JAKARTA (Arrahmah.com) – Acara Milad I HRS Center, Selasa (3//201), di Hotel Balairung, Jakarta diisi dengan Diskusi Publik “Membangun Model Politik Hukum Bersyariah Dalam Paradigma Negara Hukum Pancasila”, dilangsungkan pada acara Milad I HRS Center, Selasa (3//201) di Hotel Balairung, Jakarta.
Pemateri dacara Milad I HRS Center, Selasa (3//201) di Hotel Balairung, Jakarta.am diskusi publik tersebut adalah para Mahasiswa Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Nicholay Aprilindo, S.H., M.H., M.M., Habiburokhman, S.H., M.H., dan Bob Hasan, S.H., M.H, sedangkan yang bertindak sebagai moderator adaah Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., selaku Direktur HRS Center dan juga Alumni PDIH UNS.
Pembicara pertama Nicholay Aprilindo, menyampaikan materinya tentang “Membangun Model Hukum Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Presiden Dengan Pendekatan Hukum Progresif”.
Judul ini merupakan rencana penelitian disertasi pada PDIH UNS. Disampaikan, bahwa terjadinya pelanggaran yang bersifat “Terstuktur, Sistemik dan Masif” (TSM) pada Pemilu Presiden (Pilpres) lebih menunjuk pada adanya ‘perbuatan curang’ (fraud) yang menjadikan pasangan calon tertentu dalam ‘posisi dominan’.
Posisi dominan terjadi, sebab adanya tindakan yang terstruktur dan sistemik. Perbuatan terstruktur dilakukan secara ‘bersama-sama’ atau ‘penyertaan’. Kecurangan terstruktur dapat berupa pemusatan atau penguasaan berbagai sumberdaya baik secara ‘vertikal’ maupun ‘horizontal’ atau dari ‘hulu’ hingga ‘hilir’ (upstream – downstream).
Adapun perbuatan sistemik adalah adanya ‘perjumpaan kehendak’ (meeting of mind) dan dapat dipastikan adanya kesengajaan yang bercorak ‘dengan maksud’ (als oogmerk). Perbuatan tersebut dilakukan dengan adanya ‘perencanaan’ dan ‘pemukatan jahat’ terlebih dahulu.
Jadi, kedua hal inilah yang meyebabkan terjadinya posisi dominan dan tentunya menjadikannya tidak memiliki saingan yang berarti.
Penguasaan sumber daya tersebut adalah bersifat ‘ilegal’ atau ‘melawan hukum’. Tindakan persaingan curang secara terstuktur dan sistematis berkorelasi dengan perolehan suara yang demikian ‘masif’.
Posisi dominan inilah yang menjadikan pasangan calon tertentu memperoleh suara siqnifikan guna pemenangannya. Kecurangan posisi dominan telah mencederai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada akhirnya keterpilihannya tidak memiliki legitimasi dan menghianati kedaulatan rakyat.
Menurutnya, dalam upaya penyelesaian perselisihan hasil Pemilu, khususnya Pilpres, diperlukan pendekatan progresif dengan adanya suatu pengadilan khusus, yakni Pengadilan Pemilu.
Keberlakuan posisi dominan dan akibat yang masif menjadi ‘parameter’ dalam pembuktian persaingan curang Pemilu Presiden pada Pengadilan Pemilu. Pendekatan ‘kualitatif’ harus tetap dilakukan, selain pendekatan ‘kuantitatif’.
Pembicara kedua Habiburokhman, menyampaikan materinya tentang “Membangun Model Hukum Pidana yang Berkepastian dan Berkeadilan Berdasarkan Doktrin Dualisme”.
Judul ini merupakan rencana penelitian disertasi pada PDIH UNS. Disampaikan, bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik (ITE), khususnya tentang ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2) demikian ‘bias’ dan cenderung ‘subjektif’ dalam penerapannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Menurutnya, dalam berbagai kesempatan melakukan advokasi/pembelaan terhadap para aktivis dan Alim Ulama yang ‘terjerat’ kasus ‘ujaran kebencian’ lebih ‘dipaksakan’ pemenuhan unsurnya.
Hal ini terjadi, lanjutnya, sebab selama ini model yang dianut dalam hukum pidana adalah berdasarkan asas ‘monoistik’, yang menggabungkan antara ‘perbuatan pidana’ (actus reus) dengan ‘kesalahan’ (mens rea). Padahal asas monoistik ini telah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam banyak kasus, jelasnya, pemenuhan unsur ‘kesengajaan’ (kesalahan) sebagai unsur subjektif dilakukan dengan pendekatan subjektif pula oleh para aparat penegak hukum. Dengan lain perkataan, pemenuhan unsur kesalahan tersebut bersifat formalitas belaka.
Konstruksi ‘pertanggungjawaban pidana’ telah menempatkan faktor kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana.
Jadi, kesalahan merupakan dasar pemidanaan atau yang menimbulkan hak untuk memidana. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan pemenuhan unsur kesalahan secara subjektif, kesalahan harus diobjektifkan dalam surat dakwaan Penuntut Umum.
Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan suatu model ‘dualistik’ dalam membangun ‘sistem hukum pidana’. Model ini memisahkan antara perbuatan dengan kesalahan.
Dalam rangka pembaharuan KUHP Nasional, sudah selayaknya pengaturan perihal pemisahan dimaksud dirumuskan secara jelas. Penerimaan doktrin dualisme merupakan suatu kebutuhan yang harus mendapatkan validitasnya.
Pembicara ketiga Bob Hasan, menyampaikan materinya tentang “Membangun Model Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Negara Dalam Membangun Sistem Hukum Nasional Di Era Global”.
Judul ini merupakan rencana penelitian disertasi pada PDIH UNS. Disampaikan, bahwa penempatan Pancasila sebagai ‘sumber dari segala sumber hukum negara’ adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai ‘dasar’ dan ‘ideologi’ negara serta sekaligus ‘filosofis’ bangsa dan Negara.
Oleh karena itu, ujarnya, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Di era globalisasi saat ini telah terjadi banyak 3 penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Pancasila, seperti Undang-Undang Migas, Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Sumber Daya Air, dan Undang-Undang Ketenagalistrikan.
Ia mengungkapkan, kondisi ini terjadi tidak lepas dari kepentingan ‘oligarki kapitalistik’ yang menganut ideologi ‘liberalisme’, sehingga mampu menggeser ‘kedaulatan rakyat’ di bidang ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ia menegaskan, dalam proses pembangunan hukum nasional, Pancasila sebagai ‘cita hukum’ belum menjadi acuan pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan bidang ekonomi. Selain itu, juga terjadi penyimpangan dalam memaknai Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila bukan sebagai ‘pilar Negara’, sebagaimana sering disampaikan dengan ‘4 Pilar Kebangsaan’, yakni; Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai dasar Negara, kedudukan Pancasila sebagai ‘Staatsfundamentalnorm’.
Ia menerangkan, Pancasila harus dijadikan sebagai ‘paradigma’- yakni kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah – dalam pembangunan hukum, termasuk semua upaya pembaruannya.
Jika dikaji lebih mendalam, ujarnya, Negara Hukum Pancasila merupakan perwujudan teori hukum ‘transendental’ yaitu teori hukum yang di dasarkan atas nilai-nilai ke-Tuhan-an.
Dalam rangka membangun hukum Pancasila, maka diperlukan model revitalisasi terhadap Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Negara.
Ketiga pembicara juga menegaskan bahwa dalam upaya membangun model politik hukum guna mewujudkan “tujuan dan cita-cita nasional” yakni menuju “masyarakat adil dan makmur” memerlukan suatu model yakni dengan mengambil nilai-nilai ‘maslahat’ dari ‘syariat Islam’. Syariat Islam bersifat ‘fundamental’ dan ‘universal’, mencakup semua bidang/aspek kehidupan. Syariat Islam penuh dengan kemaslahatan (kemanfaatan).
Di sisi lain, dalam ‘cita hukum’ menganut asas ‘kepastian’, ‘keadilan’ dan ‘kemanfaatan’. “Politik hukum bersyariah” adalah mempertemukan antara nilai-nilai kemanfaatan Syariat Islam dengan tujuan dan cita-cita nasional sebagaimana dimaksudkan oleh ‘the founding fathers’. Politik hukum bersyariah dimaksudkan agar terwujud ‘sistem hukum’, baik menyangkut ‘substansi’ peraturan perundang-undangan (substance), ‘struktur kelembagaan’ (structure) dan ‘budaya hukum’ (culture), yang menjamin keterpaduan antara Islam sebagai agama yang “rahmatan lil alamin” dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Islam, kebhinekaan adalah ‘sunnatullah’ yang harus dijaga dan dirawat guna persatuan Indonesia melalui ‘ukhuwah Islamiyah’, ‘wathoniyah dan ‘insaniyah’.
Dalam banyak kajian ilmiah, Syariat Islam telah diakui sebagai sumber hukum. Secara ‘legal prosedural’ Syariat Islam dapat menjadi hukum Negara, sebab Indonesia bukan ‘Negara sekularistik’, melainkan ‘Negara simbiotik’.
Ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Demikian resume hasil diskusi publik ini disampaikan untuk disebarluaskan, semoga bermanfaat.
(*/arrahmah.com)