ketimbang tokoh teroris Nordin M Top yang penyergapannya bisa dilakukan dengan waktu yang lebih cepat,” tuturnya.
Faktor ketiga, benarkah amunisi orang-orang yang disebut sebagai teroris itu begitu banyak hingga butuh waktu enam jam untuk melumpuhkannya.
“Keempat, kenapa polisi tidak menembakkan gas air mata ke dalam rumah kontrakan itu untuk melumpuhkan tersangka dan kenapa polisi cenderung menembakinya dengan peluru tajam dan mengeksekusi tersangka,” terangnya.
Kelima, kenapa pimpinan Polri sampai ikut-ikutan turun tangan dan menggunakan megaphone memperingatkan tersangka. Padahal selama ini hal itu tidak pernah dilakukan.
(islampos/arrahmah.com)