(Arrahmah.com) – Faksi-faksi yang berperang untuk tujuan yang haq dan tidak melaksanakan agenda asing, mereka adalah saudara kita. Bukanlah bagian dari agama Allah untuk menjadikan mereka sebagai sesuatu yang dipertaruhkan dan sekadar untuk menguji keyakinan mereka guna untuk mengkategorikan mereka sebagai apa. Tugas kita adalah untuk mendakwahi mereka menuju kebenaran, sehingga mereka memiliki keberpihakan terhadap agama dan ummat Muslim, serta mereka menjadi kuat dalam berkeyakinan, sehingga lebih sulit untuk diperdayai musuh.
Betapa salahnya kita, ketika kita ingin membuktikan kepada orang-orang dari golongan ekstremisme bahwa kitalah yang memiliki “ideologi murni”, sehingga terbujuk musuh Islam untuk memperlakukan mereka seolah penjahat yang membutuhkan pembebasan. Apakah kebebasan mereka? Mereka itu bukan orang kafir!
Kita mengancam mereka bahwa jika kita menyaksikan setiap penyelewengan pada bagian mereka, lantas kita akan melawan mereka. Kita tidak menunjukkan kesetiaan dan kecintaan kepada mereka, karena mereka adalah muslim yang belum memiliki pengalaman sebelumnya dengan Jihad, pengetahuan atau ideologi. Mereka hidup dalam cekokan sistem informasi yang sengaja disalahkan, penuh penindasan selama berpuluh-puluh tahun. Perlu diketahui, bahwa musuh-musuh kita memancing mereka dengan uang untuk melawan kita, tetapi agama dan hati nurani mereka yang hanif mendorong mereka untuk menolak untuk menyerahkan kita kepada kaum kafir, sama seperti kita, mereka mengatakan “ya, kami ingin agama Allah menang”.
Sebuah masalah muncul ke permukaan, berkenaan dengan jihad yang dilancarkan Muslimin di Suriah, baik berupa aksi turut memerangi, memberi nasihat melalui khotbah, atau mengomentarinya. Apakah kita malah mengkerangkengi tubuh Muslim sendiri lewat reaksi kita terhadap isu jihadis itu?
Kita secara tak sadar telah menjadikan Muslim “yang lain” melupakan saudara-saudara seiman di medan tempur. Kita lebih asik menyoroti penyelesaian masalah praktik “salafi jihadis”, daripada memikirkan masalah Muslim lainnya, seolah mereka “ummat kelas dua”!
Kita boleh jadi percaya-tidak percaya akan isu tersebut. Pada kenyataannya, telah banyak saudara seiman kita yang meninggalkan kampung halamannya dan berkorban demi menolong Muslim “lainnya”.
Namun, upaya-upaya dan ucapan-ucapan yang kita lontarkan, bernada seolah mereka yang bertempur di Suriah tidak pernah berjuang untuk ummat. Siapa kita ini? Siapa yang kita sebut “orang yang berideologi”? Ideologi apa?
Ideologi yang jelas adalah yang mengusung implementasi syari’at dan menolak demokrasi serta konstitusi buatan manusia. Kitalah yang “lain” itu.
Mereka yang semangat bertempur di Suriah adalah orang-orang awam dan kelompok tak berideologi yang berjuang atas nama pembelaan diri. Merekalah yang langsung tunduk patuh terhadap syaria’at saat diberitahu.
Mereka tidak tahu apa itu demokrasi atau sekulerisme. Mereka tidak tahu apakah mereka berjuang untuk koalisi atau kepada militer yang tidak membela Islam. Pun tidak jelas apakah mereka berjuang karena kemuslimannya atau menolong non-muslim.
Saat kita tanyakan apa ideologi mereka, mereka menjawab “ideologi apa? kami orang yang sederhana saja.”
Saya tidak membaur dengan kelompok yang mengusung agenda pihak asing. Saya tidak mengekor pada kelompok yang dibentuk masyarakat internasional.
Juga tidak tunduk di bawah dukungan pemerintah dzolim yang berkuasa, dimana para komite mempropagandakan keinginan mereka untuk mendirikan sebuah negara yang kedaulatannya bukan diegakkan atas syari’at Alloh subhanahu wata’ala.
Saya tidak menyatakan bahwa pokok masalahnya adalah pengaruh kurangnya “ideologi” mereka dalam rangka penolakan atas demokrasi.
Yang saya ingin bahas disini adalah; sikap kita yang telah mengecam mereka yang menolak peradilan independen (non-syariah) dan mengklaim kebebasan negara mereka sendiri yang tergelincir dalam konflik.
Ucapan-ucapan dan khotbah-khotbah kita telah menjurus pada penyerangan terhadap mereka yang kita labeli “beridiologi murni”, membagi mereka menjadi dua faksi.
Siapa yang kita bela atas kepahlawananya yang kita sanjung-sanjung, dan siapa yang kita doakan kesyahidannya dan kita mohonkan ampunan-Nya?
Lambat laun, mayoritas Muslim melupakan saudara-saudara seiman yang tertindas di Suriah dari benak kita.
Apakah Anda tahu apa yang sedang kita lakukan?
Kita membuat orang-orang Suriah merasa bahwa kita mempertengkarkan “perang kami” di “tanah kami”!
Kita sendiri dapat memastikan kekuatan kafir apa yang telah gagal menjatuhkan Islam. Adalah karena kita tidak mewakili ummat, tetapi hanya memaksakan diri bertindak mengatasnamakan ummat.
Kita telah menyia-nyiakan kesempatan yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada kita saat ini, yakni: mengambil keuntungan dari semangat para jihadis yang mensibghah dada orang-orang Suriah.
Hal tersebut dapat menyokong proyek pembebasan Suriah dan mendukung penerapan Islam yang mereka peluk dan yakini. Sehingga upaya mengehentikan jihad di Suriah berarti sama seperti mencabut nyawa dari tubuh seorang Muslim.
Kini kita telah membatasi gerak jihad kita dengan memberantas “ideologi tertentu” seperti semudah mencabut duri dalam daging.
Perasaan saya terluka saat di tengah-tengah kita ada yang mengedarkan berita pembunuhan salah seorang pemimpin kelompok “ideologi tertentu” dan lainnya memposting gambar teman atau saudaranya yang menyatakan “yang tewas ini juga salah bunuh,” Apakah kita tidak akan turut mendoakannya? Tidak turut memenuhi haknya sebagai mayyit?”
Saat ini orang-orang harus dibangkitkan kembali kesadarannya akan ukhuwah Islamiyah, dimana darah sesama Muslim sederajat. Jika kita bersikukuh menganggap jihadis sebagai Muslim kelas dua, dibandingkan keutamaan kita, karena tidak “se-ideologi” dengan kita; maka kita akan menciptakan kebingungan pada agama ini. Niat baik dari perbuatan kita dapat berubah menjadi perbuatan buruk. Lebih merusak ummat daripada sekadar seperti memindahkan kamp saudara seiman kita ke kamp para musuh Allah.
Faksi-faksi yang berperang untuk tujuan yang haq dan tidak melaksanakan agenda asing, mereka adalah saudara kita. Bukanlah bagian dari agama Allah untuk menjadikan mereka sebagai sesuatu yang dipertaruhkan dan sekadar untuk menguji keyakinan mereka guna untuk mengkategorikan mereka sebagai apa. Tugas kita adalah untuk mendakwahi mereka menuju kebenaran, sehingga mereka memiliki keberpihakan terhadap agama dan ummat Muslim, serta mereka menjadi kuat dalam berkeyakinan, sehingga lebih sulit untuk diperdayai musuh.
Betapa salahnya kita, ketika kita ingin membuktikan kepada orang-orang dari golongan ekstremisme bahwa kitalah yang memiliki “ideologi murni”, sehingga terbujuk musuh Islam untuk memperlakukan mereka seolah penjahat yang membutuhkan pembebasan. Apakah kebebasan mereka? Mereka itu bukan orang kafir!
Kita mengancam mereka bahwa jika kita menyaksikan setiap penyelewengan pada bagian mereka, lantas kita akan melawan mereka. Kita tidak menunjukkan kesetiaan dan kecintaan kepada mereka, karena mereka adalah muslim yang belum memiliki pengalaman sebelumnya dengan Jihad, pengetahuan atau ideologi. Mereka hidup dalam cekokan sistem informasi yang sengaja disalahkan, penuh penindasan selama berpuluh-puluh tahun. Perlu diketahui, bahwa musuh-musuh kita memancing mereka dengan uang untuk melawan kita, tetapi agama dan hati nurani mereka yang hanif mendorong mereka untuk menolak untuk menyerahkan kita kepada kaum kafir, sama seperti kita, mereka mengatakan “ya, kami ingin agama Allah menang”.
Betapa bersalahnya kita ketika takut menyanjung saudara seiman kita. Mereka malah difitnah “ideologinya” lewat lidah-lidah bak pedang tajam yang hasad akan kebaikan mereka.
Orang-orang takut dikatai menyembah manusia karena menghargai mereka. Seolah bertalian saudara dan bertoleransi kepada mereka itu melanggar ajaran agama. Seolah-olah sedang meneladani Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam yang tidak memberikan banyak uang kepada non-Muslim guna mendapatkan kesetiaan mereka.
Saudara-saudara kita ini Muslim, bukan orang kafir. Mereka tidak meminta uang kita atas kesetian mereka terhadap Islam. Mereka menginginkan kalimat-kalimat yang baik dari lisan kita, apresiasi, sebuah perasaan bahwa mereka adalah saudara seiman “bagian dari kita dan ada di antara” kita.
Betapa tidak adilnya jika kita menihilkan mereka, hanya karena ingin mendapatkan pengakuan dari kaum yang tidak melaksanakan Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam dalam menjalin kasih sayang dalam bermasyarakat.
Sungguh ketakutan yang sangat akut dan dzon yang kompleks, jika kita enggan mengakui perjuangan para jihadis, hanya karena takut suatu saat di masa yang akan datang mereka akan melenceng.
Dan kehati-hatian orang-orang yang menjaga lisannya dari mengakui sepak terjang jihadis sangatlah tidak masuk akal. Akhirnya kita terjebak pada pencitraan dan penjagaan reputasi baik.
Kita mengabaikan membersamai saudara-saudara Muslim yang berjihad. Bahkan kita tergoda oleh tipuan yang dihembuskan penjajah.
Kita harus mengucapkan dengan sepenuh hati bahwa “ini adalah saudara-saudara kami, kami setia kepada mereka dan kami mencintainya. Kami rasakan penderitaan mereka, dan marah jika mereka disalahkan. Kami mendoakan mereka agar syahid dan diampuni Allah. Sama seperti saat kita memanjatkan doa rabithah kepada saudara yang “seideologi”.
Mereka adalah saudara kita -“orang-orang awam” yang memperjuangkan pembebasan Muslim dari penjajahan kaum kafir, yang patut lebih kita cintai dan sayangi daripada mereka yang mengaku “berideologi murni” tetapi mengehembuskan perpecahan di antara ummat.
Maka benarlah, bahwa sebuah revolusi dapat menyaring siapa di antara ummat, yang benar-benar berideologi Islam.
Untuk menciptakan revolusi dibutuhkan visi yang selaras sunnah perjuangan Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam. Perjuangan yang menghantarkan tegaknya Dinnullah di muka bumi. Dengannya tercegahlah ummat dari keterbelakangan sebagai buah dari memperbesar-besarkan ikhtilaf. (adibahasan/arrahmah.com)