JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid meminta kalangan nahdliyin, khususnya kader Ansor, tidak terpancing melakukan tindakan kekerasan dalam menyikapi isu pembantaian PKI tahun 1965 yang menyudutkan Ansor dan umat Islam.
“Ansor jangan terpancing melakukan kekerasan. Karena inilah sikap yang paling baik menghadapi gempuran dari pihak lain yang dipicu pemberitaan sebuah majalah berita mingguan, soal “Algojo 65″,” tegas Nusron ketika membuka sarasehan kebangsaan bertema “Mengingat Kembali Pemberontakan PKI Tahun 1948 – 1965” yang diselenggarakan PP GP Ansor di Jakarta, Senin malam (15/10/2012) seperti dilansir Suara Islam Online.
Sarasehan tersebut menampilkan pembicara Sejarahwan Taufiq Abdullah, penulis dan pelaku sejarah Salim Said, mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, sesepuh Ansor KH Chalid Mawardi, Wakil Ketua PBNU Asad Said Ali, dan Wakil Komnas HAM.
Lebih lanjut Nusron mengatakan, boleh saja semua pihak melakukan rekonstruksi sejarah masa lalu seperti peristiwa G 30 S PKI, tapi harus komprehensif dan tidak merugikan pihak lain.
“Jangan menampilkan sejarah secara sepenggal-sepenggal dan tidak utuh. Hal itu membuat pihak lain dirugikan, seperti kita Ansor. Jika terus seperti itu, tentu kita akan mengambil langkah-langkah,” tegas Nusron yang juga anggota DPR dari Golkar ini.
Nusron juga setuju dalam kaitan peristiwa ’65 ini tidak perlu lagi meminta maaf pada pihak mana pun, karena semuanya menjadi korban. “Yang perlu melakukan introspeksi untuk menatap masa depan,” katanya.
Berbagai peristiwa berdarah dalam sejarah politik Indonesia seperti Peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965 yang dikaitkan juga dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah peristiwa situasional yang penuh konflik dan dendam. Karena itu, apa pun bisa terjadi dalam kondisi seperti itu.
Jadi dalam melihat peristiwa masa lalu itu, menurut Nusron, harus arif sehingga usulan meminta maaf tidak lagi relevan dan hanya bernunasa politis, yang bukan tidak mungkin justru membuka dendam lama.
Salim Said yang ketika peristiwa G30S/PKI berlangsung telah meliput dari awal berikut operasi militer yang dilakukan TNI AD menegaskan, permintaan maaf dalam kaitan pembunuhan yang terjadi tahun 1965, tidak menyelesaikan masalah.
Menurut dia, hal itu dikarenakan yang menjadi korban juga ulama, kader Ansor dan orang-orang Marhaenis.
“Berhentilah meminta maaf dan mulailah membantu semua korban yang masih ada sambil menunjukkan empati yang tinggi, demi kearifan masa lalu,” tegas Salim Said yang tengah menyelesaikan buku tentang G30S//PKI ini.
Salim menjelaskan, kondisi politik Indonesia pertengahan tahun 1965, penuh intrik, konflik dan dendam. Situasi diperparah karena lambannya Presiden Soekarno menyelesaikan situasi, yaitu tuntutan membubarkan PKI. Hal ini, masih kata dia, mendorong terus terjadinya pembunuhan-pembunuhan.
“Jadi siapa pun yang menang dalam situasi konflik itu, pembunuhan tidak bisa dihindarkan. Termasuk diinternal PKI yang berbeda ideologi di antara mereka,” kata Salim.
Pendapat sama dikemukakan Taufiq Abdullah yang menilai tidak ada urgensi penting meminta maaf dari peristiwa masa lalu, karena yang terjadi adalah situasi diluar jagkauan kita saat ini.
Pemaksaan atas permintaan maaf hanya akan menimbulkan dendam baru. “Sampai kapan bangsa Indonesia terus didera oleh dendam masa silam,” katanya.
Menurut Taufiq, “Kita harus melihat sejarah 1965 dengan arif dan mengambil hikmahnya, bukan dengan memaksakan pihak lain untuk meminta maaf. Ia juga sependapat dengan Salim Said bahwa dalam suasana konflik seperti itu, apapun bisa terjadi.
Soal tidak perlunya meminta maaf juga dikemukakan Chalid Mawardi. Menurut dia, umat Islam terutama ulama dan santri juga banyak yang menjadi korban kebiadaban PKI.
Dia menyindir pemberitaan sebuah majalah mingguan yang mengungkap kembali peristiwa 1965 dari sisi yang menurut umat Islam menyudutkan.
Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo pada edisi 1 Okotober 2012 mengeluarkan laporan dengan cover berjudul “Pengakuan Algojo 1965”. Ansor merasa tersinggung dengan pemberiataan Tempo yang menyebutkan bahwa Pesantren dan Banser NU terlibat dalam pembantaian pengikut PKI. (bilal/arrahmah.com)