Koran Tribun Timur Makassar, Jum’at, 23 Januari 2009, menurunkan artikel Supa Atha’na (Tokoh Syiah di Makassar dan Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin (ICU) Makassar) dalam tribun opini dengan judul “Assikalaibineng, Refleksi Pemikiran Muslim Persia”, di dalam artikel itu Supa Atha’na ingin menegaskan bahwa orang persia punya peran yang sangat besar dalam proses islamisasi di daerah-daerah yang bersuku Bugis-Makassar, dia menyebutkan:
“Sementara disebutkan bahwa sayid Jamaluddin Kubra Al Husein adalah kakek dari walisongo di tanah jawa, yang kelahiran samarkand, Persia datang ke tanah Bugis, Tosara-Wajo, adapun tahun kedatangannya banyak versi, tapi umumnya menyebutkan seputar tahun 1300-an. Bandingkan dengan kedatangan datuk Ribandang, datuk Patimang dan Datuk Ditiro yang disebut-sebut penyebar Islam di tanah Bugis-Makassar kedatangannya sekira tahun 1600. Ada 300 tahun jarak di antara mereka.”
Untuk menguatkan pernyataan itu ia mendatangkan bukti dengan menyebutkan kutipan buku bacaan orang tua bugis makassar yang berjudul “Assikalaibineng” yang di dalamnya tertulis “Allah Taala Mabberattemu Muhamma’ mappenedding Ali mappugau Patima ttarimai” namun parahnya dia terjemahkan kosa kata bahasa bugis tadi secara terang-terangan dan ia mengatakan:
“Allah Taala yang bersetubuh, Muhammad yang merasakan, Ali yang berbuat, fatimah yang menerimanya.Antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fathimah adalah sebuah kemanunggalan atau dalam istilah tasawwuf disebut Wahdatul Wujud. Pengertian sederhana wahdatul wujud adalah bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.
Ada pun guru besar pertama konsep wahdatul wujud adalah Husain Ibn Mansyur al Hallaj, yang kesohor dengan sebutan al Hallaj, sufi Persia lahir pada 26 maret 866 M. konsep wahdatul wujud itu bersumber dan berkembang dari tradisi pemikiran Islam Persia.”
Di kantor LPPI Makassar ada buku yang berjudul “Assikalaibineng” yang dia maksud, dan betul apa yang dia tulis dengan apa yang ada dalam buku itu. namun yang perlu diketahui bahwa penulis buku itu tidak beraliran Syiah, ia hanya mengutip dan mengumpul-ngumpulkan manuskrip-manuskrip lontara yang menjadi bahan bacaan sebagai panduan berhubungan badan suami-istri orang-orang tua zaman dulu Bugis-Makassar, karena dalam buku itu juga disebutkan tentang Abu Bakar, Umar dan Utsman yang mereka merupakan Khulafa’ Rasyidun bersama dengan Ali bin Abi Thalib.
Penulis buku “Assikalaibening” tidaklah beraqidah Syiah yang dimana dalam Aqidah Syiah 3 sahabat nabi (Abu Bakar, Umar dan Utsman) sangat dibenci dan bahkan dikafirkan. Dan mungkin karena kurangnya ilmu agama yang dimiliki sang penulis, banyak dalam buku itu praktek-praktek hubungan badan dengan bentuk dan bacaan-bacaan yang aneh dan sama sekali tidak diajarkan oleh agama Islam, bahkan hal yang sangat sensitif yang berkaitan dengan aqidah-pun dia tidak seleksi dari manuskrip-manuskrip lontara tadi.
Namun Supa Atha’na memanfaatkan keteledoran penulis buku untuk dia dijadikan rujukan atas pernyataannya dari judul artikel yang dia tulis “Assikalaibineng, Refleksi Pemikiran Muslim Persia”, di akhir tulisan, Supa Atha’na memberikan kesimpulan “Dengan pemaparan di atas maka sebagai kesimpulan bahwa yang mengajarkan konsep Assikalaibineng adalah muslim dari negeri persia”
Penjelasan Terhadap Aqidah Wahdatul Wujud, berikut kami kutipkan dari tulisan Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa dari situs almanhaj.or.id (http://almanhaj.or.id/content/2769/slash/0)
HAKIKAT KEYAKINAN WIHDATUL WUJUD DAN PELOPORNYA
Keyakinan wihdatul wujud, merupakan pemahaman ilhadiyah (kufriyah) yang muncul setelah dipenuhi dengan keyakinan hulul. Yaitu, dalam istilah Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti. Artinya, bersatunya makhluk dengan Tuhan, pada sebagian makhluk. Tidak ada keterpisahan antara keduanya. Muaranya, segala yang ada merupakan penjelmaan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada wujud selain wujud Allah. Hingga akhirnya berpandangan, tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini, kecuali Allah. Pemikiran sesat seperti ini, tidak lain kecuali berasal dari keyakinan Budha dan kaum Majusi.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah, RasulNya dan hari Akhirat). Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri. Sebuah ta’thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.[2]
Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor. Karena, konsekwensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan, iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).
Keyakinan seperti inilah yang menjadi landasan aqidah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Arabi Abu Bakr al Hatimi. Dia lebih dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi [3]. Lahir tahun 560 H di Andalusia dan meninggal tahun 638 H. Menurut adz Dzahabi, ia (Ibnu ‘Arabi) sebagai kiblat orang-orang yang menganut paham aqidah wihdatul wujud [4]. Simak dua bait syair yang tak pantas ini :
Tidaklah anjing dan babi kecuali sesembahan kami…Dan bukanlah Allah, kecuali seorang pendeta di gereja! [5]
Lebih jauh Syaikhul Islam menjelaskan bahwa, keyakinan seperti ini diadopsi dari pemikiran para filosof, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Yang kemudian dikemas dengan baju Islam melalui tasawuf. Kebanyakan terdapat dalam kitab al Kutubul Madhnun biha ‘Ala Ghairi Ahliha.[6]
SYUBHAT SEPUTAR UNGKAPAN KUFUR IBNU ‘ARABI
Kitab Fushulul Hikam dan al Futuhat al Makkiyah, dua karya Ibnu ‘Arabi yang sangat terkenal ini, sarat dengan perkataan-perkataan tentang wihdatul wujud, penafian perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dengan makhlukNya, dan penetapan penyatuan antara keduanya. Sangat jelas, dari dua buku ini, betapa rusak aqidah penulisnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Sebagai contoh, misalnya dalam sebuah penggalan syairnya, Ibnu ‘Arabi berkata:
الْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ يَا لَيْتَ شِعْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
Hamba adalah Rabb, dan Rabb merupakan hamba. Aku bingung, siapa gerangan yang menjadi mukallaf.
Ia juga mengatakan :
عَقَدَ الْخَلَائِقُ فِيْ الْإلِه عَقَائِدَ وَأَنَا اعْتَقَدْتُ جَمِيْعَ اعْتَقَدُوهُ
Semua makhluk berkeyakinan tentang ilah (sesembahan) dengan berbagai keyakinan. Dan aku berkeyakinan (tentang ilah) dengan seluruh yang mereka yakini itu.[7]
Begitu juga dengan perkataannya :
Dia menyanjungku, aku pun memujiNya. Dia menyembahku, dan aku pun menyembahNya.
Dalil yang ia catut untuk mendukung argumentasinya, yaitu firman Allah dalam an Nur/24 ayat 39 :
وو جد الله عنده
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya”.
Juga dengan mengusung hadits palsu berikut :
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“(Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Rabb-nya)”.
Mengenai argumentasi yang dibawakan ini, Dr. Ghalib ‘Awaji memberikan komentar : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang sangat aneh dan mungkar yang diucapkan oleh seseorang. Bagaimana mungkin mengatakan al Qur`an dan Sunnah mengajak ilhad dan kekufuran kepada Allah? Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah mengatakan, kekufuran mereka lebih parah daripada kekufuran Yahudi dan Nashara serta kaum musyrikin Arab” [9]. Adapun Ahlu Sunnah menetapkan, sebagaimana dikatakan Ibnul Abil ‘Izz rahimahullah [10] : “Ahlu Sunnah bersepakat, tidak ada sesuatu pun menyerupai Allah, baik pada dzatNya, sifatNya maupun af’al (perbuatan-perbuatan)Nya”.
Mengenai keimanan kepada hari Akhir, Ibnu ‘Arabi berpendapat, bahwa penghuni neraka juga merasakan kenikmatan di neraka, sebagaimana yang dinikmati oleh penghuni jannah di jannah. Karena adzab (yang berarti siksaan), disebut demikian, lantaran kenikmatan rasanya (‘udzubatu tha’mihi, dari kata adzbun yang berarti lezat).
Sementara itu, tentang keimanan kepada para rasul, penganut wihdatul wujud juga melakukan penodaan yang tidak ringan terhadap gelar terhormat para rasul. Menurut mereka, penutup para wali Allah itu lebih berilmu daripada penutup kenabian. Mereka berpendapat, para nabi -termasuk pula Nabi Muhammad- mengambil ilmu dari celah wali terakhir.
Tentu, pendapat seperti ini, sangat jelas melanggar nash-nash agama dan cara berpikir yang . Seperti sudah dimaklumi, orang yang datang di akhir, ia akan mengambil manfaat dari orang yang berada di depannya. Bukan sebaliknya. Dalam perspektif agama, wali Allah yang paling utama, ialah orang-orang yang mengambil ilmu dari nabi yang mulia. Dan wali Allah yang paling mulia dari umat ini adalah, orang-orang shalih yang menyertai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. [at Tahrim/66 : 4].
Menurut kesepakatan para imam salaf dan khalaf, wali Allah yang paling afdhal adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu.
Berbeda dengan pandangan orang-orang mulhid tersebut (Ibnu Arabi dkk), mereka lebih mengutamakan ahli filsafat ketimbang seorang nabi. Ibnu ‘Arabi sendiri mengatakan : “Sesungguhnya penutup para wali mengambil langsung dari piringan logam yang diambil oleh malaikat untuk diwahyukan kepada nabi”. Pernyataan ini sangat nampak pelanggarannya terhadap al Kitab, as Sunnah dan Ijma’.[11]
MEREKA LEBIH BODOH DARI FIR’AUN [12]
Orang-orang yang mengklaim telah mencapai tingkatan tahqiq, ma’rifah, dan wilayah yang memegangi aqidah wihdatul wujud, asal-muasal perkataan mereka merujuk pernyataan Bathiniyah, dari kalangan kaum filosof, Qaramithah dan semisalnya. Mereka sejenis dengan Fir’aun, namun lebih bodoh darinya. Fir’aun, memang sangat keras pengingkarannya, tetapi ternyata, ia tetap meyakini keberadaan Pembuat alam semesta (Allah) yang berbeda dengan alam semesta. Fir’aun memperlihatkan pengingkaran, tidak lain karena demi meraih kharisma, dan bermaksud menunjukkan jika perkataan Musa sama sekali tidak ada hakikatnya. Lihat al Qur`an surat al Mu’min/40 ayat 36-37.
Sedangkan penganut wihdatul wujud, meski meyakini adanya Pembuat alam semesta ini, tetapi mereka tidak menetapkan wujudNya yang berbeda dengan alam ini. Mereka berpendapat, wujudNya sama dengan wujud alam semesta. Bahkan menjadikan Dia menyatu dengan alam semesta. Sungguh suatu pandangan batil yang sangat menyimpang. Bagaimana mungkin al Khaliq sama dengan makhlukNya dari segala sisi? Allah berfirman:
“… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [asy Syura/42 : 11].
Al Imam ath Thahawi mengatakan: “Persangkaan-persangkaan tidak bisa sampai kepada (hakikat)Nya. Pemahaman-pemahaman pun tidak akan mencapai (hakikat)Nya”. Ibnu Abil ‘Izzi menambahkan pernyataan al Imam ath Thahawi ini dalam syarahnya dengan mengatakan : “Dan Allah Ta’ala tidak diketahui bagaimana dzatNya, kecuali Dia sendiri Subhanahu wa Ta’ala . Kita mengenalNya hanyalah melalui sifat-sifatNya” [14]. Syaikhul Islam juga mengatakan : “Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab yang Allah turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para tokohnya, yaitu penetapan pencipta yang berbeda dengan ciptaannya, dan Dia berada di atasnya (ciptaanNya)”. [15]
Demikian ditinjau dari aspek agama (dalil). Sedangkan dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin pencipta menyerupai yang dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga pencipta. Tentu sangat mustahil.
PENGUSUNG AQIDAH WIHDATUL WUJUD LAINNYA
Selain Ibnu ‘Arabi, ada beberapa tokoh yang ikut mengusung pemikiran wihdatul wujud. Di antaranya adalah Ibnul Faridh. Dalam kumpulan syairnya yang populer, yaitu Ta`iyyah, ia mengungkapkan hakikat aqidahnya. Dia menyatakan dirinya sebagai mumatstsil kabir lillah (penjelma Allah yang besar) dalam sifat dan perbuatanNya.
Abdul Qadir al Jili, penulis kitab al Insanul Kamil, guru Abdul Qadir al Jailani. Dalam salah satu selorohannya, ia berkata : “Dan sesungguhnya aku adalah Rabb bagi alam. Dan penguasa seluruh manusia itu sebuah nama. Dan akulah orangnya”.
Abu Hamid al Ghazali, dalam kitab Ihya` Ulumuddin, saat menjelaskan maratibut tauhid (tingkatan-tingkatan tauhid) yang keempat, ia mengatakan : “Tingkatan tidak melihat dalam alam ini kecuali satu wujud saja”.
Untuk menjawab kebingungan orang yang mempermasalahkan bagaimana bisa dikatakan satu, padahal banyak hal yang terlihat dan berbeda-beda? Maka ia menjawab: “Ketahuilah, itulah puncak mukasyafat dan rahasia-rahasia ilmu. Tidak boleh dituangkan dalam sebuah kitab. Orang-orang yang arif berkata,’Membeberkan rububiyah adalah kufur’.”
Jawaban ini mengandung tuduhan kepada Allah dalam menjelaskan aqidah, karena secara implisit dari jawabannya berarti Allah belum menerangkannya dengan sejelas-jelasnya, demikian juga Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. tidak diketahui kecuali orang-orang yang sudah mencapai tingkatan kasyf dalam wacana sufi. [16]
Jalaluddin ar Rumi, penyair dari Persia (Iran) ini, dalam kumpulan puisinya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab, ia mengatakan: [17]
Bila di dunia ini ada orang mukmin, orang kafir atau pendeta Nashrani, maka aku adalah dia. Aku hanya punya satu tempat ibadah, baik itu masjid, gereja ataupun candi.
WIHDATUL AD-YAN (PENYATUAN AGAMA-AGAMA) SALAH SATU KONSEKWENSI DARI WIHDATUL WUJUD
Dengan pemikiran yang telah dipaparkan di atas, keyakinan Wihdatul Wujud, juga melahirkan wacana, yang kini telah digagas para pengekornya, yaitu usaha untuk mempersatukan agama-agama. Sebuah anggapan bahwa semua agama adalah benar, memiliki tujuan yang sama. Yaitu menyembah tuhan yang sama, hanya berbeda dalam cara. Pandangan sesat seperti ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran yang sangat nyata.[18]
Tak ayal, pemikiran ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari kalangan Orientalis dan musuh-musuh Islam lainnya. Karena, pada gilirannya berarti semua keyakinan adalah benar, tidak ada perbedaan antar-manusia. Seluruh agama kembali kepada satu keyakinan, karena semuanya jelmaan dari Tuhan.
Dikatakan oleh Allen Nicholson, diantara konsekwensi pemikiran wihdatul wujud, yaitu pernyataan mereka tentang kebenaran semua aqidah dalam agama-agama, apapun bentuknya.
Lebih jauh ia mengatakan : “Sebenarnya al Ghazali lebih toleran terhadap sebagian sufi Wihdatul Wujud, semisal Ibnu ‘Arabi dan lain-lainnya dari kalangan sekte sufi yang menjadi kawan-kawan kami dalam agama liberal itu, dengan seluruh maknanya”.[19]
Sudah pasti Islam berlepas diri dari pemikiran yang sangat menyimpang ini. Pemikiran ini telah mencampur-adukkan antara yang benar dan batil. Sehingga dapat menyebabkan hilangnya identitas kaum Muslimin, meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad di jalan Allah.
Oleh karena itu, kaum Orientalis memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan rusak ini. Yaitu dengan lebih memperdalam mengkaji tentang tashawwuf. Karena, tashawwuf ini mendukung sebagian tujuan mereka. yakni untuk melupakan kaum Muslimin dengan ajaranya, dan juga unutk memecah-belah kaum Muslimin. Dengan pemikiran Wihdatul Wujud, orang-orang Orientalis merasa memiliki sarana yang tepat untuk menyebarkan berbagai kekufuran.
KISAH ORANG YANG BERTAUBAT DARI AQIDAH IBNU ‘ARABI
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengisahkan : Ada seseorang yang tsiqah (terpercaya) telah bertaubat dari mereka. Ketika ia mengetahui rahasia-rahasia mereka, maka ada (penganut wihdatul wujud) yang membacakan buku Fushul Hikam karya Ibnu ‘Arabi.
Orang yang tsiqah ini berkata : “Bukankah ini menyelisihi al Qur`an”.
Orang itu menjawab,”Memang al Qur`an semuanya berisi kesyirikan. Tauhid hanya ada pada pernyataan kami saja,”
Maka ia (orang yang tsiqah ini) kembali bertanya : “Kalau semua itu sama saja, mengapa putrimu diharamkan atasku, sementara istriku halal untukku?”.
Orang itu menjawab,”Dalam pandangan kami, tidak ada bedanya antara istri dan anak perempuan. Semua halal (untuk dinikmati).” [20]
Itulah sekilas tentang pemikiran Wihdatul Wujud. Masih banyak fakta-fakta sesat lainnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir ini. Bisa dijumpai dalam kitab-kitab yang mengkritisi alirah tashawwuf secara umum. Sebagian sudah ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tema ini diketengahkan, supaya seorang muslim sadar dan berhati-hati terhadap aqidah yang sesat ini.
Wallahul hadi ila shirathil mustaqim.
Maraji :
- Ar Risalah ash Shafadiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), tahqiq Abu Abdillah Sayyid bin ‘Abbas al Hulaimi dan Abu Mu’adz Aiman bin ‘Arif ad Dimasyqi, Adhwau as salaf, Riyadh, Cetakan I, Th. 1423H.
- Bayanu Mauqifi Ibnil Qayyim min Ba’dhil Firaq, Dr. ‘Awwad bin Abdullah al Mu’tiq, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan, III, Th. 1419H.
- Da’watut-Taqribi Bainal Ad-yan, Dr. Ahmad bin Abdir Rahman bin ‘Utsman al Qadhi, Darul Ibnil Jauzi, Dammam, Cetakan I, Th. 1422H.
- Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, Dr. Ghalib ‘Awaji. Al Maktabah al ‘Ashriyyah adz Dzahabiyyah Jeddah. Cet. V. Th. 1426 H – 2005 M.
- Hadzihi Hiyash Shufiyah, Abdur Rahman al Wakil, tanpa penerbit dan tahun.
- Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, ‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi, tahqiq sejumlah ulama, takhrij Syaikh al Albani, al Maktabul Islami, Beirut, Cetakan IX, Th. 1408H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaq Mu’ashirah, halaman 994.
[2]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
[3]. Agar tidak timbul salah persepsi, perlu dibedakan antara Ibnu ‘Arabi dengan Ibnul ‘Arabi. Nama yang kedua diawali dengan alif lam ta’rif (Ibnu al ‘Arabi). Beliau adalah seorang ulama Malikiyah yang terkenal, dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah t (468-543 H). Di antara karyanya, Ahkamul Qur`an.
[4]. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/339.
[5]. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 64.
[6]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 265. Kitab tersebut milik al Ghazali.
[7]. Fushushul Hikam, halaman 345. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/386.
[8]. Al Fushush, halaman 83. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah hlm. 43.
[9]. Firaq Mu’ashirah 3/994
[10]. Syarhul ‘Aqidatit-Thahawiyah, halaman 98.
[11]. Ar Risalah ash Shafadiyah, 251.
[12]. Ar Risalah ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 262.
[13]. Maqamat (tingkatan-tingkatan religi) dalam perspektif kaum Sufi.
[14]. Syarhul ‘Aqitatith-Thahawiyah, halaman 117.
[15]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 263.
[16]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, 3/1002. Penulis kitab ini menukil keterangan Syaikh Abdur Rahman al Wakil perihal taubat al Ghazali yang berbunyi : “As Subki berupaya membebaskan peran al Ghazali (dalam aqidah ini) dengan dalihnya, bahwa ia (al Ghazali) menyibukkan diri dengan al Kitab dan as Sunnah di akhir hayatnya. Namun demikian, kaum Muslimin harus tetap diperingatkan dari warisan-warisan pemikiran al Ghazali yang terdapat pada kitab-kitab karyanya”. Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 52. Pembahasan tentang Imam al Ghazali, pernah kami angkat pada edisi 7/Th. VI/1423H/2002M.
[17]. Dinukil dari Da’watut Taqrib (1/388-389).
[18]. Lihat Mauqifu Ibnil Qayyim, halaman 141; Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 93; Da’watut Taqrib, 1/381-405.
[19]. Fit Tashawuf al Islami, Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, 50.
[20]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.