JAKARTA (Arrahmah.com) – Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah dalam waktu dekat, akan melakukan autosi terhadap jenazah Siyono (39), korban kezaliman Densus 88. Meski demikan demi alasan keamanan, Pemuda Muhammadiyah enggan menyebutkan tanggal pasti autopsi tersebut.
“Muhammadiyah telah menunjuk enam dokter ahli forensik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah untuk melakukan autopsi,” kata Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak saat konferensi pers Mencari Keadilan untuk Suratmi di Jakarta, Jumat (1/4/2016), dikutip dari Republika.
Awalnya, autopsi akan dilakukan Rabu (30/3). Namun karena alasan teknis, autopsi tersebut pun ditunda. Autopsi dilakukan atas permintaan keluarga korban, terutama istri almarhum Siyono, Suratmi, karena PP Muhammadiyah sudah menerima surat kuasa darinya.
Pemuda Muhammadiyah pun kerap berulangkali mempertanyakan keseriusan Suratmi perihal autopsi tersebut, terutama berkaitan dengan kuasa yang ia berikan pada Muhammadiyah. Suratmi sendiri percaya bahwa Muhammadiyah dan ormas serta lembaga lain yang terkait, mampu mendampinginya mencari keadilan atas meninggalnya Siyono.
Rencana autopsi jenazah Siyono sempat batal karena mendapatkan penolakan warga. Kepala Desa (Kades) Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jateng Djoko Widoyo mengklaim bahwa warga menolak autopsi tersebut dilakukan. Jika keluarga Suratmi tetap nekat mengautopsi, kepala desa meminta mereka untuk angkat kaki dari kediamannya.
Kapolri instruksiakan Propam
Terkait, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengaku sudah menginstruksikan Divisi Profesi dan Pengamanan untuk menyelidiki soal tewasnya terduga teroris Siyono.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menganggap ada pelanggaran HAM dalam kematian Siyono.
“Saya sudah minta Propam periksa. Mungkin bisa koordinasi dengan Kontras di mana yang melanggar HAM itu,” ujar Badrodin di Jakarta, Senin (28/3), lansir kompas.
Badrodin enggan langsung menyebut adanya pelanggaran hukum dan HAM dalam kematian Siyono sebelum penyelidikan Propam selesai.
Menurut dia, bisa jadi memang ada pelanggaran di sana, namun belum bisa ditarik kesimpulan dengan cepat.
“Bisa jadi, tapi apakah itu pelanggaran hukum soal dibungkam. Kecuali dibungkam, mulut dijahit, itu melanggar hukum,” kata dia.
(azm/arrahmah.com)