Berdoa adalah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, seorang yang berdoa, seyogyanya, memahami betul kepada SIAPA dia memohon? Tuhan yang dia maksud itu siapa? Harus jelas siapa nama-Nya dan bagaimana cara menyebut nama-Nya? Jangan seenaknya memanggil nama Tuhan! Jangan memanggil Tuhan Yang Maha Esa itu, misalnya, seperti memanggil temannya, “Hai Bro!”, “Hai Lai!”, “Hai Boss!”
Menurut ajaran Islam, tidak beradab jika manusia mencipta sendiri nama dan panggilan Tuhan! KarenaTuhan itu sendiri sudah mengenalkan nama-Nya kepada manusia, melalui utusan-Nya.
Bagi Muslim, yang sudah berikrar, bersumpah, bersedia mengakui Muhammad saw sebagai utusan Allah, maka akan memahami dan mengakui, bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu telah mengenalkan dirinya, dengan nama Allah: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (Tuhan) selain Aku (Allah), maka abdikan dirimu kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah shalat untuk mengingati Aku (Allah)!” (QS Thaha (20):14).
Ini berbeda dengan ajaran Kristen yang membolehkan pemeluknya memanggil nama Tuhan, dengan berbagai sebutan! Seorang pendeta Kristen, Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., dalam bukunya, berjudul “Allah” dalam Kekristenan, Apakah Salah, (2009), menyerukan kaum Kristen meninggalkan sebutan Allah untuk nama Tuhan mereka: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme. (hal. 43).
Di Negara-negara Barat, Tuhan Kristen disebut ‘God’ atau ‘Lord’. Itu sebutan; bukan nama Tuhan! Di Bali, kaum Hindu memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media Hindu, edisi November 2011).
Sementara itu, kaum Yahudi sendiri masih terus berdebat, bagaimana memanggil Tuhan mereka. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000). Harold Bloom, menulis, bahwa “YHWH” adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).
Karena itulah, seorang pendeta Kristen, bernama Pdt. Parhusip menulis, bahwa kaum Kristen boleh menyebut nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hati mereka. Ia menegaskan dalam bukunya yang berjudul “Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh”: “Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.”
Jadi, tentang “NAMA TUHAN” saja, masing-masing agama punya ajaran yang berbeda. Bagi seorang Muslim, soal NAMA TUHAN menjadi ajaran pokok, sebab nama Tuhan berasal dari wahyu (al-Quran), bukan produk budaya atau hasil konsensus manusia. Umat Islam tidak pernah menyelenggarakan muktamar internasional, yang menyepakati, bahwa nama Tuhan mereka adalah Allah. Karena itu, di mana pun, dan kapan pun, umat Islam tidak berbeda pendapat soal nama Tuhan ini.
“Laa-ikraaha fid-diin”, tidak ada paksaan untuk menganut agama Islam. Tidak ada paksaan untuk menjadi Muslim. Tapi, bagi yang sudah dengan sungguh-sungguh mengaku dirinya Muslim; mengakui bahwa Tuhannya Allah, dan Muhammad saw adalah utusan-Nya; mengakui dari lubuk hati yang paling dalam; pasti dalam hatinya akan menolak untuk berikrar: “Tidak ada Tuhan kecuali Fir’aun!” Pasti, seorang Muslim, akan ikhlas menerima tuntunan Rasulullah saw, Muhammad saw, dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebab, Muhammad saw bukan manusia biasa; beliau adalah utusan Allah SWT; beliau lebih dari sekedar seorang utusan Presiden negara mana pun! Beliau (saw) diutus oleh Allah SWT untuk mengenalkan, siapa Tuhan yang sebenarnya, bagaimana memanggil nama-Nya, bagaimana adab atau tata cara berdoa dan beribadah yang benar kepada-Nya!
Melalui Nabi Muhammad saw (utusan Allah yang terakhir) itu pula, umat Islam diberitahukan, bahwa Allah SWT sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Sampai-sampai, amal ibadah yang ditujukan untuk mencari pujian dari manusia, dan bukannya untuk mencari pahala dan keridhoan Allah SWT, dikatakan sebagai dosa syirik kecil (riya’), yang merusak nilai amal. Dalam Islam, syirik adalah dosa terbesar, karena merupakan tindakan tidak beradab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang Presiden menghendaki menterinya hanya bersikap loyal pada dirinya. Wajar, Presiden murka, jika menterinya juga loyal kepada Presiden negara lain. Karena itulah, syirik dalam al-Quran disebut sebagai kezaliman yang sangat besar. “Innasy-syirka ladzulmun ‘adziimun”. (QS Luqman (31):13). Allah sangat murka jika manusia juga menuhankan “tuhan-tuhan” lain yang tidak patut dijadikan Tuhan. Setiap shalat, seorang Muslim senantiasa mengingat dan mendoakan Nabi Ibrahim a.s. yang dalam al-Quran bersikap tegas dan berani mengingatkan ayah dan kaumnya karena mereka menyembah patung; mereka berlaku syirik. Kata Ibrahim a.s. “Inni araaka wa-qaumaka fii-dhalaalin mubiin”. (QS al-An’am (6):74).
Syirik adalah bentuk pengkhianatan loyalitas manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dosa syirik tak terampuni oleh Allah SWT, jika tidak bertobat. Karena itulah, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya, agar benar-benar umatnya berhati-hati terhadap dosa syirik, bahkan syirik kecil atau syirik tersembunyi (khafiy). Beliau ajarkan sebuah doa: “Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu, sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku meminta perlindungan kepada Engkau dari tindakan menyekutukan-Mu dengan sesuatu dan aku tidak tahu.” (Allahumma inni a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana a’lamu; wa a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana laa a’lamu).
Dalam buku berjudul Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafii karya Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais (diterjemahkan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Ali Musthafa Ya’qub) disebutkan sejumlah definisi syirik menurut sejumlah ulama mazhab Syafii. Menurut al-Raghib al-Asfahani, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua, adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.” Al-allamah Ali as-Suwaidi al-Syafii berkata: “Ketahuilah, bahwa syirik itu adalah terjadi di Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyyah. Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Allah.”
Pak Haji Jokowi dan Pak Haji Yusuf Kalla – yang juga ketua Dewan Masjid Indonesia – tentunya mengimani kebenaran ayat al-Quran, yang artinya: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (Terjemah QS as-Shaff (61): 6). Juga, tentu, Pak Haji berdua yakin akan kebenaran ayat al-Quran ini: “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).
Adab ber-Doa dalam Islam
Karena begitu penting dan sentralnya posisi DOA dalam ajaran Islam, Rasulullah saw — Sang Utusan Tuhan Yang Maha Esa untuk semua umat manusia – menjelaskan bahwa doa adalah “otaknya ibadah” (mukkhul ibadah). Doa itu salah satu ibadah penting dalam Islam. Karena itu, Allah cinta pada orang yang berdoa kepada-Nya. “Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, pasti aku kabulkan doamu. Sesungguhnya, orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku, akan masuk Neraka Jahannam, dalam keadaan hina.” (QS al-Mu’min (40):60). Berikut ini, rangkuman singkat, dari adab berdoa dalam Islam yang disarikan KH Luthfi Bashori, seorang ulama NU Jawa Timur, dari Kitab Abwabul Faraj, karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani): (1) Carilah waktu yang mulia, seperti di hari Arafah, bulan Ramadhan, hari Jumat dan waktu Sahur di akhir malam, (2) Carilah kondisi yang mulia, turunnya hujan, ketika iqamat untuk shalat fardhu, ketika selesai menunaikan shalat fardhu, waktu di antara adzan dan iqamat, dan ketika sedang bersujud. Intinya, cari waktu dan keadaan yang baik, seperti di waktu hatinya sedang bersih, ikhlas dan hatinya tidak kotor. (3) Menghadap ke arah Qiblat dan tidak melihat ke atas langit (4) Jika sendiri, hendaknya ia berdoa perlahan-lahan dan tidak mengeraskan suaranya, (5) Hendaknya tidak berdoa secara bersajak, (6) Hendaknya menundukkan hatinya dengan khusyu’ penuh harap dan takut. “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-A’raf: 55), (7) Yakinlah doanya akan dikabulkan dan hendaknya berdoa dengan sungguh-sungguh. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Berdoalah kalian kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa kalian akan dikabulkan oleh Allah. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa siapapun yang hatinya lalai dan tidak peduli.” (8) Hendaknya bersungguh-sungguh ketika berdoa dan mengulangi doanya sebanyak tiga kali dan hendaknya minta dipercepat pengabulannya, (9) Hendaknya mengawali doanya dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi SAW serta mengakhiri doanya dengan shalawat kepada Rasulullah saw dan kalimat Alhamdulillah, (10) Hendaknya ia selalu bertaubat, mengembalikan hak-hak orang lain yang telah dizaliminya dan hendaknya ia bersungguh-sungguh berharap penuh agar dikabulkan doanya, karena harapan yang besar menyebabkan terkabulnya doa. (http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=584).
Doa untuk bangsa
Umat Islam sangatlah mencintai negerinya. Itu bukan sekedar tuntunan konstitusi, tetapi itu panggilan jiwa, karena negeri ini adalah amanah untuk dimakmurkan. Karena itu, Muslim akan lahir batin berusaha dan berdoa agar negerinya menjadi negeri yang adil, makmur, sejahtera dalam naungan ridho Ilahi. Sebagai ajaran yang suci, ibadah yang agung, agar doa diterima Allah, maka doa sepatutnya dilakukan sesuai adab berdoa, sebagaimana diajarkan oleh Sang Nabi utusan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Doa ada tata caranya; bukan hanya upacara bendera yang ada tata caranya. Jangan sampai dalam doa ada hal-hal berbau kemusyrikan. Jangan sampai doa tidak dilandasi keyakinan dan keikhlasan dalam ibadah.
Jangan sampai doa hanya dijadikan sebuah pertunjukan semata. Jangan sampai merasa lebih hebat dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga berani-berani membuat tata cara doa yang menyalahi tuntunan-Nya. Khawatir, bukan rahmat dan ampunan yang didapat, tetapi justru azab dan murka-Nya. Doa adalah ajaran Allah yang Maha Agung. Jangan sampai pemimpin bangsa memberi teladan dalam berdoa yang keliru, yang menyalahi ajaran Nabi yang mulia.
Kerukunan antar-umat beragama harus tetap terjaga, tetapi tanpa mengorbankan iman dan ajaran agama masing-masing. Para ulama yang berkumpul dalam forum Bahtsul Masa’il al-Diniyah al-Waqiiyyah saat Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri pernah membahas tentang masalah Doa Bersama antar Umat Beragama. Disebutkan, bahwa tidak boleh berdoa bersama antar berbagai agama, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Mengutip Kitab Hasyiyatul Jamal juz II, hlm. 119, dikatakan: “Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan firman Allah SWT: Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (al-Ra’du:14).” (Sumber: buku Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007).
Bangsa Indonesia kini menghadapi masalah yang sangat berat dalam berbagai bidang: kerusakan dan kegersangan jiwa, belitan budaya malas dan suka jalan pintas, keserakahan terhadap dunia, kemunafikan, kerusakan lingkungan, semakin menipisnya sumber daya alam, kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin parah, dan sebagainya. Maka, kini diperlukan usaha yang komprehensif untuk mengatasi masalah bangsa; bukan hanya usaha parsial berdasarkan akal dan pencapaian inderawi semata. Kaum Muslim telah diberi “senjata” oleh Allah dalam mengatasi masalah mereka, yaitu DOA. Kata Nabi saw, doa adalah senjata orang mukmin (shilaahul mu’min).
Karena itu, sebagai rakyat, kita berharap dan menyampaikan sedikit taushiyah, bahwa sebagai Muslim yang sedang diberi amanah untuk memimpin bangsa Muslim terbesar di dunia ini, Pak Haji Jokowi dan Pak Haji Jusuf Kalla, semoga berkenan menerima tuntunan Rasulullah saw dengan sepenuh hati; senantiasa berusaha keras dan berdoa dalam memimpin bangsa, dengan tata cara sebagimana yang diajarkan oleh Sang Rasul saw dan diuraikan oleh para ulama yang sholeh. “Allahumma arinal-haqqa haqqan war-zuqnat-tibaa-‘an, wa-arinal baathila baathilan, warzuqnaj-tinaaban.” Wallahu a’lam bish-shawab. (18 Oktober 2014). (arrahmah.com)