LONDON (Arrahmah.com) – Tiga saudara kandung dari London telah dihapus dari daftar penerbangan karena dicurigai sebagai anggota ISIS hanya karena memiliki telepon yang yang menampilkan bahasa Arab, lansir 5 Pillars UK (24/8/2016).
Sakina Dharas (24), Maryam (19), dan Ali (21), telah dihapus dari daftar penerbangan Easy Jet sebelum lepas landas pada 17 Agustus setelah para penumpang menduga mereka adalah anggota ISIS.
Mereka diinterogasi oleh polisi bersenjata dan agen M15 sebelum diizinkan kembali untuk melakukan penerbangan menuju Naples di Bandara Stansted London.
Pada Senin (22/8/2016), Sakina memposting pengalaman buruknya itu di Facebook. Postingan tersebut diterbitkan sebagai sebuah opini di The Independent, dan menyebabkan wawancara di RT Inggris dan Channel 4.
Opini yang dimuat dalam The Independent itu berbunyi:
“Saya tengah menunggu saudara saya, lebih tepatnya dari kami berdua, untuk berbagi kepada dunia tentang apa yang baru-baru ini terjadi pada perjalanan kami ke Eropa. Namun, ketika saya menunggu, saya menyadari bahwa saya harus menceritakan sendiri kisah saya ini. Saya ingin berteriak, bercerita, dan menumpahkan beberapa hal yang sangat ingin saya ceritakan. Hal yang paling saya inginkan setelah membagi kisah ini adalah apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama dengan apa yang telah kami alami.
Kisah ini bermula pada pukul 05:00 pagi di London. Saya, saudara perempuan saya, dan adik lelaki saya, naik pesawat, dalam sebuah perjalanan akhir pekan. Kami telah melewati pemeriksaan di bandara, mencari kursi campuran di pintu gerbang, dan baru saja duduk di kursi kami, ketika kemudian tiba-tiba saja seorang pramugari berwajah batu mendekati kami. Dengan satu jari menyebalkannya, dia menyuruh kami untuk mengikutinya.
Adik lelaki saya, yang berpikir bawa pramugari itu hanya menyuruh saya saja, segera bertanya apakah dirinya boleh pergi, yang kemudian langsung dijawab tajam, “Kalian semua ikuti saya.”
Dengan tidak ada informasi lebih lanjut, yang membiarkan kami benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi, akhirnya kami bangun dengan canggung, mengikutinya menuju kokpit, dan berbelok dengan tajam di pintu keluar, tempat ia membawa kami keluar dari pesawat.
“Di sini,” ujarnya kepada kami sambil menunjuk ke bawah, di mana seorang polisi bersenjata dan seorang pria bersetelan gelap sedang berdiri, menunggu kami turun dari pesawat. “Mereka ingin menemui kalian.”
Pada titik ini pikiran saya membeku. Apa yang sedang terjadi?
Kamu mulai menuruni tangga dan, seperti yang kemudian kami lakukan, kami mendapatkan pertanyaan pertama kami. “Apakah kalian berbicara dengan bahasa Inggris?” Pikiran saya tertawa. “Kami hanya bisa berbicara dalam bahasa Inggris, Petugas. Kami lahir dan dibesarkan di Inggris.”
Petugas itu melanjutkan, “Baiklah, kami harus berbicara dengan kalian. Salah seorang penumpang mengatakan bahwa kalian bertiga adalah anggota ISIS.”
Saya bingung. Kami semua tidak percaya.
“Apa?!” seruku.
“Mereka melihat tulisan Arab atau puji-pujian untuk Allah di ponsel Anda,” kami diberi tahu.
Jadi, perdebatan pun dimulai. “Pertama, tulisan itu adalah bagian dari Al-Quran, teks agama kami, bahkan jika kami memilikinya, itu bukan berarti bahwa kami bagian dari ISIS. Terlepas dari itu, kami tidak memiliki apa pun dalam ponsel kami yang terkait dengan Arab pagi ini. Juga, kami adalah seorang India secara etnis, sehingga kami bahkan tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab dalam melakukan percakapan dengan siapa pun.”
Kemudian adik lelaki saya menjelaskan bagaimana kami bertiga menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan korban ISIS. Para petugas dan agen, yang kemudian menjadi agak lebih santai, melanjutkan pertanyaan mereka: mereka ingin tahu pekerjaan kami, nama orangtua kami, alamat rumah dan tempat kerja, semua detail pribadi kami, serta detail dari semua media sosial yang kami miliki.
Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, seorang pria yang terlihat seperti seorang agen M15 (ya, saya juga tidak percaya bisa menulis kata-kata ini) meminta saya untuk berbicara kepadanya dengan paspor saya, termasuk dengan perjalanan-perjalanan yang telah saya lakukan-haji, dan, sayangnya bagi saya, juga Irak.
Dia memberi tahu saya bahwa dia sudah melakukan pemeriksaan penuh sejarah perjalanan saya secepat ia menuduh saya. “Jadi, kenapa kamu mengambil semua rincian ini dari saya?” Saya bertanya. “Oh, pastikan bahwa saya akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang Anda; jika segalanya datang lagi, saya akan berada di sini menunggu Anda kembali.”
Saya tidak bisa menganggap ini serius sama sekali, apalagi seorang pria mencatat informasi saya dengan note book gaya Colombo tahun 1970-an, sementara tanpa ia sadari, kertas catatannya melayang terbawa angin. Interogasi berlangsung sekitar satu jam, termasuk beberapa ocehan dari saya tentang bagaimana saya bekerja untuk NHS, tentang saya yang tidak mungkin bisa menjadi lebih Inggris lagi, dan bahkan hampir bukan merupakan bagian dari budaya lain apalagi organisasi teroris.
Agen M15 dan polisi meminta maaf atas ketidaknyamanan (baca: penghinaan, rasis) dan meyakinkan kami bahwa tindakan tersebut harus mereka lakukan untuk menanggapi ancaman seperti ini. Penumpang yang menuduh kami, kami diberitahu, sangat ketakutan.
Ketika kewarasan kami kelmbali tercuci seperti seember dingin penuh es, saya pergi dengan satu pertanyaan: jika ‘ketakutan’ para penumpang adalah hak untuk menyeret keluarga kami ke ruang interogasi, lalu apa hak-hak saya? Apa hak-hak kami?” (fath/arrahmah.com)