JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemblokiran media Islam siber justru menunjukkan kekalahan intelektual rezim dalam menghadapi media alternatif yang kritis dan mampu memberikan keseimbangan terhadap media mainstream yang ada. Demikian ungkap Harits Abu Ulya, Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA), kepada redaksi, Selasa (3/1/2017)
Dia berpendapat, harusnya pemerintah belajar dari kasus-kasus sebelumnya.
“Pemblokiran media itu kontraproduktif terhadap hak warga negara untuk berpendapat atau menyampaikan gagasan.Atau menyuguhkan berita secara obyektif dan proporsional,” terangnya.
Dijelaskannya bahwa jutaan umat Islam dirugikan karena akses mereka terhadap media Islam jadi terhalangi.
“Konten media mainstream tidak bisa mencukupi dahaga umat terhadap beragam informasi termasuk khasanah pengetahuan Islam yang mereka butuhkan. Dan media Islam hadir berkontribuai memenuhi dahaga tersebut,” jelas Harits.
Apalagi, tambah dia, jika rezim hari ini mengadopsi demokrasi, harusnya secara konsisten memberikan ruang terbuka tumbuhnya kontrol sipil melalui berbagai saluran media yang ada.
“Hanya rezim fasis yang alergi dengan kritik,” tegas dia.
Dia mentolerir jika harus memblokir maka masyarakat perlu penjelasan yang terukur obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan secara komprehensif.
“Bagi saya, silahkan saja rezim keluarkan blue print-nya terkait model media seperti apa yang dikehendaki tumbuh,”
Kemudian, ungkapnya, biar kalangan terkait yang akan menilai dan menakar secara obyektif. Lantas jika menemukan standar atau parameternya maka rezim bisa saja menyaring atau melakukan tindakan yang relevan.
“Kalau pemblokiran saat ini, kesannya jadi politis dan dengan argumentasi yang prematur,” tutup Harits.
(azmuttaqin/arrahmah.com)