(Arrahmah.com) – Mi’raj nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam dari Baitul Maqdis di kota Al-Quds, Palestina menuju langit ketujuh dan Sidratul Muntaha merupakan peristiwa sejarah yang sangat agung. Bukan saja bagi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, namun juga bagi seluruh umatnya. Pada peristiwa itulah Allah Ta’ala mewahyukan perintah shalat wajib lima waktu dalam sehari-semalam kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Mi’raj membawa “oleh-oleh” perintah syariat yang sangat agung, yaitu shalat lima waktu dalam sehari-semalam. Shalat wajib diwahyukan secara langsung oleh Allah Ta’ala kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam tanpa melalui perantaraan malaikat Jibril ‘alaihis salam. Waktu dan tempat menerimanya pun sangat istimewa karena nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam langsung menghadap Allah Ta’ala di Sidratul Muntaha.
Shalat wajib lima waktu adalah rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Menegakkan shalat wajib adalah perkara yang membedakan antara seorang muslim dan seorang kafir. Seorang muslim adalah orang yang menegakkan shalat. Orang yang tidak menegakkan shalat nyaris tidak ada bedanya dengan orang kafir dan orang musyrik, sebab orang kafir dan orang musyrik juga tidak melaksanakan shalat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih:
عَنِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ»
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Batas antara seseorang dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82, Abu Daud no. 4678, Tirmidzi no. 2620, Ibnu Majah no. 1078 dan Ahmad no. 15183)
Begitu pentingnya shalat wajib sehingga Al-Qur’an dan as-sunnah berulang-ulang memerintahkan kaum muslimin untuk menjaganya. Bahkan para nabi dan rasul pun sampai berdoa kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai kemampuan menjaga shalat wajib. Para nabi dan rasul berdoa untuk diri mereka sendiri dan anak keturunan mereka. Sebagaimana doa yang dibaca oleh nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan anak keturunanku orang yang menegakkan shalat. Wahai Rabb kami, terimalah doa kami!” (QS. Ibrahim [14]: 40)
Menegakkan shalat bukanlah mengerjakan shalat secara asal-asalan. Menegakkan shalat adalah menunaikan shalat wajib dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adabnya, menunaikannya di awal waktu, secara berjama’ah di masjid, dengan khusyu’ dan thuma’ninah. Itulah tingkatan shalat yang paling tinggi dan diperintahkan oleh Al-Qur’an dan as-sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab. (muhibalmajdi/arrahmah.com)