GAZA (Arrahmah.id) – Pembunuhan dokter senior Palestina Iyad Rantisi, yang baru-baru ini terungkap terjadi pada November setelah dia ditahan oleh pasukan ‘Israel’, diperkirakan telah memicu kemarahan.
Namun pembunuhan terhadap dokter yang ditahan hanyalah salah satu dari berbagai komponen serangan sistematis ‘Israel’ terhadap sektor kesehatan di Jalur Gaza yang terkepung.
Dr. Iyad Rantisi terbunuh di Penjara Shikma, enam hari setelah diculik dari Jalur Gaza di sebuah pos pemeriksaan yang dia coba lewati, mencoba melarikan diri ke selatan untuk menghindari kampanye pemboman intensif ‘Israel’.
Ditahan tanpa dakwaan, dia dipindahkan ke penjara ‘Israel’ yang terkenal dengan fasilitas interogasi Shin Bet.
Meskipun penyebab spesifik kematiannya belum terungkap, ada asumsi bahwa ia kemungkinan besar disiksa hingga meninggal.
Dr. Rantisi adalah direktur bagian perawatan wanita di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia, Gaza utara, dia baru berusia 53 tahun.
Adnan Al-Bursh, seorang dokter dan ahli bedah Palestina terkemuka lainnya, juga diculik dari Gaza dan kemudian disiksa sampai mati saat berada dalam tahanan ‘Israel’.
Dia pernah memimpin departemen bedah ortopedi sebagai kepala di Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza.
Karena kedua pembunuhan dokter Palestina ini terjadi tahun lalu, namun baru terkonfirmasi baru-baru ini, dikhawatirkan banyak dokter dan petugas kesehatan lain yang diculik dari Gaza juga mengalami nasib yang sama.
Dipercaya bahwa setidaknya 58 tahanan Palestina telah terbunuh di fasilitas penjara ‘Israel’ sejak dimulainya perang di Gaza pada bulan Oktober, namun hanya 18 yang teridentifikasi.
Ketika bicara mengenai penargetan sektor kesehatan di Gaza, kasusnya sangat jelas. Menurut Doctors Without Borders, 493 petugas layanan kesehatan dalam tujuh bulan pertama perang saja, sementara fasilitas dan karyawan mereka sendiri telah mengalami puluhan serangan kekerasan.
Hanya beberapa pekan usai perang, setelah menteri pertahanan ‘Israel’, Yoav Gallant, memerintahkan pasukannya untuk mematikan seluruh bantuan, listrik, air dan bahan bakar, banyak rumah sakit di Gaza mulai ditutup karena kekurangan bahan bakar.
Pada akhir Mei 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komite Penyelamatan Internasional melaporkan bahwa hanya sepertiga rumah sakit di Gaza yang mempertahankan kapasitas operasional sebagian, sisanya ditutup atau hancur total.
Sebelumnya, di Gaza utara tidak memiliki satu pun rumah sakit yang beroperasi pada Desember, menurut WHO.
‘Israel’ juga menjadikan Rumah Sakit Al-Shifa sebagai fokus tahap pertama operasi daratnya di Jalur Gaza, dan menerima dukungan AS dalam kebohongannya mengenai kompleks medis terbesar di wilayah pantai yang terkepung itu sebagai basis Hamas.
‘Israel’ melakukan berbagai pembantaian terhadap petugas kesehatan, pasien dan pengungsi yang berlindung di Rumah Sakit Al-Shifa, dengan invasi terakhir ke kompleks tersebut menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan meninggalkan kuburan massal berisi 300 mayat yang dikuburkan secara kasar yang ditemukan pada April.
Setelah menghancurkan Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, militer ‘Israel’ mulai mengincar Khan Yunis pada Desember dan menjadikan Rumah Sakit Nasser sebagai pusat kampanyenya, di daerah yang mereka klaim sebagai “daerah sebenarnya yang menjadi Markas Besar Hamas”.
Dapat diduga bahwa tuduhan mengenai Rumah Sakit Nasser, yang juga merupakan salah satu kompleks medis terbesar di Gaza, sepenuhnya salah dan ketika tentara pendudukan ‘Israel’ mundur, mereka meninggalkan kuburan massal lain yang berisi lebih dari 320 jenazah.
Setidaknya 200 petugas kesehatan telah ditahan dari Gaza selama perang tersebut, yang merupakan perang paling mematikan bagi para dokter dalam sejarah. Kisah-kisah horor tentang penyiksaan, pembunuhan, dan luka-luka yang menimpa para dokter di Gaza sepertinya tidak pernah ada habisnya.
Sektor layanan kesehatan di wilayah yang terkepung ini, hampir secara keseluruhan, telah runtuh, dan pekerjaan perawat serta dokter terus berlanjut dalam kondisi yang hampir mustahil. (zarahamala/arrahmah.id)