GAZA (Arrahmah.com) – Pengadilan di Gaza telah menarik kembali keputusannya yang mewajibkan perempuan untuk mendapatkan izin dari wali (ket: laki-laki) untuk bepergian ke luar negeri setelah kritik meluas.
Sebelumnya pada 10 Februari, kepala Dewan Peradilan Tertinggi Syariah di Gaza, Hassan al Jojo, mengeluarkan putusan yang melarang wanita bepergian ke luar Gaza tanpa persetujuan wali pria.
Namun setelah tekanan dari lembaga internasional, kelompok hak asasi manusia, serta aksi protes di depan pengadilan Gaza, Jojo mengeluarkan keputusan yang mencabut kembali keputusannya (21/2/2021).
Awalnya, keputusan awal melarang perempuan yang belum menikah, wanita yang sebelumnya sudah menikah, dan wanita baligh lainnya untuk bepergian ke luar negeri tanpa izin wali pria.
Keputusan tersebut telah memicu kemarahan publik yang menganggap hal tersebut kontradiktif dengan konstitusi Palestina dan pelanggaran hak-hak wanita Palestina.
“Surat edaran itu membawa kita kembali ke masa lalu, dan itu jelas melanggar Hukum Dasar Palestina,” ujar Yusef Salem, koordinator departemen hukum Asosiasi Pengacara Palestina di Jalur Gaza, seperti dilansir Al Monitor (24/2).
Menurut Salem, amandemen keputusan itu pun masih belum memuaskan karena masih memberikan kewenangan kepada pengadilan Syariah untuk mengeluarkan keputusan akhir tentang mengizinkan seorang wanita untuk bepergian jika wali mengajukan kasus yang menyatakan bahwa bepergian akan membahayakan.
Salem menuduh bahwa amandemen tersebut hanya dilakukan untuk meredam amarah lembaga HAM dan rakyat Palestina.
“Surat edaran harus segera dibatalkan seluruhnya, tanpa negosiasi, karena penerapannya merupakan pelanggaran hukum yang berat karena setiap surat edaran harus didasarkan pada justifikasi hukum yang berasal dari Undang-Undang Dasar Palestina,” tambahnya.
Namun Jojo menjelaskan, pasca pertemuan 16 Februari di Pusat Kebudayaan, bahwa amandemen yang diterbitkan tidak melanggar Hukum Dasar Palestina juga tidak merusak kebebasan yang ditegaskan oleh hukum. Ini didasarkan pada kekuatan peradilan Syariah.
Surat edaran itu dikeluarkan karena ada tuntutan hukum dan perkara di pengadilan yang mengharuskan penyelenggaraan hubungan masyarakat dalam kerangka yurisprudensi dalam undang-undang, kata Jojo. Dia menjelaskan bahwa ketentuan kontroversial dikeluarkan sesuai dengan teks hukum yang digunakan dalam Hukum Status Pribadi Ottoman dan Hukum Keluarga Mesir tahun 1954. (Hanoum/Arrahmah.com)