Subuh ini sangat dingin, suhunya mencapai dua derajat. Sedingin apapun cuacanya, shalat subuh berjamaah tetap kami laksanakan di masjid rumah sakit lapangan Salma. Masjid rumah sakit ini tentu tidak seperti masjid rumah sakit pada umumnya. Ia hanya sebuah kamar tamu vila yang berukuran 4 kali 5 yang kemudian disulap menjadi masjid. Sebagian ikhwan di sini ada yang mengusap khuf, ada juga yang membasuh kakinya.
Shalat subuh pertama kami di bumi Syam ini terasa begitu khusyu’. Ustadz Abu Abdillah yang menjadi imam subuh saat itu memang memiliki suara emas. Orang-orang Suriah pun memuji suara beliau.
Memang ada beberapa perbedaan fikih di sini, termasuk dalam shalat. Namun perbedaan-perbedaan-perbedaan ini tidak membuat para pejuang saling bermusuhan. Justru keakraban antar mereka semakin hangat, ini yang kami saksikan. Sopan santun penduduk Suriah, bukan sekedar basa-basi di awal perkenalan, namun itu sudah menjadi budaya bagi mereka.
Selepas shalat subuh sebagian ada yang berbaring di atas springbad, untuk menghangatkan badan. Sebagian lain ‘terpaksa’ melanjutkan tidur, hal ini bisa dimaklumi selain cuacanya sangat dingin yang menghalangi banyak aktifitas, juga karena sebagian ikhwan berjaga beberapa jam di malam hari.
Ada hal yang membuat kami merasa sangat dihormati. Di sebuah ruangan dengan kami ada seorang dokter spesialis bedah dari Yaman. Dokter yang memperkenalkan diri kepada kami dengan nama Abu Abdillah -mirip panggilan untuk Syaikh Usamah- ini, di pagi hari memasak sarapan untuk kami. Setelah matang, ia memanggil kami untuk makan bersama. Tidak ada kecanggungan apalagi keangkuhan saat menghidangkan makan untuk kami. Jika ia tuan rumah mungkin bisa dimaklumi, namun ia juga tamu seperti kami. Ini salah satu yang membuat ia mengagumi laki-laki yang tinggi jangkung ini.
Ia tiba di rumah sakit seminggu sebelum kedatangan kami -team HASI ke-6-. Penampilannya yang kalem membuat saya tertarik untuk menanyakan banyak hal kepada beliau. “Apakah Kedatangan Anda ke Suriah untuk menghabiskan waktu libur?” tanya saya.
“Bisa dibilang begitu. Tetapi lebih dari itu, untuk membantu umat Islam,” jawabnya pendek. Sebenarnya Saya merasa sungkan menanyakan banyak hal kepada bapak empat anak ini. Tetapi pembawaannya yang simpatik membuat saya tidak tahan untuk banyak bertanya.
“Saya tahu tentang musibah di Suriah lewat berita di televisi, koran, dan media on line,” terangnya saat saya menanyakan bagaimana ia bisa sampai di sini. “Setelah menyaksikan apa yang terjadi di Suriah, saya berazam untuk datang ke Suriah. Tujuan saya ke sini hanya satu, yaitu membantu saudara-saudara saya yang terdzalimi,” lanjut dokter yang berusia 42 tahun ini.
“Terus, siapa yang Anda kenal di Suriah?” tanya saya lebih dalam. “Awalnya Saya tidak kenal siapa-siapa. Saya hanya modal tekad yang kuat untuk membantu saudara-saudara kita di Suriah, itu saja modal saya berangkat ke Suriah. Saya hanya bertawakkal kepada Allah, bukankah Allah berfirman, -Artinya- ‘barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.’“, jawab dokter yang menghabiskan masa kuliahnya selama sembilan tahun di Rusia ini.
Selain bahasa Arab, ia juga sangat fasih berbahasa Rusia. Pasalnya, bahasa Rusia adalah bahasa pengantar pada saat kuliah, juga bahasa pergaulan di Rusia sana.
Di sini kami banyak belajar dari keikhlasan, kesungguhan, kesederhanaan dan akhlak karimah lainnya dari para pejuang Suriah maupun relawan dari berbagai negara. Dokter tersebut melanjutkan, “Saya yakin, kalau kita bersungguh-sungguh untuk membela orang dan berbuat kebaikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menunjukinya. Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan menunjuki jalan Kami.”
Hal unik lain yang kami jumpai di bumi ribath ini, banyak diantara ikhwah yang memiliki banyak hafalan ayat. Dan jika ayat ataupun hadits dibacakan, mereka akan mendengarkannya dengan seksama. Tidak jarang, kalau mereka berbicara, akan dikuatkan dengan dalil, entah hadits ataupun ayat, terutama pejuang yang terpelajar. Ada beberapa pejuang di sini yang menempuh pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Namun rata-rata tidak sempat menyelesaikan, baik karena kendala keamanan maupun biaya.
Dokter Abu Abdillah bisa dianggap tenaga utama di rumah sakit Lapangan Jabal Akrod ini. Spesialisnya sangat cocok dengan sakit yang sering dialami oleh para pejuang maupun penduduk sipil Suriah.
“Saya sampaikan ke keluarga, bahwa saya jalan-jalan ke Turki dan sekitarnya. Kebetulan rumah sakit lagi libur, jadi tidak begitu mengalami kesulitan birokrasi,” ujar dokter spesialis yang mengabdi di tiga rumah sakit ini, satu rumah sakit negeri dan dua lainnya rumah sakit swasta khusus bedah.
“Karena Saya tidak kenal siapa-siapa di Suriah, Saya sempat menginap seminggu di Istanbul, untuk mencari jalan masuk ke Suriah. Saya pun memutuskan untuk berangkat dari Istanbul menuju Hatay, dan saat tiba di Hatay -salah satu kota besar di Turki-, saya belum mengenal siapapun yang bisa mengantarkan saya ke Suriah. Kemudian saya pergi ke Antakya, dengan harapan ada orang yang bisa mengantarkan saya ke kamp pengungsi atau ke tempat yang membutuhkan tenaga saya,” tutur pria yang sering begadang menunggu pasien pada malam hari ini.
Jarak dari Hatay hingga ke Antakya sekitar 40 menit perjalanan mobil. Antakya merupakan kawasan Turki yang langsung berbatasan dengan Suriah. Di kota ini, terdapat banyak pengungsi Suriah, dan juga orang-orang Suriah yang telah lama tinggal di sini sebelum revolusi Suriah. Wajah-wajah Suriah agak mudah dibedakan dengan orang-orang Turki. Pria Suriah lebih suka memelihara jenggot atau berewokannya, sedangkan orang-orang Turki lebih senang mencukur habis jenggotnya. Jika ada gadis atau wanita muda di Antakya memakai kerudung, bisa dipastikan ia gadis Suriah. Sebab, remaja Turki senang buka-bukaan dan transparan dalam berpakaian. Hanya wanita tua, sekitar empat puluh tahun ke atas yang cenderung memakai kerudung. Ini tanda yang mudah dihafal oleh pendatang baru seperti kami team ke-6 HASI.
Konon, kata Wahid, salah seorang pejuang yang menjadi guide kami, jika kita hidup lama di Antakya, maka kita akan mudah membedakan orang-orang Suriah lewat wajahnya. Perbedaan bahasa, jelas merupakan sesuatu yang sangat gampang untuk membedakan antara warga Turki atau Suriah.
“Di Hatay dan Antakya saya menghabiskan waktu sekitar seminggu untuk mencari jalan masuk dan kenalan yang bisa mengantarkan masuk ke Suriah. Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mempertemukan saya dengan dua mujahid dari Yaman yaitu Abu Utsman dan Abu Hamzah. Mereka berdualah yang mengantar sekaligus mengawal saya hingga sampai di Jabal Akrod ini,” kenang dokter yang membekali dirinya hanya dengan beberapa lembar pakaian ini.
Dalam suatu kunjungan ke beberapa keluarga yang tinggal di sekitar Salma, saya bertanya kepadanya, “Dok, sampai kapan Anda akan berada di Suriah?” Sambil menatap aliran sungai yang jernih di desa tersebut ia menjawab, “Sampai revolusi ini berakhir.” Jawabannya memang datar, namun terasa sangat mantap dan kokoh. Sekokoh batu karang yang didudukinya di pinggir sungai itu.
“Sudah puluhan tahun Saya bekerja untuk dunia, saatnya untuk menabung demi kehidupan di akhirat kelak,” jawabnya. “Adapun rumah sakit, sudah saya tinggalkan. Sedangkan keluarga saya, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjaga mereka,” katanya seraya menatap saya. Sungguh ini adalah jawaban yang lahir dari kekuatan iman yang sangat mendalam, keyakinan terhadap takdir dan kehidupan akhirat yang begitu kokoh.
“Semoga Allah memberkahi jihadmu, harta dan keluargamu, wahai dokter,” kata saya kepadanya. “Aaamiin. Dan begitu juga saudara,” timpalnya.
Oleh: Abu Hafidz
Tim ke-6 Relawan HASI untuk Suriah
(siraaj/arrahmah.com)