JAKARTA (Arrahmah.com) – Para anggota DPR bereaksi berkenaan pernyataan Dubes RI untuk Swiss, Djoko Susilo yang menyatakan bahwa 90 persen kunjungan kerja DPR ke luar negeri tidak bermanfaat dan anggota yang melakukan kunjungan lebih banyak menggunakan waktunya untuk pelesiran.
Minggu (24/4/2011) Ketua Fraksi Partai Demokrat DP RI, Muhammad Jafar Hafsah mengatakan, sungguh tidak pantas seorang duta besar memberikan komentar mengenai kunjungan kerja DPR ke luar negeri.
Menurut Jafar, anggota DPR ke luar negeri adalah karena tugas-tugasnya. Program DPR melakukan kunjungan kerja (kunker) juga sudah masuk dalam program dan rencana membangun DPR yang lebih baik. Kunjungan kerja itu adalah untuk belajar dari Negara lain yang sukses sehingga DPR pun dapat menjalankan fungsinya dengan lebih baik.
Jafar juga menyayangkan pernyataan seperti itu keluar dari mulut seorang duta besar dan untuk itu dirinya akan menanyakan hal yang tidak patut dilakukan oleh jajaran Kementrian Luar Negeri seperti Djoko.
“DPR dan pemerintah itu harusnya sinergi dan tentunya adalah tugas DPR untuk mengawasi pemerintah dan bukan sebaliknya. Apalagi hanya seorang duta besar. Saya pasti akan tanyakan hal ini kepada Menlu. Dubes itu ditunjuk oleh DPR dan kita tidak pernah menghalang-halangi atau menjatuhkan tugas-tugas seorang duta besar apalagi hal itu dilakukan melalui media. Kita saja kalau duta besar tidak beres kerjanya menggunakan surat resmi dan tidak melalui media kok,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil DPR RI Priyo Budi Santoso yang menilai pernyataan Djoko Susilo sebagai sesuatu yang tidak pantas dan sudah kelewatan. Masih menurut Priyo, seorang duta besar sangat tidak pantas mengkritik DPR.
Kepada wartawan di Jakarta, Minggu (24/4), Priyo menegaskan bahwa pernyataan Djoko Susilo itu merupakan pernyataan yang tidak pantas disampaikan oleh seorang duta besar. Dia justru balik mempertanyakan peran Djoko sebagai duta besar apakah sudah bermanfaat atau tidak buat bangsa Indonesia.
Menurut dia, selama ini banyak kedutaan besar Indonesia di luar negeri yang tidak “berbunyi”, (salah satunya Dubes Swiss Djoko Susilo) sehingga harus dikaji ulang apakah manfaat keberadaan kedutaan Indonesia di luar negeri sebanding dengan anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk itu.
“Saya banyak mendapatkan telepon dari anggota-anggota DPR yang bahkan meminta untuk menutup
kedutaan-kedutaan besar kita di luar negeri yang selama ini tidak berbunyi dan menarik
seluruh duta besarnya. Namun saya kira tidak perlu se-ekstrim itu, kita hanya perlu
mengkaji mengenai anggaran yang dikeluarkan untuk kedutaan besar. Jika memang tidak banyak
manfaatnya maka konsekuensinya anggarannya cukup kita potong saja,” ujar Priyo.
Pemangkasan anggaran, menurut Priyo, menjadi penting karena selama ini diplomasi luar negeri Indonesia tidak cukup membanggakan. Diplomasi dan politik luar negeri Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Karena itu, evaluasi total seluruh anggaran kedutaan besar adalah hal yang tidak bisa dihindari.
“Ada apa ini, duta besar kok ngerasani kita. Kalau yang mengkritik itu masyarakat atau LSM, bisa kami terima dan dengarkan. Nah ini yang mengkritik adalah seorang dubes yang notabene kita yang biayai dan apalagi dia tidak punya prestasi, jadi agak aneh buat saya,” katanya.
Mengenai klaim Djoko bahwa pernyataannya itu diamini oleh duta besar-duta besar Indonesia lainnya seperti duta besar Belanda, Jerman, Belgia dan Prancis, Priyo mengatakan akan mengecek hal itu kepada duta besar-duta besar yang disebutkan itu.
Priyo juga menyindir bahwa pernyataan Djoko itu bisa jadi adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadinya ketika menjadi anggota Komisi I DPR RI periode lalu. DPR saat ini justru sedang mencoba untuk lebih efisien.
Perhatikan para petinggi kita. Ketika mendapat kritik langsung bereaksi berang. Karena Dubes dibiayai oleh DPR maka mereka tak rela mendapat kritik dari pihak yang mereka biayai. Satu kritikan menjadi penyulut untuk saling menjelekkan institusi masing-masing. Sungguh menyedihkan mengingat mereka adalah kaum muslimin yang mempunyai banyak suri tauladan dalam kepemimpinan ummat islam. Tidakkah mereka tahu bahwa Rasulullah kerap menyuapi orang tua buta yang tiap hari memaki-maki beliau, hingga Rasul meninggal dan Abu Bakar menggantikan Rasul menyuapinya, orang tua itu baru sadar bahwa orang yang menyuapinya selama ini adalah Muhammad yang begitu dibencinya? Tidakkah mereka kenal dengan Umar Bin Khattab yang berang karena salah seorang gubernurnya menggusur rumah yahudi miskin untuk pelebaran kawasan masjid? Tidakkah mereka kenal dengan Abu Bakar yang memanggul gandum untuk diantarkan ke rumah rakyatnya yang kelaparan? Kenalkah mereka dengan Umar Bin Abdul Aziz yang bahkan menggunakan lampu minyak pemberian Negara untuk penerangan kegiatan pribadinya pun tak mau?
Ummat Islam merindukan saat dimana para pemimpin dan pejabat bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. (m1/arrahmah.com)