ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Pakistan dan Iran mengkritik keras diplomat dari pemerintah Taliban atau Imarah Islam Afghanistan), karena “tidak menghormati” lagu kebangsaan mereka, yang merupakan pelanggaran terhadap norma diplomatik.
Dilansir VOA (20/9/2024), kontroversi muncul awal pekanini setelah konsul jenderal IIA, Mohibullah Shakir, dan rekannya tetap duduk saat lagu kebangsaan Pakistan dikumandangkan dalam upacara resmi di kota barat laut Peshawar.
Tindakan tersebut memicu kemarahan publik di Pakistan dan tuntutan untuk mengusir Shakir.
Islamabad langsung melayangkan protes dan secara resmi mengadu kepada otoritas IIA di Kabul, mengecam perilaku “tidak hormat” diplomat mereka terhadap lagu kebangsaan Pakistan sebagai tindakan “tercela” dan pelanggaran “norma diplomatik.”
Konsulat Jenderal IIA di Peshawar membela Shakir dan menyangkal tuduhan tidak hormat terhadap lagu kebangsaan tersebut.
Menurutnya, Shakir tetap duduk karena lagu kebangsaan itu diiringi musik, yang dianggap IIA sebagai hal yang terlarang sesuai dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap Islam.
“Bayangkan seorang ulama berdiri untuk musik,” kata seorang juru bicara konsulat.
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan menolak penjelasan IIA pada hari Kamis.
Dalam konferensi pers di Islamabad, Mumtaz Baloch menyatakan bahwa tindakan Shakir “menyakiti perasaan rakyat Pakistan.” Ia memperingatkan bahwa pemerintahnya berhak untuk mengambil tindakan lebih lanjut sesuai dengan norma dan praktik diplomatik internasional.
“Kami berharap setiap individu yang mempunyai status diplomatik di Pakistan menghormati norma-norma tersebut,” kata Baloch.
“Kami telah menyampaikan hal ini kepada otoritas IIA dan menyampaikan ketidaksenangan kami yang besar … dan kami juga menolak penjelasan yang diberikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim Konjen atas tindakannya.”
Sementara itu, Iran juga mengkritik kepala delegasi IIA, Azizurrahman Mansour, yang juga seorang wakil menteri, karena tidak berdiri saat lagu kebangsaan negara tuan rumah dikumandangkan pada Konferensi Persatuan Islam Internasional di Teheran (19/9) yang dihadiri oleh presiden Iran.
Kementerian Luar Negeri Iran kemudian memanggil Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar IIA, Fazal Mohammad Haqqani, untuk meminta klarifikasi mengenai tindakan Mansour yang dianggap tidak menghormati lagu kebangsaan.
Media Iran mengutip Haqqani yang menegaskan kembali rasa hormat negaranya terhadap Iran, dengan mengklaim bahwa tindakan Mansour bersifat “pribadi” dan tidak mencerminkan sikap resmi pemerintah IIA.
Mansour dalam pesan video resminya menyatakan bahwa ia tetap duduk saat lagu kebangsaan Iran dikumandangkan sesuai dengan tradisi di Afghanistan.
“Di negara kami, kami duduk saat lagu itu dikumandangkan, dan saya telah bertindak sesuai dengan adat ini. Kami minta maaf kepada orang-orang yang marah.”
Namun, penjelasan IIA gagal meredakan kemarahan di Iran.
“Tidak menghormati norma diplomatik dengan dalih pelarangan musik berdasarkan syariah, tidak masuk akal,” kata Hassan Kazemi Qomi, utusan khusus Iran untuk Afghanistan, di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Ia menulis dalam bahasa lokal bahwa jika musik dilarang, mendengarkan musik juga harus dilarang.
Mohammad Ali Abtahi, seorang “reformis dan pembantu senior mantan Presiden Mohammad Khatami” terkemuka Iran, juga ikut mengecam IIA. Saluran televisi berbahasa Persia Iran International yang berbasis di London menerbitkan terjemahan dari unggahan X milik Abtahi dalam bahasa aslinya.
“Ketidakhormatan IIA terhadap lagu kebangsaan Pakistan dan Iran, dan penolakan mereka untuk berdiri, memiliki akar ideologis.” Abtahi lebih lanjut memperingatkan, “Ketika kami mengatakan bahwa ideologi IIA lebih berbahaya daripada ribuan senjata yang mereka miliki, inilah yang kami maksud.”
Abtahi mengkritik penyelenggara konferensi karena mengundang IIA dan menyatakan bahwa “mayoritas umat Muslim di mana pun, termasuk di Iran, tidak menginginkan persatuan dengan IIA.” (hanoum/arrahmah.id)