JAKARTA (Arrahmah.com) – Hasil studi Open Society Foundation (OSF) kini menjadi sorotan, setidaknya Komisi Pertahanan, Komunikasi, dan Informasi DPR RI akan mengkaji lebih dahulu laporan itu yang menyebut adanya keterlibatan intelijen Indonesia dalam program rahasia dengan Dinas Rahasia AS, CIA (Central Intelligence Agency). “Ini harus dikaji dulu, apakah seperti itu persoalannya,” kata Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Ramadhan Pohan, di Jakarta, Kamis (7/2/2013).
Laporan hasil studi berjudul “Globalizing Torture: CIA Extraordinary Rendition and Secret Detention” itu dipublikasikan Selasa lalu oleh yayasan yang didirikan oleh philantropis George Soros itu. Fokus laporan itu adalah pada program rendition (pemindahan seseorang ke negara lain tanpa proses hukum) dan penahanan rahasia CIA, yang dilakukan paska serangan teroris 11 September 2001 ke negara itu. Partner CIA dalam program ini 54 negara, termasuk Indonesia.
Ramadhan mengatakan, Indonesia tidak bisa menjadi bagian dari operasi lembaga intelijen mana pun. “Apalagi, jika kerjasama itu diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia, tentu harus dipertanyakan,” katanya. Dia menambahkan, Parlemen juga harus mempelajari terlebih dahulu apakah operasi terorisme yang selama ini digelar pemerintah menjadi bagian dari operasi intelijen CIA.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Golongan Karya Tantowi Yahya mengaku baru mengetahui soal tudingan tersebut. Ia akan mengkonfirmasi soal itu kepada Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen Negara (BIN). “Yang perlu dikonfirmasi lagi, apa benar perburuan yang kita lakukan pada tiga orang itu ada kaitannya dengan itu,” katanya. Parlemen berencana menanyakan soal ini dalam rapat kerja dengan Kementerian Pertahanan dan BIN, pekan depan.
Setidaknya ada tiga penangkapan oleh intelijen Indonesia yang disebut laporan OSF tersebut sebagai bagian dari kerjasama operasi rahasia ini, yaitu terhadap Muhammad Saad Iqbal Madni, Nasir Salim Ali Qaru, dan Omar al-Faruq. Madni ditangkap di Jakarta, sebelum dikirim ke Mesir. Nasir ditangkap di Indonesia tahun 2003 dan ditransfer ke Yordania, sebelum akhirnya ditemukan di Yaman. Faruq ditangkap di Bogor tahun 2002, lalu dipindahkan ke Bagram, Afganistan.
Dalam studi itu OSF itu disebutkan, masing-masing negara memiliki peran yang berbeda-beda dalam membantu operasi CIA itu. CIA menahan orang yang diduga teroris di fasilitas penahanan di Lithuania, Maroko, Polandia, Rumania, dan Thailand –di samping di Afghanistan dan Guantanamo, Kuba. Sedangkan negara-negara seperti Azerbaijan, Kanada, Denmark, Malawi, Kenya, Zimbabwe, Malaysia, dan Sri Lanka, berpartisipasi melalui interogasi, penyiksaan, atau penangkapannya.
Setidaknya ada 136 orang yang dilaporkan menjadi korban operasi ini. Dalam penahanan itu, mereka mengalami sejumlah penyiksaan. Karena itu, tulis laporan OSF itu, Amerika Serikat dan dan negara-negara yang membantunya harus bertanggungjawab atas pelanggaran hukum domestik dan internasional itu. Hingga kini hanya Kanada yang meminta maaf atas perannya. Sedangkan Australia, Inggris, dan Swedia, menawarkan kompensasi kepada korban operasi rahasia itu.
Amrit Singh, penulis laporan itu mengatakan, Presiden AS Barrack Obama pada tahun 2009 mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang penggunaan penyiksaan, teknik interogasi keras dan penutupan fasilitas penahanan rahasia. Tapi, kata Singh, perintah itu tidak menanggalkan praktik rendition. “Kenyataannya, perintah itu memungkinkan penahanan jangka pendek untuk rendition,” kata Singh.
Pendukung program rendition dan penahanan mengatakan, ini merupakan komponen penting kebijakan keamanan nasional AS menghadapi ancaman tak menentu setelah peristiwa 9/11 itu. “Semua plot (teroris) yang direncanakan setelah serangan 9/11 tidak pernah terjadi,” kata Marc Thiessen, penulis utama untuk pidato Presiden AS George W. Bush. Jika tak ada program rahasia itu, kata Marc, belum tentu AS melewati 12 tahun ini tanpa serangan teroris. (bilal/tmp/arrahmah.com)