JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur Moderat Muslim Society Zuhairi Misrawi menyatakan pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir Hasan Al banna rahimahullah bukan termasuk ulama, apalagi bagi masyarakat NU. Dia mengatakan merasa cukup dengan Imam-imam mazhab dan Imam dibidang ushuluddin seperti Imam Ghazali dan Abu Hasan Assyari yang menurutnya sudah terbukti membangun peradaban.
“Kalau kita mau jujur, Hasan Al bana itu bukan ulama, paling tinggi dia itu ustadz, saya baru beli bukunya, dulu saya susah mendapatkan bukunya, kecuali yang semacam tahilan. Buku-buku Hasan Al bana itu mirip buku Manifesto politik seperti Karl Marx, seperti bukunya bung Karno, bung hatta, seperti Syahrir. Dia bukan ulama yang kita definisikan sebagai Imam syafe’i,Imam maliki, Imam Hanafi, Imam Ghazali, Imam mawardi, atau Imam Asysyari dalam NU”Kata Zuhariri kepada arrahmah.com ketika mengisi acara seminar Sehari ‘Arab Spring dan kebangkitan politik Syari’ah Serta Relaunching Jurnal Ulumul Qu’ran’ di PP Muhammadiyah, Menteng raya no. 61, Jakarta, rabu (9/5).
Zuhairi mengkritik pula sikap aktivis Ikhwanul Muslimin yang menurutnya menjadikan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb sebagai tempat rujukan dalam segala persoalan keIslaman melebihi yang lainnya.
“Maka kita katakan kepada Ikhwanul Muslimin ketika mereka meletakkan Hasan Al bana dan Sayyid Quthb dengan tanda kutip melebihi al Qur’an dan Hadist. Ketika mereka bicara islam mereka akan bicara soal Hasan Al Banna. Dan perlu diingat untuk teman-teman di Indonesia yang terideologi oleh Hasan Al banna, itu pemikiran Hasan Al Bana itu terkait erat denga kondisi politik dan pergulatan politik di mesir, sedangakan Politik di Indonesia sudah ada dengan NU dan Muhammadiyah, dan sudah terbukti melakukan pembangunan umat.” lontarnya
Kritik tersebut ia ungkapkan ketika menelaah peran Ikhwanul Muslimin dan upayanya membangun masa depan Mesir yang Islami. Dimana menurutnya Ikhwanul Muslimin mempunyai problem serius dengan paradigma mereka, tentang demokrasi ala Ikhwan “al-dawlah al-madaniyyah bi al-marja’iyyah al-‘islamiyyah”, karena yang dimaksud Islam oleh mereka yaitu paham keislaman yang dikembangkan oleh Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb .
“Apakah mungkin persoalan-persoalan Mesir dan Timur tengah berkaitan dengan pandangan-pandangan Hasan Al banna dan Sayyid Qutb, karena dalam pandangan saya Hasan Al banna dan Sayyid Qutbh belum dikenal sebagai ulama, apalagi bagi NU, kita tidak akan menyebutnya sebagi ulama, itu persoalan serius apakah marja’iyah itu berkaitan dengan Islam yang luas atau yang sempit” paparnya,
Sedangkan menurutnya kaum Salafi mempunyai problem yang sama dalam memaknai “tathbiq Al Syari’ah” yang cenderung mengekor kepada Arab Saudi, yang secara kontekstual bertolak belakang dengan kultur di Mesir.
Sementara i tu, ustadz Fahmi Salim menilai Hasan Al banna sudah bisa dikatakan sebagai ulama, hanya saja Hasan Al banna mengurai keilmuannya bukan terbatas pada bidang Fiqh sehingga terkesan produk intelektualnya adalah pemikiran politik.
“Ya ulama. Dari pengertian ahli ilmu syari’at saja, Al bana masuk sebagai ulama, karena beliau juga belajar di al Azhar, belajar di Darul Ulum Kairo, buku-bukunya terutama ushulul isrif memuat kaidah-kaidah agama, di situ ada kaidah ushul fiqh,memuat kaidah-kaidah ikhtilaf al aro’ bagaimana menghadapi perbedaan pendapat ulama. Jadi dari segi ulama Fiqh saja dia termasuk ulama, hanya saja dalam buku-buku lain, beliau penekanannya tidak hanya pada fiqh, lebih luas cakupannya, lebih ensiklopedik termasuk politik.” Ungkapnya kepada para wartawan setelah memoderatori seminar Arab Spring dan Kebangkitan politik Islam.
Menurut Wasekjen MIUMI ini, Jika dilihat dari kriteria tersebut, hasan Al Banna serupa dengan ulama-ulama lain yang memiliki karya tidak sebatas dibidang Fiqh tetapi juga dibidang perpolitikan.
“Dan itu sama dengan ulama-ulama kita yang lain, Imam ghazali bukan hanya ahli fiqh tetapi juga membuat buku siyasah syar’iyah buku politik, Imam Mawardi ahli tafsir, ahli ilmu Kalam tetapi dia juga membuat buku politik Ahkam Sulhoniyah, Ibnu Taymiyah dia ahli fiqh menulis majmu fatawa, tetapi dia menulis juga siyasah syar’iyah.” Tuturnya.
Dan menurutnya, kemiripan Hasan Al banna dengan Ulama salaf sudah jelas, namun memang banyak kalangan yang fokus menelaah hasan Al Banna pada sisi pemikiran politiknya.
“Jadi tipologinya sama dengan ulama salaf ulama klasik, hanya memang pengamat-pengamat barat hanya menshoot artikulasi politiknya saja, karena Ia membawa ide-ide yang revolusioner. Sehingga ini membahayakan atau menjadi ancaman buat barat dengan adanya negara Syari’ah.”ujar Ustad Fahmi.
Sehingga menurut anggota komisi pengkajian dan penelitiana MUI ini, tidak sesuai jika Hasan Al banna dikatakan bukan termasuk ulama.
“Jadi saya kira tidak tepat ya, mengatakan hasan Albana bukan ulama, hanya saja kita berbeda dalam melihat titik tekannya.” Pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)