(Arrahmah.com) – Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana)
Penyiaran berita atau pemberitahuan bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang dikenal dengan delik hoax telah banyak menuai protes.
Delik hoax dipandang sudah tidak relevan lagi diterapkan di era reformasi yang menjamin kebebasan berpendapat. Dikatakan demikian oleh karena penerapannya sangat bergantung dari kehendak rezim dan menjadi alat untuk membungkam lawan politik. Delik hoax sudah banyak ‘memakan korban’, salah satunya adalah Habib Rizieq Syihab dkk pada perkara RS UMMI. Putusan pidana penjara selama 4 (empat) tahun terhadap Habib Rizieq Syihab sangat mencederai rasa keadilan. Menjadi sangat beralasan terhadap putusan demikian dimintakan banding pada Pengadilan Tinggi.
Persoalan krusial dalam pasal a quo menunjuk pada frasa “keonaran di kalangan rakyat” dan hubungannya dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Selengkapnya bunyi Pasal 14 ayat (1) sebagai berikut: “Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Timbulnya keonaran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa delik ini adalah delik materiil, harus benar-benar terjadi keonaran di kalangan rakyat. Menyangkut tentang makna keonaran, pada penjelasannya disebutkan: “Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan memuat juga keonaran.”
Dengan adanya penafsiran otentik (resmi) ini, maka tertutup upaya penafsiran. Tiada tafsir lain, selain penjelasan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, dalil PN Jakarta Timur pada perkara a quo yang telah mempersamakan keonaran di kalangan rakyat dengan kegaduhan/pertentangan pendapat di dunia maya (media sosial) bertentangan dengan asas legalitas yang secara tegas melarang penggunaan analogi (lex stricta).
Penulis sependapat dengan Sudarto yang mengatakan bahwa analogi akan memperbesar peluang kesewenang-wenangan pengadilan dan penguasa (Sudarto: 1975). Peristiwa tertentu yang bukan termasuk perbuatan pidana dengan analogi akan menjadi perbuatan pidana. Disinilah letak permasalahan analogi. Kriminalisasi dapat terjadi terhadap siapa saja yang dianggap sebagai lawan politik atau setidak-tidaknya yang bertentangan dengan rezim.
Perlu ditegaskan bahwa kekacauan itu sendiri adalah suatu kondisi terjadinya huru-hara atau kerusuhan yang berupa fisik bukan non fisik atau dunia maya. Keonaran juga harus terjadi secara meluas (masif) di berbagai wilayah Indonesia, jadi tidak bersifat lokal/sektoral.
Pada persidangan perkara RS UMMI tidak pernah ada ditemukan suatu fakta tentang timbulnya akibat berupa keonaran, kekacauan, kerusuhan atau huru-hara di kalangan rakyat secara meluas di berbagai wilayah Indonesia.
Selanjutnya, dilihat dari politik hukum pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Jadi, bukan ditujukan untuk kepentingan hukum individu (individuale belangen) dan kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen).
Pembentuk undang-undang menjadikan perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagai tindak pidana menunjuk pada akibat timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Oleh karena itu, penekanannya bukan dari kebohongannya, namun dari maksud/kehendak orang menyiarkannya.
Dengan kata lain, kebohongan itu memiliki kualitas tertentu dan motivasi tertentu pula. Terkait dengan itu, norma larangan yang dimaksudkan pembentuk undang-undang adalah dalam rangka menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan negara.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya pada perkara RS UMMI diterapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Terlebih lagi Pengadilan telah melampui batas kewenangannya dengan melakukan analogi. Padahal analogi adalah sesuatu yang ‘diharamkan’ dalam sistem hukum pidana Indonesia. Semoga Putusan Banding mengabulkan permohonan Habib Rizieq Syihab dkk.
Jakarta, 6 Agustus 2021.