Fairuz Sidhwa, seorang dokter bedah Amerika, tidak asing dengan zona perang dan bencana. Dia pernah menjadi relawan di Ukraina, Haiti, dan Zimbabwe. Namun, situasi yang dia alami di Gaza, menurutnya, adalah yang paling sulit.
Dilaporkan oleh majalah +972 melalui artikel Michele Fieldson, ahli bedah trauma dan perawatan intensif ini tiba di Gaza dari California sebagai relawan medis di RS Nasser. Saat itu, rumah sakit tersebut diserang langsung oleh ‘Israel’. Militer ‘Israel’ mengklaim menargetkan Ismail Barhoum, anggota terkemuka Biro Politik Hamas, yang sedang dirawat karena luka dari serangan sebelumnya.
Tapi, serangan itu justru menewaskan pasien Fairuz, seorang remaja 16 tahun bernama Ibrahim. “Saya tidak pernah menyangka pasien bisa tewas di ranjang rumah sakit. Jika saya tidak dipindahkan ke ICU, mungkin saya juga tewas di samping Ibrahim,” katanya.
130 Pasien dalam 6 Jam
Fairuz pertama kali bertemu dengan penulis pada Oktober lalu, ketika dia dan sekitar 100 tenaga medis Amerika mengirim surat terbuka kepada Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris. Mereka mendesak diakhirinya perang dan penghentian pengiriman senjata AS ke ‘Israel’.
Setelah kembali ke AS, Fairuz aktif dalam wawancara dan seminar sebelum memutuskan kembali ke Gaza pada Maret untuk tugas relawan kedua di RS Nasser, Khan Yunis. Meski kondisi sangat sulit sejak gencatan senjata dilanggar ‘Israel’, Fairuz menyebut pengalaman pertamanya lebih buruk.
“Waktu itu, kami tiba di RS Eropa saat pertempuran Khan Yunis berlangsung. Tidak ada satu pun momen tanpa serangan,” kenangnya. Berbeda dengan RS Nasser sekarang, RS Eropa kala itu dipenuhi pengungsi. “Sulit bekerja karena para wanita memotong sayur dan memasak di wastafel ICU,” ujarnya.
Fairuz, yang tidak memiliki hubungan personal dengan Palestina dan hanya tahu sedikit bahasa Arab dan Ibrani, memilih kembali ke Gaza meski tahu gencatan senjata tidak akan lama. Kali ini, ‘Israel’ melancarkan “Pembantaian Ramadhan”, menyerang 100 lokasi sekaligus saat sahur dan menewaskan lebih dari 400 warga, termasuk 174 anak.
“Saat serangan dimulai, pintu apartemen kami terbentur lemari. Itu yang membangunkan saya,” cerita Fairuz. Dia dan tim menangani 130 pasien dalam 6 jam. “Saya melakukan 6 operasi segera dan 3 lagi sepanjang hari, separuhnya untuk anak kecil. Jumlah trauma anak yang saya tangani semalam itu lebih banyak daripada setahun di AS.”
Dia membandingkannya dengan ledakan Maraton Boston 2013, di mana pusat trauma kota hanya menangani 4.000 pasien—lebih sedikit daripada yang mereka tangani di RS Nasser pada 18 Maret.
Zona Khusus Kematian Anak
Meski insiden itu besar dalam hal korban massal, namun bukan yang terburuk. Dokter di RS Nasser pernah melakukan 100 operasi sehari—melebihi rumah sakit mana pun di dunia—dan itu berlangsung berbulan-bulan.
Fairuz menjelaskan sistem triase: hijau untuk luka ringan, kuning untuk kondisi kritis, merah untuk yang butuh penanganan segera, dan hitam untuk yang langsung ke kamar mayat. Namun, anak-anak tidak diberi label hitam—mereka langsung dibawa ke kamar mayat atau zona khusus untuk sekarat, didampingi keluarga yang berdoa.
Fairuz selalu mengingatkan calon relawan:
“Ini tempat paling brutal yang pernah saya kunjungi. Mungkin yang terganas di bumi dalam 60 tahun terakhir. Kalian harus pahami: ‘Israel’ bisa membunuh kalian tanpa konsekuensi, dan pemerintah kalian tidak akan berbuat apa pun.”
Suatu kali, seorang staf Kedubes AS di ‘Israel’ menghubunginya setelah melihat kicauannya tentang serangan RS Nasser. Fairuz bertanya, “Bisakah Anda minta ‘Israel’ berhenti mengebom RS Nasser?” Jawabnya, “Anda tahu, itu bukan peran kami.”
“Yang menyakitkan bukan penderitaannya, tapi tanggung jawab moral yang saya pikul. Ini bukan serangan ‘Israel’ ke Gaza, ini serangan Amerika-‘Israel’,” katanya. “Apakah uang pajak saya yang membiayai pecahan peluru di kepala gadis ini, atau uang tetangga saya?”
Namun, menyembuhkan luka anak-anak Palestina disebutnya “pengisi ulang baterai moral”. Dia menduga kehadirannya menjadi pencegah, semacam tameng: “Mungkin jika saya tidak di sini, ‘Israel’ akan gunakan bom 2.000 pon. Mereka bisa hancurkan seluruh rumah sakit, tapi membunuh warga asing akan menjadi bencana bagi mereka.” (zarahamala/arrahmah.id)