Oleh: Apt. Endang Rahayu
(Pembina Parenting Yayasan Al Ihsan Sungsang)
Fenomena mental illness semakin mencengangkan masyarakat. Tidak hanya menimpa orang dewasa, tapi juga anak-anak diusia yang masih sangat belia pun mampu menderita penyakit mental. Beberapa hari lalu, seorang anak SD ditemukan tewas gantung diri di kamarnya sendiri. Pemicunya diduga karena si anak dilarang bermain handphone oleh ibunya. (tribunnews.com, 24/11/2023).
Sontak alasan kematian membuat masyarakat terheran-heran. Perkara gawai bisa menyebabkan kematian. Tentu kita bertanya-tanya, mengapa begitu mudahnya seorang anak belia mengambil keputusan mengakhiri hidupnya. KPAI mencatat selama Januari-November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai angka bunuh diri pada anak. Polanya ada di usia rawan dan di usia yang mengalami perubahan dari SD ke SMP, dan SMP ke SMA. Benarkah penyebab anak bunuh diri hanya perkara gawai yang diambil?
Disorientasi Persepsi pada Anak
Kejadian bunuh diri adalah fenomena gunung es yang hanya nampak dipermukaan. Keputusan bunuh diri bukanlah dibangun dari single faktor tapi multi faktor. Yang perlu kita ketahui, semua perilaku dilakukan seseorang secara sadar, dibangun dari proses berpikir yang panjang, sehingga membentuk sebuah core belief yang tertanam kuat hingga sulit dicabut dan dihilangkan.
Sementara membentuk core belief tidaklah sederhana. Menanamkannya tidaklah seperti memasukkan chip ke tubuh anak sehingga perilaku dan cara berpikirnya bisa kita kontrol. Anak adalah individu yang independen. Setiap diri dipimpin oleh sebuah persepsi dan cara pandang. Cara pandang ini diperoleh dari proses yang dilalui semua orang untuk memaksimalkan potensi alaminya.
Proses itu adalah proses berpikir dengan mengelola informasi dari penginderaan alat indera, kepekaan terhadap kejadian disekitar, dan informasi yang sudah ada sebelumnya (buku, nilai yang diajarkan orang tua, kitab suci, dll). Potensi alami diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala pada seluruh manusia. Allah Subhanahu wata’ala memberikan pada manusia naluri (kecenderungan perasaan), kebutuhan jasmani, dan akal.
Semua potensi itu membentuk manusia yang bisa merasakan sekaligus memilah dan memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan core belief yang diambilnya, dan hal ini dibangun dari proses berpikir tadi.
Dari paparan tersebut, bunuh diri adalah hasil akhir dari proses pembentukan core belief seorang anak tentang nilai dirinya bahwa dia tidak berharga, orang tua tidak menyayanginya, tidak ada tempat yang aman, dirinya memang buruk, kematian terlihat lebih mudah dan sebagainya.
Terbentuknya nilai ini bisa berasal dari penginderaan alat inderanya yang setiap hari mendengar teriakan, ucapan buruk, atau melihat kekerasaan. Bisa juga dari informasi yang ditanamkan orang tuanya, misalnya penyesalan orang tua karena melahirkan si anak, kalimat kebencian, atau kejadian yang dialami anak seperti ditinggalkan oleh orang tuanya, diasingkan atau tidak diacuhkan. Semua itu adalah bahan proses berfikir anak yang akan membentuk core belief negatif tentang nilai dirinya.
Oleh karena itu, kejadian ini tidak lepas dari kondisi keluarga yang semakin memprihatinkan. Fenomena fatherless atau busung ayah sudah menjadi isu umum, bahkan disebutkan berbagai media, Indonesia menempati posisi ke tiga di dunia. Lepas dari benar atau tidak, kita tidak bisa menafikan bahwa busung ayah benar adanya. Anak-anak tumbuh dari para ayah yang tidak hangat, komunikasi kurang, tanggung jawab minim, ada dan tidak adanya sama.
Bahkan lebih buruk, para ayah yang menanamkan luka kekerasan fisik maupun mental. Di sisi lain, karena tanggung jawab penafkahan hilang, ibu mengambil peran itu dan mulai keluar rumah meninggalkan anak di rumah yang diasuh oleh asisten atau bahkan gawai. Belum lagi, lingkungan sekolah yang tidak mendukung.
Kasus perundungan lima tahun terakhir mengalami tren yang luar biasa menanjak. Beberapa kasus bunuh diri juga disebabkan perundungan. Sementara nilai agama tidak tersampaikan, dominasi informasi lain mengalahkan nilai-nilai positif agama berupa, bagaimana Allah Subhanahu wata’ala menyayangi semua hambanya, disetiap kesulitan ada kemudahan, Allah Subhanahu wata’ala menyukai orang yang bersabar dan bersyukur dan sebagainya. Bisa dibayangkan bagaimana nilai diri yang anak bangun dari semua kondisi tersebut.
Islam Membentuk Core Belief Positif
Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhanni dalam Kitab Nidzomul Islam, perilaku seseorang di dalam kehidupan tergantung pada persepsinya, maka, dengan sendirinya tingkah lakunya terkait erat dengan persepsinya dan tidak bisa dipisahkan. Persepsi atau core belief inilah yang penting untuk dirombak dan dibangun ulang.
Caranya adalah dengan membentuk dan menyediakan semua sumber informasi yang sifatnya positif. Anak hanya mengindera kebaikan orang tuanya berupa belaian, sentuhan, pelukan, senyuman, kalimat baik dari ayah dan ibunya. Anak juga melihat keadaan keluarganya yang harmonis, ayah menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga dan menjadi tempat aman untuk anak pulang.
Ibu menjalankan fungsinya sebagai ummu wa rabbatul bait wa madrasatul ula. Ibu bisa jadi tempat anak berkeluh kesah dan menceritakan semua yang dialaminya. Orang tua secara bersama hadir menggantikan posisi gawai yang selama ini menjadi orang tua pengganti ibu dan ayahnya. Anak juga harus bisa mengakses sumber informasi berupa buku-buku, belajar dari ulama dan guru terbaik, dan meminimalkan semua informasi sampah dan tidak berguna terutama dari media sosial.
Sayangnya, kondisi ideal diatas melibatkan banyak sistem dan subsistem kehidupan. Sistem ekonomi yang stabil sehingga para ibu tidak perlu terpaksa keluar rumah mengambil peran pencari nafkah, sistem pendidikan dengan kurikulum terbaik yang berfokus pada pembentukan karakter anak dan potensi yang dimilikinya, sistem sosial yang mengatur interaksi ayah dan ibu sehingga cerminan keluarga ideal bisa terwujud.
Tidak lupa sistem kesehatan, sistem sanksi, sistem pemerintahan, dan berbagai subsistem kehidupan harus sejalan dengan prinsip pembentukan persepsi positif. Tentu saja sistem terbaik lahir dari akidah atau cara pandang terbaik. Bukan hanya terbaik tapi juga yang benar. Itulah Islam.
Islam memiliki seperangkat aturan terkait penafkahan, aturan suami istri, standar pendidikan anak, sumber pendapatan negara sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan, hukuman bagi orang tua yang melakukan penelantaran, dan berbagai aturan cabang yang mendukung fungsi negara sebagai pengurus kebutuhan rakyatnya.
Rasulullah bersabda “Imam/Khalifah itu laksana pengembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Demikianlah Islam memberi solusi atas fenomena bunuh diri ini. Sungguh kita tidak menginginkan adanya anak-anak lain yang berakhir mati sia-sia. Padahal Islam hadir untuk memberikan makna atas kehidupan yang Allah Subhanahu wata’ala anugerahkan.