JAKARTA (Arrahmah.com) – Pelantikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menuai pro dan kontra. Tentu ini bukan perkara biasa bagi Ummat Islam, sebab penguasa yang terpilih akan berdampak pada ketaatannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dengan demikian, seorang pemimpin yang bertentang dengan pelaksanaan perintah Allah menjadi tidak wajib kita taati.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan DR. Ahmad Zain An-Najah Lc., M.A. bahwa, “seandainya daerah mayoritas Muslim dipimpin gubernur non-Muslim, maka Ummat Islam tak wajib taat. Hubungan muslim dengan pemimpinnya hanyalah sebatas muamalah,” sebagaimana dilansir oleh Islampos pada Jum’at (15/11/2014).
Masyarakat seharusnya menyadari bahwa Ahok yang beragama Kristen Protestan ini telah mengeluarkan berbagai kebijakan intoleransi terhadap Ummat Islam. Semestinya kita menolak lupa, saat Ahok menghancurkan Masjid Baitul Arif di Jatinegara, Jakarta Timur, sehingga warga setempat tidak bisa shalat Jum’at dan melakukan kajian Islam sampai saat ini, padahal telah dinasihati MUI, sebagaimana dilansir Republika pada 18 September 2013.
Pun Arrahmah melaporkan pada 12 Oktober 2013, Ahok telah menghancurkan Masjid bersejarah Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki dengan dalih renovasi, namun hingga hari ini tidak ada tanda-tanda akan dibangun kembali.
Tidak puas dengan menghancurkan Masjid-Masjid, Ahok mengganti para pejabat Muslim dengan pejabat-pejabat kafir seperti Lurah Susan, Lurah Grace, dsb. Secara terstruktur, kepala sekolah Muslim di DKI juga banyak yang diganti dengan alasan lelang jabatan. Hasilnya, banyak kepala sekolah beragama Kristen saat ini dan melakukan pembatasan oraganisasi rohis di sekolah.
Dengan dukungan media-media Sekuler, Ahok terus berani menghapus simbol-simbol Islam. Melalui Kadisdik DKI yang kafir, Lasro Masbrun, mengeluarkan aturan mengganti busana Muslim di sekolah-sekolah DKI setiap Jum’at dengan baju Betawi. Padahal sebenarnya baju Betawi bisa digunakan pada hari lain, seperti aturan di sekolah-sekolah Bandung, yaitu Rabu untuk baju daerah (Sunda), sedangkan Jum’at tetap dengan busana Muslim. Dan masih banyak lagi serentetan alasan mengapa Muslimin Jakarta dapat menolak Ahok menjadi gubernurnya, sebagaimana dilansir Salam-Online pada 25 Sepetember 2014.
Maka, “Ummat Islam tidak wajib taat kepada Ahok. Hubungan kita dengan Ahok seperti dengan tetangga, sebatas urusan muamalah,” kata Zain An-Najah yang juga Doktor Syariah dari Universitas Al Azhar, Kairo saat ditemui Islampos, Rabu (12/11) di Jakarta.
Peraih gelar Summa Cumlaude (penghargaan tingkat pertama) dari Universitas Al Azhar ini, memberikan pesan kepada umat Islam untuk senantiasa berdoa dan melakukan penolakan terhadap Ahok sebagai Gubernur.
“Karena Ummat Islam tidak boleh dipimpin orang Nasrani dan Yahudi. Cara menolaknya bisa dengan demo yang tertib dan cara-cara lain yang tidak melanggar syariat Islam,” tegas pengasuh Fiqh Kontemporer ini yang pernah meluruskan pemahaman Quraish Shihab terkait jilbab.
Penolakan Ummat Islam terhadap kepimpinan Ahok dilakukan tak hanya karena ucapannya yang tidak santun, tetapi pernyataan-pernyataan Ahok telah menistakan syiar-syiar Islam.Tidak heran bukan jika Ummat Islam merasa sakit hati?
“Umat Islam [sebaiknya] istighfar. Semua yang ada di DPRD dan pemerintah jadi menanggung dosa. Namun umat Islam tidak wajib taat kepada Ahok. Hubungan kita dengan Ahok seperti dengan tetangga, sebatas urusan muamalah,” tegas pria yang menulis Disertasi tentang salah satu tokoh ulama Syafi’yah, Al-Qadhi Husain di bawah para profesor kenamaan di Mesir. (adibahasan/arrahmah.com)