(Arrahmah.com) – Pengunduran diri secara tiba-tiba pada Selasa (20/9/2011) pagi, direktur jenderal Al Jazeera, Wadah Khanfar mengirimkan gelombang kejutan melalui dunia media Arab, yang mengarah pada spekulasi tentang apakah kebebasan jaringan satelit yang tengah dinikmati akan berakhir.
Dalam 8 tahun di kemudi jaringan, Khanfar membangunnya menjadi lokomotif berita di Timur Tengan dan sekitarnya, membuat marah Amerika Serikat dan hampir setiap rezim Arab dan-bisa dibilang-membantu mereka turun. Dia memimpin pembukaan Al Jazeera berbahasa Inggris. Reporter Al Jazeera berbahasa Arab, khususnya, telah berani mengambil resiko untuk melaporkan berita-berita kerusuhan yang melanda dunia Arab, tidak hanya selama musim semi Arab. Beberapa dari mereka telah membayar dengan nyawa mereka.
Khanfar berada di puncak permainannya. Lalu mengapa ia mengundurkan diri? Dalam catatan staf nya ia hanya mengatakan bahwa ia “memutuskan untuk pindah” dan bahwa ia telah membahas “keinginannya untuk turun” beberapa waktu lalu.
“Pada saat pengangkatan saya,” tulisnya, “Ketua dan saya menetapkan tujuan untuk membentuk Al Jazeera sebagai pemimpin media global dan kita telah sepakat bahwa saat ini target telah terpenuhi dan bahwa organisasi berada dalam posisi yang sehat.”
Tapi benarkah bahwa itu merupakan keseluruhan cerita? Spekulasi bermunculan dalam pengunduran dirinya.
Salah satu yang terangkat adalah, pengganti potensial Khanfar adalah Ahmed bin Jassim Al Thani, seorang anggota keluarga kerajaan. Al Thani bukanlah seorang jurnalis, ia adalah eksekutif di QatarGas, produsen gas alam yang berafiliasi dengan negara. Mengingat bahwa Hamad bin Thamer Al Thani adalah anggota keluarga kerajaan juga, hal ini tidak mungkin pada akhirnya menjadi masalah besar.
Sudah ada alasan yang kuat untuk pertanyaan seberapa banyak kebebasan editorial jaringan benar-benar dimiliki. Departemen Luar Negeri AS berpandangan bahwa Al Jazeera sebagai alat kebijakan luar negeri Qatar, seperti yang diklaim kawat diplomatik AS pada November 2009 bahwa saluran digunakan untuk “alat tawar-menawar untuk memperbaiki hubungan dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat”.
Beberapa pekan lalu, rincian percakapan antara pejabat AS dengan eksekutif Al Jazeera termasuk Khanfar, telah menjadi subjek dari banyak obrolan di dunia Arab setelah Wikileaks merilisnya. Oktober 2005, kawat AS menggambarkan pejabat AS memanggil khanfar terkait temuan dari badan intelijen pertahanan mengenai laporan jaringan Al Jazeera, dan dia meyetujui untuk menghapus beberapa keterangan. Banyak yang mengatakan bahwa itu menjadi bukti adanya konspirasi antara CIA-Qatar untuk memanipulasi orang Arab dalam tujuan pelayanan kebijakan luar negeri AS.
Middle East Online memuat judul “Wikileaks topples Al Jazeera director”. Namun jika Khanfar munduh karena kontroversi tersebut, akan merugikan kredibilitas Al Jazeera.
Menurut situs foreignpolicy, kemungkinan sesuatu yang lain sedang terjadi. Menurut mereka tampak sekali jaringan seperti milik resmi Kementrian Luar Negeri Qatar. Misalnya, cakupan pemberitaan Libya benar-benar menjadi fokus, memberikan antusias luar biasa kepada pemberontak-dan itu terlihat bahwa Qatar sangat terlibat dalam menggulingkan Muammaf Gaddafi. Ketika Qatar menengahi pembicaraan damai antara faksi-faksi yang bertikai di Darfur, Al Jazeera menggantikan tayangan normalnya selama dua jam untuk memperlihatkan pengumuman terakhir pembicaraan damai tersebut. Dan seperti yang banyak dicatat, jaringan terasa kurang ketika membicarakan Bahrain.
Masih menurut foreignpolicy, sangat sulit membayangkan seorang pria keras yang jelas-jelas memiliki kecenderungan idealis, harus berada di satu posisi seperti itu dalam waktu yang lama. Jadi mungkin dia hanya tidak ingin mengikuti garis siapapun. Apapun alasannya, Arab akan mengawasi dengan cermat, melihat apakah terbentuk sayap pengganti Al Jazeera. (dbs/haninmazaya/arrahmah.com)