Saad Umer yang berusia tujuh tahun bergabung dengan kerumunan orang di sebuah perkampungan miskin di kota Karachi, Pakistan, yang bergegas untuk mendapatkan bantuan tepung dan sedikit uang tunai dari sebuah badan amal yang mencoba membantu mereka yang paling rentan untuk mengatasi harga-harga yang melambung tinggi.
Namun tiba-tiba huru-hara terjadi dan beberapa orang terjatuh.
Saad dan 10 orang lainnya, semuanya perempuan dan anak-anak, terbunuh dalam peristiwa terbaru dalam serangkaian perebutan makanan yang mematikan saat Pakistan berjuang menghadapi krisis ekonomi paling serius dalam beberapa tahun terakhir.
“Dia adalah anak yang cantik. Saya tidak akan pernah bisa melupakan kematiannya selama saya hidup,” kata ayahnya, Umer Zada, kepada Reuters.
Zada mengatakan bahwa distribusi bantuan seharusnya lebih terorganisir dengan baik, dengan pengawasan polisi terhadap mereka yang kelaparan dan putus asa mencari bantuan.
“Tidak ada aturan atau peraturan saat anak saya terinjak-injak.”
Pekan lalu, dalam insiden lain, polisi menembakkan gas air mata dalam upaya untuk mengendalikan kerumunan massa yang mencoba untuk mendapatkan pasokan makanan di sebuah lokasi di provinsi Kyber Paktunkwa.
Secara keseluruhan, 16 orang telah terbunuh dalam kericuhan pada saat pembagian makanan, yang mengejutkan Pakistan, terutama selama bulan puasa Ramadhan, waktu untuk beramal.
Namun tahun ini, kelesuan ekonomi tampaknya mengikis kemampuan masyarakat untuk mengatasinya.
Faktor-faktor global telah memperparah inflasi konsumen karena negara berpenduduk 220 juta jiwa ini sedang berusaha untuk menyelesaikan perjanjian bail-out dengan Dana Moneter Internasional.
Harga-harga terdorong lebih tinggi oleh melemahnya mata uang, kenaikan tarif energi dan lonjakan harga-harga di bulan Ramadan.
Inflasi Pakistan melonjak ke rekor 35% bulan lalu. Inflasi makanan di bulan Maret mencapai 47,1% dan 50,2% untuk daerah perkotaan dan pedesaan.
Gejolak ketika badan-badan amal mencoba membantu masyarakat miskin menunjukkan bahwa kondisi ini akan semakin memburuk karena dampak inflasi.
“Orang-orang yang biasanya menyumbang dalam jumlah kecil kini mulai meminta bantuan, sementara orang-orang yang biasanya menyumbang dalam jumlah besar mengatakan bahwa mereka kesulitan dan mengurangi jumlah sumbangan mereka,” ujar Ansar Burney, kepala Ansar Burney Trust kepada Reuters.
“Telah terjadi penurunan donasi sebesar 50 persen tahun ini, sementara jumlah orang yang meminta bantuan meningkat 50 persen.”
Dengan naiknya harga-harga, dana yang diberikan para donatur tidak lagi bisa menjangkau sejauh sebelumnya.
“Badan amal sedang berjuang untuk menghadapi kenaikan inflasi dan biaya-biaya seperti halnya rumah tangga. Jumlah orang yang mendatangi kami untuk meminta bantuan juga meningkat,” ujar Ramzan Chhipa, pendiri asosiasi kesejahteraan Chhipa.
Harga bahan bakar yang lebih tinggi membuat penyediaan layanan ambulans menjadi semakin sulit, kata Faisal Edhi, seorang dermawan dan kepala operasi amal terbesar di Pakistan, Edhi Foundation. Ambulans kelompok ini membawa para korban yang terluka dan jasad Saad serta korban lainnya yang tewas dalam serangan di Karachi.
“Layanan kami menjadi mahal dan kami tidak selalu dapat menjangkau masyarakat. Kami telah menghabiskan sejumlah besar dana dari cadangan kami,” kata Edhi.
Edhi juga mengatakan bahwa ada peningkatan jumlah pria yang bunuh diri karena mereka tidak dapat menghidupi keluarga mereka, termasuk seorang pria yang merupakan temannya.
Saylani Welfare Trust mengelola dapur umum di lingkungan termiskin di Karachi di mana jumlah orang yang mengharapkan makanan semakin banyak namun donasi untuk mendanai layanan ini menurun.
Pengawas Arif Lakhani mengatakan bahwa di masa lalu, jumlah orang yang datang bisa mencapai 500 orang, kini mencapai 1.000 orang sementara donasi turun sekitar setengahnya.
“Bahkan, saya akan mengatakan bahwa sumbangan yang masuk hanya 40 persen dari sebelumnya,” katanya.
Sikander Bizenjo, salah satu pendiri Komite Aksi Pemuda Balochistan, yang membantu di desa-desa terpencil, mengatakan bahwa setelah satu tahun di mana banjir meluluhlantakkan daerah-daerah yang sangat luas, tidak mengherankan jika orang-orang merasa mereka tidak dapat membantu sebanyak yang mereka bisa.
“Ada semacam kelelahan bagi para donor,” katanya.
Seperti semua orang, Zada berjuang melawan inflasi, namun ia juga harus menghadapi kesedihan dan pertanyaan-pertanyaan yang menyiksanya.
“Saya benar-benar hancur. Ada orang lain seperti saya yang anak-anaknya terbunuh, menjadi martir,” katanya.
“Para wanita yang tidak punya apa-apa untuk dimakan pergi ke sana. Tidak bisakah pemerintah melihat bahwa orang-orang sekarat karena kelaparan?” (haninmazaya/arrahmah.id)