PADANG (Arrahmah.com) – Hayati Syafri, seorang dosen di Institut Agama Islam Negeri Kota Bukittinggi, Sumatera Barat yang sehari-harinya mengenakan cadar menerima surat keputusan pemberhentian dengan hormat atas dirinya sebagai dosen mata kuliah Speaking di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
Hayati menerima surat keputusan pemecatan tersebut pada 20 Februari 2019. Surat itu dikeluarkan langsung oleh Kementerian Agama RI. Dengan demikian, secara otomatis ia tidak bisa mengabdikan diri sebagai dosen di kampus itu.
Hayati merasa, gelar Doktor predikat Cum Laude dengan IPK 3,83 yang diraihnya pada Jumat 16 Maret 2018, sia-sia.
Kini, Hayati masih mengkaji ulang SK pemberhentian tersebut, sembari memikirkan langkah atau upaya apa yang akan ditempuh untuk mencari keadilan terhadap persoalan yang menimpa dirinya.
Ia mengungkapkan, poin yang tertera dalam SK pemberhentian itu tidak lagi menyinggung masalah cadar. Namun, dengan pertimbangan lain yang terkait pelanggaran disiplin yaitu tidak masuk kerja tanpa keterangan yang sah, yang diakumulasikan sebanyak 67 hari kerja.
“Kalau saya terima SK pemberhentian dengan hormat itu pada Rabu kemarin. Saya dipanggil pihak kampus. Mungkin surat itu sampai di kampus hari Kamis. Karena SK pemberhentian itu ditetapkan pada hari Senin yang lalu. Surat itu ditandatangani langsung oleh menteri agama. Tanda tangan basah,” kata Hayati Syafri, Sabtu (23/2/2019).
HAyati mengatakan, dalam SK pemberhentian tersebut dituangkan jika dirinya melakukan pelanggaran disiplin. Padahal, persoalan 67 hari kerja ini sudah dijelaskan sebelumnya ke Inspektorat Jenderal Kementerian Agama.
Karena itu, lanjutnya, hal ini tidak lepas dari tugas dirinya sebagai dosen yang melanjutkan kuliah S3, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
“Saya sudah jelaskan sebelumnya. Sudah saya sertakan bukti ke Inspektorat Jenderal Kemenag saat diperiksa tahun lalu. Saya juga memiliki prestasi dari hasil itu. Cuma data yang saya berikan tidak bisa mereka terima. Anehnya, bahkan ada pimpinan juga yang kuliah melanjutkan S3 di kota yang bahkan lebih jauh dari saya. Padahal sedang menjabat, tapi ternyata tidak dikasuskan kehadirannya,” tuturnya.
Hayati menilai, alasan pelanggaran disiplin ini hanya lah bentuk cara lain untuk mencari kesalahan terhadap dirinya, karena tetap bersikeras menggunakan cadar di lingkungan kampus.
“Saat ini saya belum mengambil langkah apapun terkait keluarnya SK ini. Kemungkinan, akan ada upaya untuk memperjuangkan itu,” tandasnya.
Dalam SK tersebut, ujar Hayati, disebutkan jika pemberhentian itu bukan atas dasar permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. Keluarnya surat itu, karena melanggar ketentuan pasal 3 angka 11 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
“Apabila tidak ada banding administratif, maka keputusan ini mulai berlaku pada hari kelima belas terhitung mulai surat ini diterima. Itu menurut SK itu. Saya masih belum mengambil langkah apa-apa terkait ini. Mungkin akan ada,” terangnya.
Sebelumnya, kasus Hayati Syafri sempat mencuri perhatian publik. Dirinya, dinonaktifkan dari semua kegiatan akademiknya. Semua akses yang terkait dengan fungsional akademiknya ditutup pihak kampus lantaran ia tetap bersikukuh mengenakan cadar di lingkungan kampus.
Hayati melawan arus karena menurut keyakinannya bahwa cadar merupakan salah satu sunnah dalam agama Islam dan tidak sepantasnya kampus Islam membuat aturan yang bertentangan dengan aturan Islam.
Setelah melakukan istikharah, Hayati tetap menggunakan cadar, meskipun diintimidasi bahkan diberi sanksi sekalipun.
Baginya, mengenakan cadar merupakan prinsip dan pilihan hidup saat ini. Bahkan, sebelum memakai cadar ia sudah melakukan kajian mendalam, dan juga sudah meminta pendapat dari beberapa ulama.
Sumber: VIVA
(ameera/arrahmah.com)